Chereads / The Loser Of Love / Chapter 18 - Negeri Para Drakor 1

Chapter 18 - Negeri Para Drakor 1

Tak ingin diganggu, Gabriel pun mengabaikan suara ponsel yang berulang kali berdering, lalu ia fokus pada pengisian format di layar laptopnya. My Lappy sedikit ada gangguan sinyal, maklum zona lelet.

Hari masih pagi. Matahari pun belum sepenuhnya menampakkan kesombongannya. Semburat panas di waktu pagi menghangatkan jiwa.

"Bunyi lagi, Briel! Angkatlah!" Suara Ibu dari dapur bersamaan dengan bunyi adukan di penggorengan.

Ibu segera menghampiri Gabriel yang sedang sibuk mengurusi keperluan keberangkatannya esok hari ke ibukota. Detik kemudian, ia meraih benda pipih itu, tampak nama Bagas tertera pada layarnya.

"Bagas ada apa sepagi ini sudah meneleponku?" suara hati penuh tanda tanya.

Padahal, besok adalah hari keberangkatanku. Dan sejak aku resign dari kantor Bagas, segala bentuk serah terima baik pekerjaan atau inventaris udah aku selesaikan dengannya. Itu pun lewat pertemuan memakai berita acara.

"Tapi kenapa hari ini, ia menelpon ku berulang kali, yah?"

Gegas, kugeser tombol warna hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinga.

"Bagas, pakabar?" sapaku padanya setelah tersambung.

"Gabriel, Aku butuh bantuanmu." Tanpa menjawab ucapan, Bagas langsung menyampaikan keinginan dari pihak kantor memberikan sedikit penghargaan buat Gabriel.

Mendengar kata-kata Bagas dan nada bicara seperti berharap, Gabriel langsung mengiyakan mantan bosnya.

"Boleh, nanti sore kita ketemuan di kantor?" Tanya Bagas singkat dan datar.

"Okeh. Nanti lagi ya! aku sedang mengurusin perlengkapan keberangkatan besok. Tunggu, aku pasti menghubungimu, Bagas!" ucapannya lembut bersamaan mengakhiri obrolan perpisahan.

"Siaapp....nona muda?" aku menunggu panggilanmu.

"Awaas, kalau lupa tak jewer, yo....?" seloroh Bagas diakhiri candaan ngalor kidulnya

Hening menjeda, Gabriel segera mempersiapkan sesuatu dan jangan ada yang tertinggal. Dari paspor, Visa dan kelengkapan administrasi lainnya.

Ibu menghampiri Gabriel lalu, Wanita kesayanganku itu memberi isyarat agar aku tidak lupa membawa dokumen vaksinasi Covid. Beruntung aku telah melakukan vaksinasi dua kali, hanya menunggu booster sekali lagi. Kemungkinan nanti dilaksanakan di negara tempat tujuanku menyelesaikan study doktoral Environmental Enginee university Pohang di Korea selatan.

Sore hari sesuai janjiku pada Bagas, aku melangkahkan kaki menuju pelataran kantor. Kakiku perlahan melangkah menuju anak tangga tepat di pintu ruangan Bagas. Suasana hening membuatku segan memasukinya.

Tok...tok...

"Bagas aku datang! Kamu di mana?" seru Gabriel menaikkan oktaf suaranya sedikit meningkat.

Beberapa kali Gabriel memanggil dari luar sampai memasuki ruangan Bagas, tetapi tidak ada satu pun yang keluar. Betapa kesal hati dipermainkan seperti ini.

Segera melangkah meninggalkan ruangan Bagas, lalu tiba tiba ada bunyi.

Kleep...klep....

"Prok...prok...

Terlihat lampu menyala dengan kelap kelip macam orang ber-disco, mereka lalu menyambut Gabriel dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

"Gabriel, muach...muach, hati-hati di sana yah?

"Wahhh, keren dong, say ... selamat, ya!" Kudengar teman-teman kantorku begitu bersahutan menyemangati keberangkatan ku ke negeri para drakor (drama korea)

"Ayo, Briel... keep spirit." Aku segera mengajak Bagas untuk menyerahkan tugas-tugasku yang tertinggal. Aku tidak mau di label karyawan tidak mempunyai tanggung jawab.

Baru saja aku hendak memutar tubuh mengikuti Bagas, Audrey juga sudah masuk duluan ke ruangan Bagas, dengan memberikan senyuman dan jabat tangan melepaskan Gabriel dari perusahaan sang Bagas.

"Terima kasih, udah mengabdi di perusahaan kami. Semoga, kepulangan dari Korea tetap kembali ke sini, yah?" Audrey berangkulan sambil menguatkan Gabriel yang hendak menuju perantauan.

"Jangan pernah mundur sedetik pun. Gaskan semangatmu, Briel!" Bagas menyela di antara kata-kata istrinya Audrey.

Sebuah pearl ring bernuansa warna pink muda sangat cocok di tangan putih gadis semampai itu. Kado indah dari kantor yang disematkan oleh Bagas selaku pemilik perusahaan.

Sore yang indah dengan semburat jingga, Aku melihat mobil yang mereka tumpangi melaju. Setelah mobil Bagas berlalu menghilang dari sudut pandangan, aku tercenung dengan perasaan ngilu. Benih-benih cinta masih melekat direlung terdalam.

Frans datang lalu menyapa, padahal aku tidak meminta ia datang kemari.

"Briel, kemana?" serunya dari dalam mobil.

"Aku nyariin, menghilang ditelan bumi." Aku tau kamu menghindar dariku.

"Beri aku kesempatan, Briel?" ulang Frans memohon pada gadis berpendirian teguh.

"Iya, Frans ... Aku lagi persiapan study ke luar negeri nanti." Aku menjawab seperlunya.

"Sekarang, yuk! biar abang anterin pulang?" Jiwa meronta, kangen pada gadis berwajah chinese mulai keluar.

Frans beberapa kali merayu, tapi gagal terus. Ia mencoba mendatangi rumah Gabriel tapi sia-sia, hanya hitungan hari wanita putih mulus itu telah melangkahkan kaki dinegeri para drakor

"Aku Frans, Bu. Teman akrab Gabriel semasa kuliah di pasca sarjana. Aku naksir anakmu, bu? Tapi kena tolak terus, apa aku kurang ganteng ya bu? Atau ia punya kekasih lain yang bisa diandalkan " curhat Frans menambah kebingungan ibunya Gabriel.

"Kalau sudah jodoh, takkan kemana, bersabarlah, Nak!" jawab ibu Gabriel dengan tenang.

"Sejujurnya Gabriel belum pingin menikah," imbuhnya lagi.

Sesampai di negeri para drakor Gabriel di tempatkan pada rumah khusus bagi pendatang baru di sepanjang pinggir pantai.

Menikmati udara yang menerpa seluruh tubuh seolah lupa di mana keberadaannya kini.

Menikmati matahari yang mulai tenggelam dan digantikan oleh bulan yang indah.

Gabriel tidak sendiri ia bersama teman-teman seangkatan dari berbagai negara, ada philipine, afrika, sudan dan indonesia lainnya. Mereka sudah 20 menit yang lalu memasuki ruangan masing-masing. Ia masih di luar kamar menunggu Kho shen dari chines sedari 20 menit yang lalu.

Gabriel mondar mandir lalu berhenti berjalan melewati beberapa ruangan. Ia pun menatap kearah matahari yang mulai meremang jingga. Tersenyum melihat indahnya cahaya jingga mengingatkan akan kampung halaman yang baru saja ditinggalkannya.

Keberadaan Gabriel di Korea tepatnya di daerah Nansan adalah bentuk kekecewaan dan pelariannya dari seseorang yang telah mempermainkan perasaan dan hati gabriel.

"Kekecewaan ini akan ku balas dengan kesuksesan," tekad Gabriel membulat.

"Permisi?"

Gabriel mengalihkan pandangan dan menoleh ke arah suara seseorang yang memanggilnya.

"Hellow... Gabriel?"

"Hellow...Kho Shen?"

"Selamat datang, temanku!"

"Kamu bisa berbahasa korea, Kho?"

Kho tersenyum ramah, menggelengkan kepala menjawab pertanyaan dari Gabriel. Teman perempuan itu pun segera men-registrasi namanya via online, ia membawakan bunga yang lumayan banyak sebagai hadiah ucapan selamat dari temannya.

Gabriel menoleh kebelakang dan mendapatkan Kho Shen tersenyum manis layaknya gadis chinese dan korea. Kho berjabat tangan dan menundukkan kepala ke arah Gabriel dengan penuh persahabatan, dan ia pun memberikan lagi satu tangkai bunga mawar kuning.

Gabriel hanya tersenyum setelah menerima beberapa tangkai bunga, lalu Gabriel bersama perempuan itu meninggalkan selasar menuju ruangan yang telah disediakan.

"Bunga yang kamu pegang itu hadiah dari para sahabatku,"

Gabriel tersenyum manis kepada Kho. Gabriel tertawa mendengar teman chines begitu ramah dan menyenangkan," Ia berdiri dan memegang tangan Gabriel, kemudian keduanya bercerita tentang pengalaman di perjalanan. Tatapan mata lembut teman Chinese sangat buat ku betah di negara para drakor.