Chereads / The Loser Of Love / Chapter 20 - Never give up

Chapter 20 - Never give up

Bulan Desember sangat indah ditemani salju yang berjatuhan. Baru kali ini aku jelas melihat nyata, hujan salju sangat romantis banget, mengingatkan aku pada seseorang yang pernah menyakiti perasaan sisi bawah sadarku.

"Yah, Bagas.... lelaki yang telah mengambil jatiku hingga mencampakkan begitu saja tanpa pertimbangan. Aku tak bisa berkata-kata, mungkin takdir lebih indah dari

buah kesabaranku," batin Gabriel seakan tak rela.

Kho melipat kedua tangannya serta membalikkan badan. Bibirnya mengerucut dengan lucu.

"Hhmm...melamun, iya? pagi-pagi membayangkan si dia yang lagi aktivitas. BTW yang di sana, ada ingat kita, nggak?" kelakar Kho sambari memamerkan gigi gingsulnya yang putih.

"Halahh....Kho, si dia udah disambar orang. Hehe," seloroh Gabriel tersenyum hambar.

"Maaf, Briel! aku nggak bisa liat kamu merenung seperti itu. Aku juga punya keluarga di kampung sana, apalagi adikku yang masih kecil. Ia amat kehilangan kakak Kho, kebanggaan keluarga," curhat Kho tanpa menyadari bendungan itu jebol juga sehingga matanya pun melembab basah.

Gabriel dan Kho sering mampir di resto Watda menjual samgyetang, kimchi bogembab, dakdoritang, bibimbab. Ada Burmurry, jual nya tteokpoki, kimbab dan odeng. Makanannya kebanyakan daging berlemak, kami para vegetarian pun mendapat diskon 60 persen. Makan nasi, kimchi, sup (dwenjang jjigae) sama telor atau kadang ada ayam goreng. Terus ada kim (nori) dan salad sayuran. Terakhir ada yogurt boleh ambil sebanyak-banyaknya.

Tiga bulan berada di desa Nonsan sangat menyenangkan, hawa laut dan sungai begitu meneduhkan.jiwa. Non artinya sawah dan San artinya gunung.

Gabriel memang mengenal Kho Shen sejak lama di group whatshap, ia amat sopan pada semua teman-teman karena ia sangat terdidik dan pintar.

Kami sering mengobrol melalui jalur pribadi, Kho, saat ada beberapa hal yang rumit, ia yang paling cepat menanggapi setiap permasalahan. Teman-teman paling nyaman dengannya, hingga sekarang.

"Briel!"

Kho, paling semangat kalau udah pindah ke Pohang, ya!" ocehan Kho sambil memperlihatkan wajahnya dengan senyum terkekeh pada sahabatnya ini.

Briel beringsut semakin dalam menahan udara amat dingin, angka menunjukkan pada minus dua. Peralatan baju hangat lengkap dengan memakai syal, penutup kepala dan kaca mata. Aku memegang tangan Kho yang gemeretak, mencoba meredam kegaduhan temannya supaya tenang.

"Kho...di luaran kondisi amat dingin seperti masuk dalam kulkas, aja." keluh Briel tak sanggup menahan hawa beku.

"Gabriel belum terbiasa menahan bekuan es di luar. Ia memaksa diri untuk berbelanja kebutuhan rutin melakukan sesuatu dalam kondisi badmood," ucapnya menegaskan.

Briel memperlihatkan wajah di tekuk, Ia diam terpaku membayangkan seandainya memasuki kulkas dua pintu.

Wajah Gabriel seketika berubah pucat menggigil, karena kelamaan di luar. Ia lupa memakai perlengkapan syal dan penutup mata. Kebiasaan hidup di negeri khatulistiwa yang selalu diburu oleh hangatnya bara mentari. Di sini justru setiap hendak keluar dari apartemen, pentingnya memakai kelengkapan sweater, melindungi diri dari suasana musim salju yang mampu membekukan setiap benda.

Desember yang indah mengingatkan kenangan, salju kian menebal tak hentinya menatap bulir-bulir indah berjatuhan. Itulah keunikan di negeri yang mengalami empat musim.

Keesokan hari, Ronald sang komisaris, Phillip, Khalid, Kho Shen, dan Gabriel beserta beberapa teman lainnya sedang mengikuti ujian yang diadakan untuk pertama kalinya.

Gabriel dan teman-teman seangkatan merasa deg-degan mengikuti ujian full-time dengan menggunakan bahasa pengantar Korea.

"Yang terpenting sekarang adalah belajar giat pasti bisa mengejar segala kekurangan. Merasa percaya diri, tidak ketakutan lagi seperti sekarang," gumam Gabriel menyemangati diri.

Beberapa saat Gabriel menyelesaikan tugas ujiannya dengan penuh ambisi, semoga ada perubahan ke arah kemajuan. Ibu bapak selalu menanyakan gimana perkembangan study-nya di Korea, minimal ia mampu mempersembahkan nilai-nilai yang menggairahkan.

Firasat Gabriel menyatakan, besar kemungkinan nanti malam sang bapak akan segera menelepon anaknya. Ia sedang berjuang mengejar mimpi-mimpi yang tertinggal.

"Doamu adalah kekuatan Gabriel bertahan, bu, pak!" batinnya semakin melangkolis efek dari begadang semalaman mempersiapkan materi ujian.

Sementara itu selesai ujian, mereka pun bersantai ria sembari menghirup udara tepi laut, ditemani hembusan anila menyentuh perasaan yang belum stabil. Terkadang Gabriel masih terbawa kerinduan pada negerinya yang luas dan bebas bepergian kemana aja. Takkala menunggu musim gugur tiba, mahasiswa menikmati indahnya taman dan pepohonan berwarna jingga. Kini berganti musim salju yang lebih menggigit batin dan sukma.

Hawa dingin hampir membeku di titik terendah minus dua, sehinga nafas pun mengeluarkan asap berkabut membuat risih. Para mahasiswa lebih menyukai berdiam diri di apartemen saja. Jalanan penuh salju diikuti rintik berdesir terbawa hembusan angin.

Beberapa pejalan kaki menyelimuti sekujur tubuhnya dengan hanya menampakkan kedua bola mata.

"Briel...!"

"Yuk! kita jalan ke taman kota," ajak Kho sembari mengembangkan senyuman.

"Iya, Friend!"

"Bergegaslah!" seru Kho sedang berkemas menyiapkan diri.

Kala itu, jalanan di taman kota begitu syahdu melantunkan dawai rindu. Mataku tiada berkedip menatapi setiap sudut kota Nonsan. Irama musik khas sangat menenangkan jiwa bagi yang memaknainya.

Tampilan tata letak bangku bernuansa coklat sangat serasi dengan pepohonan di area sekitarnya. Gabriel menoleh ke arah Kho dan nyengir memamerkan gigi-geliginya yang putih bersih dan menarik.

"Bagaimana perasaanmu, selama di Korea?" tanya Kho memastikan ekspresi wajah temannya dengan sukacita.

"Gabriel, seperti di daerah sendiri, Kho" kelakarnya setengah bercanda.

"Gabriel, ga nyadar lagi di perantauan? He...he," nyengir Kho membalas candaan temannya itu.

Suasana keakraban di antara teman-teman seangkatan menguatkan tekad Gabriel bersama mereka.

"Gabriel harus sanggup menguatkan hati, membulatkan tekad. Tak akan pulang sebelum berhasil menang, Gabriel pasti bisa!?" ujarnya menyunggingkan senyuman pada Kho, sambil mengacungkan jempol tangan, oke!

"Wah....Keren, sahabat!?"

Kho, Phillip dan Gabriel begitu akrab seperti tiga sekawan yang saling mendukung kekuatan. Rasanya hampa bila tak punya teman seorbit yang sama-sama berjuang meraih prestasi.

Setelah menikmati hawa dingin di kota Nonsan, mereka melanjutkan pulang ke apartemen menikmati sajian makanan hangat pengganjal perut yang berlabel halal. Kho sering.menyantap makanan vegetarian juga, meskipun ia non muslim. Kho tak seberapa suka makanan daging, berbeda dengan Phillip yang doyan serba daging tanpa milih-milih.

"Maklumlah, Phillip menjuluki dirinya "Omnivora."

"Hhmm...!?"

Tiba-tiba notifikasi hijau di benda pipihku berbunyi nyaring. Gegas aku mengambilnya berharap ada berita kebahagiaan di sana.

Aku buka dan scroll atas nama Frans yang mengirimkan beberapa SMS.

"Aku tau Gabriel menghindari terus tanpa memberi kesempatan. Tapi aku paham untuk tidak menunggumu lagi. Aku juga tidak mau membuatmu takut menemui dan berkirim kabar. Aku bukan lelaki sempurna, tetapi kalau Gabriel menganggapku sebagai teman sampai suatu waktu mendapatkan lelaki sejatimu." Frans menghentikan chatingannya dan mengucapkan kata perpisahan.

"Jaga dirimu baik-baik ya, Briel? Frans akan selalu ada buatmu sebagai sahabat dan keluarga."

Gabriel hanya bisa menunduk, dengan lidah kelu menyembunyikan perasaan resah atas ucapan Frans.