Chereads / The Loser Of Love / Chapter 17 - Menantu tak dirindukan 3

Chapter 17 - Menantu tak dirindukan 3

Bumer begitu galak, seakan belum puas menghardik dan menghakimi Audrey, ia semena-mena masuk ke kamar Audrey, lalu membuka lemari dan mengacak-ngacaknya seraya mengambil barang-barang berharga yang ia sukai.

"Lekas kemasi barang barangmu yang acak-acakan itu?!" Bumer menunjuk ke mata Audrey, lalu mengomel saban hari, tak pernah ada benarnya sedikitpun apa yang dilakukan oleh Audrey.

"Jangan ada yang kotor sedikit pun! paham kau, Drey!?" hardik bumer tanpa neko-neko.

Audrey tak mampu lagi bertahan dengan Ibu mertua yang kejam, seperti tak punya hati.

"Ee... Drey! ibu mau berbicara lebih serius sama kamu?"

Seketika fokus Audrey teralihkan padanya.

"Maaf, jika ibu terpaksa mengatakan ini,

hanya ingin mengatakan kejujuran tentang kebenaran kondisi Bagas.

"Bagas terlilit hutang, kamu tau, kan? Ada andil keluargamu di situ." beber ibu dengan penegasan berulang.

Audrey terkesiap. Ia membeliakkan mata penuh kekagetan mengetahui hutang itu dibebankan di pundaknya.

Hening beberapa saat. Wajah Audrey menunjukkan kebimbangan. Tubuh kurus dan pucatnya sedikit bergerak ke arah teras samping. Kondisi kesehatan Audrey begitu memprihatinkan, kehamilan muda menunggu anak pertama, harusnya sedang bahagia bersama suami dan keluarga lainnya.

Gerak tubuh Audrey mengisyaratkan bahwa ia sedang ingin fokus mengingatkan sesuatu.

"Seandainya mama dan papa masih ada, aku tidak merasa kehilangan arah, dihina seperti ini?!" batin Audrey tersiksa dengan sikap dan perlakuan keluarga suaminya.

Deg!

Ibu mertua menatap penuh curiga, seakan belum puas atas apa yang sudah diperbuat terhadap Audrey.

Audrey beralih ke arahnya, sesaat mata kami saling bertemu. Kemudian Audrey mengalah, dan menundukkan pandangan. Ya Rabb, apa yang dikatakan bu mertua barusan?

"Maaf, bu. Audrey tahu keluarga kami bersalah, tapi jangan hujat mereka yang sudah tenang di sana. "Biar Audrey yang menanggung beban semua ini.

Sejujurnya Audrey begitu tersiksa dengan perlakuan bumer, dan sampai kapankah, ia akan sanggup menahan penderitaan ini?

Tapi, bu, kenapa ibu setega itu ...?"

"Karena kau.... Bagas terlilit hutang! Ibu nggak mau melihat tampang kau. Kapan kau bisa berterima kasih pada ibu? sekaranglah waktunya tunjukkan sikap manis kau!"

Beberapa kali Audrey memohon dengan cara melunak justru dianggap seperti wanita lemah tak punya harga diri. Setiap obrolan dengan bumer berakhir nyesak dalam dada tanpa ada yang memperdulikan. Napasnya terasa berat menghimpit rongga dada diikuti detak aorta semakin tak beraturan.

Audrey beringsut berjalan ke kamar mandi dengan muka sembab penuh genangan air mata. Kedua netra yang merah sukar untuk disembunyikan dari hadapan bumer. Terlihat jelas kondisi Audrey tidak baik-baik saja, tetapi perasaan itu terus ditutupi tanpa ada seorang pun yang tau kecuali Bik Rumi yang menyaksikan sendiri drama kesedihan tanpa ending yang jelas.

Dua hari tanpa Mas Bagas sepertinya hidup Audrey sedikit tenang. Mertua tidak bertandang ke rumah dan membikin kekacauan hingga frustasi. Tidak ada yang menciptakan rindu apalagi aku wanita kumuh tanpa perawatan skin care.

Semua itu butuh biaya besar, mana ada duit untuk kebutuhan Audrey yang penting mereka aman tanpa percekcokan. Adakah yang merindukan Audrey kecuali papa-mama? Mana ada yang menyayangi seorang Audrey yang kini sebagai "poor woman" rindu itu selalu menghantui tiap kali mengingat yang telah pergi.

Seandainya Audrey punya duit, sebagai modal bekerja keluar kota. Akan tetapi, kehamilan ini menjadi pertimbangan. Bisikan hati Audrey dalam merawat bayi sejak dalam kamdungan.

"Hiks...hiks...," lagi-lagi tangisan sesenggukan itu penuh makna misteri

"Kamu yang kuat, ya, nak? ibu akan selalu menjagamu." Tangan Audrey membelai perut buncitnya sambil berkomunikasi dengan si bayi.

"Begitu sedih nasibmu, nak! kuat terus ya!" Audrey mengelus lagi perutnya yang terasa keram bagian peranakannya.

Kehamilan trisemester dua, Audrey jarang memeriksakan kehamilan dengan dokter SpOG dan bidan. Jangankan perawatan kehamilan, makananku aja tidak ada yang mengindahkan, seakan hanya ego yang bermain di depan mata.

Aku keseringan makan mie instan, malah. Entahlah, tidak ada yang memikirkan nasib wanita malang dan bayinya.

Sepanjang hari perasaan mual dan muntah tak bisa tertahan lagi. Hari ini belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perut ibu hamil. Bik Rumi yang biasanya menyemangati hari-hari, ia pamit pulang ke kampung ada acara hajatan ponaannya.

Hari itu, Bagas pulang dinas luar kota dengan wajah tegang. Ia kelihatan sedang mengalami keresahan amat mendalam. Audrey hanya sendirian di rumah menatapi keluar jendela kamar tidurnya. Suara rintik hujan menenangkan jiwa, pelipur lara mengobati kerinduan masa kecil dulu. Tak sadar ia mulai menulis di catatan buku kecilnya tentang perasaan yang terbuang dalam bentuk "My Quotes" terlihat wajahnya meringis menahan kepiluan.

"Hujan aku rindu, temanilah suara rintikmu, ingin aku melebur dalam tetesan yang menyejukkan."

"Audrey....?" Teriakan bumer sontak buat kaget! apakah ia sengaja membuatku shock dan mati pelan-pelan dengan suara hardikan seketika menyetop irama jantungku.

" Aahh.... dada ini bergemuruh kencang, si bayi pun menendang seolah tak menerima perlakuan bumer," Huft...suara Audrey terdengar lirih.

Semalaman Audrey tak bisa tidur berharap malam panjang dan enggan menemui pagi. Berharap ibu mertua insaf dan memperlakukan menantu dengan menyayangi. Tak pernah terbayangkan, bumer yang cantik jelita, begitu datang marahnya seketika bumi dan seisinya menjadi gelap, seakan punah dengan energi lemah.

Sayangnya angan tetaplah angan. Dan kenyataan pahit tetap saja terjadi. Bumer kini dengan angkuhnya berdiri tepat dihadapan Audrey.

Tubuh Audrey bergidik melihat sosok bumer dengan tatapan kurang bersahabat, dan sinis. Tak sedikitpun memperlihatkan rasa senang apalagi menghadiahi sebuah senyuman untuk menantu yang tak pernah dirindukan itu.

Ia menyerahkan belanjaan layaknya majikan dan pembantu tanpa ekspresi hangat sedikitpun. Lalu, Audrey membawa belanjaan dan Jujur, aku sangat ingin mendapatkan kontak fisik sebagai wujud bahasa cinta darinya sebagai bukti kami telah sah. Apakah aku kurang menarik di matanya?" Ungkap Audrey perlahan menikmati gulingan yang makin menirus.

Malam perlahan meninggalkan pekat, menjemput gemintang fajar. Bunyi si jago kukuruyuk seakan membangunkan pemiliknya untuk segera beraktivitas mulai bersujud mengucapkan rasa syukur pada Rabb Sang  pemilik semesta alam.

Akhirnya, semua berjalan sebagaimana biasanya, tanpa ada terjadi insiden. 

"Ahh,..."

Aku hanya seorang wanita biasa kini, perasaan malu masih bergelayut dalam hati berbalut keraguan yang kian memuncak.

Audrey mematut-matut diri di cermin, sembari bertanya dalam hati, dari sisi manakah yang tidak menarik darinya? hingga Attaruk belum pernah menyatakan cinta sekalipun.

Attaruk pun merasa lega sekali, karena sekarang Shezan sudah mempunyai ibu sambung yang rela menyusuinya. Ada pertalian darah di antara keduanya, mampukah Attarauk menjadi suami yang dapat menjaga Audrey dengan baik setelah apa yang telah ku rebut dari tangan Bagas. 

Bagas sungguh lelaki yang sedang terpojok oleh ulahnya sendiri. Perjanjian yang sudah disepakati berdua di depan notaris menjadi momok buat Bagas. Ia telah merelakan istrinya menukar dengan.bayaran.hutang sebanyak milyaran rupiah.

Audrey layak mendapat kebahagiaan yang hakiki, wanita yang punya akhlak mulia, hanya suaminya bagas tak bisa menghargai permata lalu disia-siakan.

"Ibu udah lapar?" tanya, Audrey dengan semangat, padahal Audrey lagi kurang sehat.

"Drey....!" panggil bumer dengan suara lantang. Siapkan makanan buat ibu, tanpa pake lama.

"Mana, Bi Rumi," imbuhnya lagi.

Audrey dengan sigap bergegas memasak makanan kesukaan bumer dengan rasa deg-degan. Berharap tidak terjadi insiden yang memojokkannya. Ia tersentak, matanya nanar saat diam-diam bumer mengamatinya dari pintu dapur.

"Aah, kau, Drey! masak pun tak becus. Apa yang kau bisa, haahh? Mantu tak bisa diandalkan, lelet kau... cepat dikit masaknya!" bentak bumer semakin melengking suaranya.

"Bu.....keterlaluan!! Dimana rasa sayang, ibu?" jerit Audrey histeris. Bendungan yang berusaha ia tahan akhirnya lepas kendali. Cucumu yang akan bersaksi nantinya, bu," ujar Audrey semakin berang.

"Tapi entah kenapa sebuah dorongan kuat untuk harus menyahuti kata-kata ibu."

Ia terdiam.

Aku hanya menerka, seandainya ibu sayang pada cucunya, ia akan menghentikan tudingan dan hinaan yang menyakitkan.

"Ibu menatap sedikit melunak. Pandangannya sulit diterjemahkan, antara benci, khawatir, juga penuh harap pada sang jabang bayi yang mulai bergerak di dalam rahim.

"Dan Audrey, kalau mau kontrol ke dokter SpOG, bilang Bagas supaya diantarin.

"Ibu nggak mau cucu ibu bermasalah saat lahiran nanti," tegas suara ibu, tanpa ampunan.

Audrey masih diam.

"Audrey, jaga cucu ibu, ya!" Awas kalau kenapa-kenapa, nyawa taruhannya.

Audrey merasa gugup sendiri, tangannya bergerak saling bertautan seperti menyimpan tekanan dan ingin menceritakan sesuatu rahasia. Namun, diurungkannya untuk menahan emosi.