Aku menyaksikan sendiri bagaimana Attaruk memperlakukan Audrey begitu santun dan penuh cinta. Berbeda dengan cara kami memperlakukannya. Sangat jauh berbeda.
Apalagi, segala kemarahan dan kesialan kami timpakan pada Audrey yang tidak tahu menahu.
"Aahh ... jahatkah aku sebagai suami? Tapi aku begitu kesal pada Audrey dan keluarganya. Mereka orang kaya tapi pelit." Bagas gelisah menatap pemandangan yang.menyesakkan dada, kemudian ditepisnya dengan berpura-pura menoleh ke arah lain.
Kami ... telah melanggar sebuah pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Audrey telah kupertaruhkan dalam kehidupan perkawinan ini. Harusnya Audrey tak terlibat dengan kepanikan ku tentang hutang piutang itu tidak mutlak ia bersalah.
"Yah, mana ada suami rela melihat istri enak-enakan tanpa memikirkan keresahan suaminya. Sengaja permasalahan pelik itu aku melibatkan keluarga yang lain jadi aku pun tidak sendirian.
"Jika kalian bertanya bagaimana perasaan ini melihat mereka bermesraan di depanku? Tau nggak rasanya mendidih sampai ke ubun-ubun." Akulah lelaki paling konyol di dunia. Aku tak bisa menerima perlakuan ini, tapi, ahh ... aku sok paten, saat punya ide gila merancang tanpa memperhitungkan akibatnya.
Namun, kini apa dayaku?
Maka jawaban kini, Audrey harus kembali ke pangkuannku setelah setahun ia ku biarkan bersama suami sirinya.
Dari kejauhan Bagas menatap tanpa berkedip ke arah meja Attaruk dan Audrey, malam ini mereka mengajak dinner nan romantis. Padahal Audrey pernah berjanji tidak akan terpengaruh dengan rayuan Attaruk, ia bakal setia menunggu kurun waktu setahun.
"Mengapa bisa begini?"
Kekesalan Bagas semua berawal dari perjodohan yang dicetuskan oleh pihak orang tua, demi pertukaran bisnis.
Dasar Bagas, anak mami yang suka plin-plan dan tidak perhitungan. Seberapa banyak uang pun akan habis kalau tidak.bisa memenej dengan baik dan menghambur-hamburkan uang demi gengsi.
Tidak seorang pun yang tau, Bagas mengekori tingkah laku mereka berdua.
Emang, sih tidak ada adegan sentuhan fisik, atau gesekan skin to skin. Namun, seorang Bagas sangat mencemburui mereka begitu adem tanpa grasa-grusu antara kisah cinta mereka yang telah terjalin dalam ikatan suami.
Bagas menyibukkan diri dengan membaca koran informasi. Akan tetapi hatinya berselancar panas hingga berasap ditelinga, memandangi sepasang suami isteri begitu syahdu.
Bagas tidak sanggup menahan kepedihan berlarut-larut, ia terus melakoni sebuah drama untuk menyemangati hidupnya. Kegamangan yang menyakitkan sarat keputusasaan, menjemput prahara yang diusung sendiri. Lelaki ganteng itu tak berprinsip, ia hanya mengikuti kata hati tanpa ada pertimbangan matang. Pikiran dan tindakan yang sembrono mengubah hidup Bagas dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga.
Akhirnya, Bagas beringsut pelan setelah membayar secangkir kopi espresso untuk mendoping otak yang kian lemot.
Ia pun yang sedari tadi melamun segera beranjak meninggalkan sebuah restoran siap saji demi mengintai gerak gerik Audrey, hanya untuk memastikan apakah ia berbahagia dengan lelaki itu.
Lalu ... apa kabar dengan hatiku?
Di suatu malam, tepatnya enam bulan lalu ketika memutuskan Audrey menjadi pilihan demi menyanggupi persyaratan, Attaruk. Aku kalap tidak berpikir jauh ke depan, bagaimana perasaanku sendiri bahkan Audrey yang tak kupedulikan. Tepat sebulan setelah pernikahan mereka berlangsung, baru tersadar sakitnya kehilangan orang yang kita sayangi. Belum lagi desakan ibu seolah membenarkan usulan tersebut.
Kami mengakui kesalahan itu, tapi apalagi yang harus kulakukan untuk menebus segala penderitaanku. Audrey sangat kelihatan semringah dengan lelaki lembut yang berstatus suaminya. Dan selama sebulan itu pula berbagai kekacauan berkecamuk dalam hidupku, tak dapat kumaafkan segala kejahatanku, hingga detik ini.
Entah, rumah tangga macam apa yang aku inginkan, menyalahkan orang lain hanyalah pelarian untuk menutupi kesalahan sendiri. Aku tidak berani bertemu mereka, apalagi harus menatap manik matanya.
"Ouh My God."
Pernah aku teleponan dengan Audrey di suatu hari, ia begitu santun dan lembut merupakan ciri khas wanita yang selama ini aku anggap lemah. Ternyata pribadi dan tutur kata yang sulit aku cari penggantinya.
"Aku sangat menyesal," merutuki diri
Kini perasaan cemburu melanda di setiap ujung-ujung tubuhku, bahkan mengapit dan menekan sosok diriku yang sebenarnya.
"Audrey... ! Mas mau bicara," panggilnya saat itu. Wajahnya seperti biasa, lembut dan tenang. Aku mengenalnya sejak itu begitu akrab dan kami menikah. Banyak liku-liku yang aku alami dengan Audrey. Selama hidup dengannya hanya kepahitan yang kami suguhkan, belum pernah sekalipun ia kuperlakukan bak ratu semalam.
"Audrey, kapan masa mu di situ selesai? Mas masih berharap kamu pulang. Selesaikan dulu tugasmu lalu kita hidup bahagia. Dengerin mas, ya?" ucap Bagas menoreh kembali cerita lama yang hampir saja terlupakan dari ingatan Audrey.
Aku menghentikan obrolan dengan Audrey, karena tiba-tiba nada dering di seberang terputus. Kutatap wajahnya sekilas di dompet kecilku, lalu beralih menatap jalanan melalui jendela kamar, sepanjang jalanan yang mulai basah oleh hujan rintik-rintik sejak tadi.
Percikan gerimis hujan mengingatkanku tentangnya, anak-anak berlarian dengan telanjang dada menikmati masa kanak-kanak yang begitu polos. Aroma petrikor membangkitkan hawa kelakianku mengenang sang Audrey yang telah bersama laki-laki lain.
Maafkan, mas drey!
"Aku terpaksa melakukan ini, untuk keselamatam kita semua," ratap Bagas penuh penyesalan.
Ibu melintasi ruang televisi, sambil melirik bagas yang sedang melamun.
"Ada apa, Gas? wajahmu kusut?" tanya ibu dengan penuh khawatir.
"Aku teringat Audrey, bu." Kata-katanya meluncur spontan tanpa sanggup dikendalikan lagi.
Aku sadar, bu. Aku juga sudah tahu, mereka sangat bahagia. Aku telah berbuat salah dengan Audrey bu!" ungkap Bagas dengan menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda penuh penyesalan. Bagas merasa bodoh dalam hal berumah tangga dan membina hubungan baik dengan istrinya. Bagas tak bisa memperlakukan istrinya dengan baik hanya karena mengikuti saran ibu yang terkadang ekstrem bahkan merasa tersaingi dengan menantunya.
Adik Bagas, si Cheryl sering memberi bocoran percakapan dengan ibu. Entah kenapa ibu pun nggak rela anaknya menjadi tulang punggung keluarga. Cheryl yang memberitahu Bagas betapa ibu nggak menyukai Audrey karena merasa tersaingi perhatian dari Bagas.
Ia memperlihatkan kemesraan di hadapanku, Hal itu tidak pernah aku lakukan sejak menikah dengannya. Justru bully-an dan hinaan sering terjadi.
Lalu kenapa Bagas? Hhmm... uang yang berbicara, yah aku butuh uang untuk menutupi seluruh keperluan pinjaman. Rumah tangga yang terbina ini jauh dari sakinah, mawaddah dan warahmah. Keluarga yang jauh dati syariat. Perkawinan ini sebuah ibadah yang harus tertunai. Aku menyadari kekurangan selama ini, salat ku masih bolong dan doaku masih sangat jauh. Saatnya kembali ku bersujud pada-Mu ya Rabb.
Audrey, wanita kuat yang dapat menahan sakit hati, tak pernah mengeluh. Hanya saja aku yakin doa melangit dan akan mengembalikan istriku dalam pelukan.
Satu tahun bukanlah waktu yang singkat, ia bersamanya atas izinku. Berbagi kasih dengan lelaki sang penolongku. Aku mencoba bertahan meski setiap hari menahan rindu dan didera penyesalan
Tapi di batas kesabaranku, aku bermunajat pada-Nya. Saat itu pula, aku merasa paling jauh dari nikmat ibadah. Dibalik kekejamanku ternyata masih terselip rindu untuk mantan istri tercinta.
Sayangnya, waktu berjalan terus, tetapi Audrey belum pernah menyatakan kembali padaku. Mungkinkah ia bertahan demi lelaki yang telah sah menjadi imamnya.