" Bagas....!?"
"Kenapa?" Bagas menyela Audrey, lagian ibu mau pinjam duit anaknya. Emang nggak boleh, ya?" Audrey kok perhitungan kali dengan ibu.
Audrey tertegun mendengar kalimat Bagas, yang memojokkan Audrey seolah tidak menyukai ibu.
"Wah, maksud Bagas, gimana, nih?" batin Audrey menolak begitu nggak enak kedengarannya.
Bagas seakan tak peka dengan perasaan Audrey yang mulai salah tingkah. Prasangka buruk menggiringnya semakin tak dicintai oleh Bagas dan bumer. Hubungan keduanya yang menirus tidak memihak pada Audrey.
"Tegakah Bagas terus menyudutkannya, bukan malah membela istri yang dirindukan. Audrey dulu membayangkan sebuah perkawinan yang romantis dan selamanya akan indah. Harapan tinggal angan-angan, tak sedikit pun, ia mau membela apalagi membiarkan istrinya bersenang-senang.
"Ayo, kok bengong aja," nyeletuk Bagas kurang menyenangkan. Dengan membawa keresahan, Audrey mengambil kotak perhiasannya baik mahar ataupun semua miliknya itu. Ia memegang kalung berlian bermata padi dan love dengan batin berkecamuk hebat, berat melepaskan barang berharga miliknya.
"Apakah, hadiah kalung itu masih boleh ia miliki?" jerit batinnya menahan sebongkah kepedihan. Bergegas ia pamitan ke dapur dengan dalih ada urusan memasak bersama Bi Rum.
"Terima kasih Bagas, atas hadiah kalung itu, andai mau diambil kembali, aku mohon urungkan niatmui," sambung Audrey pelan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu.
"Tenang aja." Nanti kalau punya uang akan mas beli yang lebih bagus dari itu.
Bagas dan Audrey lalu beranjak dari ruangan tamu dan beralih ke halaman samping. Sekelilingnya dipenuhi tumbuhan dedaunan hijau. Anila merangkak menebarkan hembusan seiring daun yang melambai.
Ketenangan terpatri di pojokan bambu terhampar rumput jepang bak permadani, tetapi tidak seteduh yang kurasakan kini. Aku kerap terjebak perdebatan intens yang tak berujung, adu keegoisan. Panggilan telepon mendadak hingga memaksakan Bagas segera mengakhiri obrolannya.
Audrey merasa sepi ditinggalin begitu saja, tetapi Bagas mengacuhkan hal tersebut dan langsung bergegas mengambil mobilnya di dalam garasi.
"Audrey...! berangkat dulu, ya!" teriak Bagas sambil menyalakan kendaran melaju perlahan, diikuti senyum mengambang.
Tok...tok..
Seketika Bi Rumi tergopoh-gopoh membuka pintu depan karena ada suara tamu.
"Iya, bu!" sebentar.
"Kreekk...kreekk....!"
Suara pintu sekejap telah terbuka, menyambut sang mertua tercinta.
"Lama sekali, membuka pintu. Apa kurang senang dengan kehadiran mertuamu?"
Dada Audrey bergemuruh hebat, tak pernah disangka begitu piciknya pemikiran seorang wanita separuh baya bergelar nama ibu. Audrey hanya diam mematung, tak pernah membayangkan sang mertua berubah galak bagai macan. Audrey tidak mau memperdebatkan hal-hal kecil seperti itu, buang-buang energi percuma saja, mungkin ibu mertua lagi kurang enak badan.
Sang ibu yang dulu begitu menarik perhatian, berubah dua ratus derajat sejak Audrey jatuh miskin. Ia memang sering berkata kasar bahkan melecehkan mantu sebagai wanita tak berguna. Kedua ibu beranak itu tindakannya meremehkan hingga membuat sakit hati, seumur hidup Audrey baru mengalaminya.
Namun, ia tak pernah menyerah atas apa yang menjadi keputusannya. Rasa cinta dan sayang tak pernah berkurang sedikitpun, meskipun tak pernah dihargai. Wanita muda itu sebatang kara, istri miskin tak menjadi andalan.
Audrey mlirik jam dinding, jarumnya sudah menunjukkan angka 10.00 wib.
"Ibu mau makan enak, masakkan yang lezat dong? percuma aku datang jauh-jauh tapi nggak diistimewakan. Dasaar....!! menantu pelit." omelan ibu mertua sangat tajam dan membikin down.
"Maaf, bu!" nanti kami beliin daging yang enak buat ibu, ini Audrey nggak ditinggalin uang belanja.
"Maaf, bu...."
"Sekali lagi maaf bu, aku tak bermaksud apa-apa," pinta Audrey memohon pada ibu mertuanya.
"Halaah, masa sih!"
"Uang segitu aja kau ngggak punya." ejek ibu dengan senyum sinis. Dulu saat menjadi orang kaya, mahar mu tak boleh kurang sedikit pun.
"Mana maharnya...?!" Ibu mau pinjam untuk bayar hutang Bagas.
Tanpa menunggu jawaban, ibu secepat kilat memasuki kamarku, lalu mengambil paksa kotak perhiasan yang sudah diletakkan Bagas tadi pagi.
"Ya Rabb, sepertinya baru aja kemarin Audrey bahagia, tiba-tiba seperti terperosok masuk perut bumi."
Sadar akan posisinya yang tidak menguntungkan, Audrey tidak membantah. Hanya ekspresi wajah kesedihan melanda seorang istri yang malang.
Hadiah suami pun disikat ibu mertua, ia tak bisa menahan kesedihan yang amat dalam melihat tingkah seorang ibu yang berubah kejam.
"Salah Audrey, apa bu?"
"Harusnya ibu mengerti perasaan mantu yang sedang kehilangan orang tua. Ini malah menzalimi terus menerus," batinku bicara.
"Bu, kembalikan hadiah dari suamiku itu, bu!" pinta Audrey memelas pada bumer yang kian ngelunjak.
"Bagas yang ngasihkan ke ibu. Kok, kamu.yang sewot!"
Sambil menantang, mulut bumer belum mau diam, terlihat masih nyericos terus.
"Audrey tidak salah, tetapi orang tuamu menjerumuskan anakku dalam lilitan hutang. Kau harus membayar semua penderitaan ini, akibat ulah mereka," paham kau Drey??
"Bu, jangan ungkit-ungkit orang tuaku, lagi. Mereka telah tenang di sana. Bukankah seluruh aset kami telah kalian jual untuk menutupi utang piutang? kurang apa lagi, bu?" isak tangis Audrey memecah keheningan, isi hatinya pun membludak keluar.
Perdebatan bumer dan mantu seakan tak akan pernah kelar. Bi Rumi hanya terpaku diam di dapur, mendengarkan seluruh pertengkaran itu. Keduanya sama-sama orang terpenting dalam hidup Bagas, keduanya butuh keadilan.
"Sini, hadiah itu ibu simpan. Kita lagi pailit tidak perlu ada kado-kadoan. Itu Bi Rumi suruh pulang kampung aja. Meresahkan kantong Bagas. Tau, kau, Drey! Jangan seenak-enak dengkulmu di sini," bentak bumer yang berkacak pinggang.
Audrey masih kebingungan menghadapi sang mertua yang berubah drastis tanpa lebih dulu ada tanda-tandanya.
"Gini, amat, hidupku, Pa, Ma?" rajuk Audrey yang lagi dicemoohin mertua. Ya Rabb. Bumer yang kupikir jadi pengganti orang tuaku malah berubah menjadi srigala. Kemana lagi aku harus mencari sosok ibu?" ratapan Audrey begitu memilukan hati, dengan tarikan nafas panjang menyesali nasibnya.
Audrey, baru nyadar bu mertua membencinya. Kesedihan tak berujung tanpa dapat ia ceritakan pada Bagas, yang selalu memuja-muja kedua orang tuanya.
Tiba Bagas pulang mendapati ketegangan di antara kedua wanita yang harusnya mendukung kesuksesan Bagas dalam berusaha dan bekerja. Suasana lengang dan terlihat wajah Audrey melembab, seketika Bagas dapat memprediksi kejadian yang telah terjadi.
"Kau ini kenapa? datang ibuku malah berwajah murung dan sembab. Apakah kurang suka dengan kedatangannya? Belum tentu pun sering datang kemari, kok wajah kau tak sedap pula didepan ibuku?" Bagas mulai tak suka melihat pemandangan di sekelilingnya.
Akhirnya ibu diantar pulang sama Bagas setelah membuat kericuhan dengan menantunya yang sudah sebatang kara.
Hari itu cheryl liburan sekolah, waktunya malas-malasan di rumah. Anak bungsu yang manja terkadang banyak rewelnya.
"Bu....!"
"Ryl ke tempat kawan ya? itu dijemput sama Lisa.
"Anak gadis jangan suka kelayapan, entar digangguin sama orang," larang ibu begitu cemas memikirkan anak gadis yang mulai aktif keluar.
"Mana ada yang ganggu? Ibu ini pikirannya kuno banget?"
"Ibu hanya ngingatin nak!"
"Ibu nggak mau terjadi apa-apa terhadap Cheryl," imbuhnya lagi.
Cheryl gadis kelas satu menengah atas begitu gencar berteman penuh keakraban dengan sebayanya. Senyuman Cheryl tersungging dengan manis menjadi idola para anak muda.
"Bu....!?"
"Cheryl diajak teman, berenang?"
"Ya! hati-hati, nak. Jangan sampai kenapa-napa!" ibu begitu resah melihat pergaulan Cheryl.
"Ibu kok katrok?"
"Cheryl udah besar bu, jangan di buat macam anak kecil?"
"Aahh....biarpun Cheryl udah tua, tapi di hati ibu masih anak bungsu yang kecil." ibu beranjak menghampiri Cheryl mengusap rambut-rambut halus berponi tanpa mau kalah berdebat.
"Ihh...ibu ini. Gak sedap kali lah."