"Apa kamu tidak ingin melepaskan pelukanmu, napasku sudah cukup sesak, di tambah bau tubuhmu yang sangat tidak aku suka." Eveline terdengar memaki Arthur beberapa kali tapi nampaknya pria itu tidak acuh sama sekali. Bahkan sekarang pelukannya bertambah erat saja.
"Aku tidak ingin melepaskan pelukanku, aku takut jika melepaskanmu … nanti, tiba-tiba kamu liar dan seperti orang gila."
"Apa kamu bisa berhenti membuatku kesal? Aku benar-benar haus dan aku ingin minum." Emosi Eveline terdengar meledak-ledak.
"Tapi aku tidak …," tutur Arthur santai.
"Apa kamu ingin aku mati?"
"Terkadang," ucap Arthur dengan setengah tertawa.
"Ayolah … tolong lepaskan aku, aku mohon." Wanita itu tampak merengek.
Arthur hanya tertawa ketika mendengar wanita yang di dalam pelukannya selalu berceloteh dan membuat moodnya membaik. Pertengkaran adalah energi lebih yang sangat suka ia salurkan dan membuat wanita itu marah seperti sebuah hobi baru yang mulai ia gemari.
Pria itu melonggarkan pelukan dan membiarkan Eve bangkit dari pelukannya. Sembari bangkit Eveline tampak mendengus kesal.
Dia lantas meraih gelas yang ada di atas nakas, kemudian lantas meneguk air yang ada di gelas dengan sekali minum.
Arthur hanya menggeleng-geleng. "Seperti seekor unta yang ada di padang pasir."
Mendengar ucapan Arthur membuatnya kesal dan langsung meloncat ke arahnya. Saat ini Arthur yang ada di bawah tubuhnya hanya tersenyum dan berdecih.
"Apa kamu tidak bisa sedetik saja tidak menggangguku?" sungutnya dengan wajah cemberut.
"sayangnya tidak … hubungan seperti ini membuatku bersemangat." Arthur mencolek ujung hidung wanita itu.
"Kamu pria yang menyebalkan." Saat Wanita itu ingin bangkit Arthur tampak menahannya.
"Tetap seperti ini … tetaplah memelukku dengan hangat." Kali ini wanita itu tidak membantah, ia memeluknya hingga pagi menjelang.
Cahaya mentari telah tinggi, sedangkan mereka masih terlihat pulas di ranjang mewahnya. Arthur terlihat bangun lebih dulu, ia menatap pada wanita yang sedari tadi tidur di sebelahnya itu.
Dia lama menatap dan melihat setiap detil dari wajah Eveline, tangannya kini membetulkan rambut panjang yang tanpa sengaja beberapa helai menutupi pipi, menyelipkannya ke belakang telinga wanita itu.
"Akan menyenangkan jika aku bertemu denganmu lebih cepat, aku rasa banyak warna yang bisa menghiasi setiap hal yang terlihat abu-abu itu." Saat sedang asik melamun dan menatap wajah Eve, tiba-tiba telepon genggamnya terdengar berdering dari nakas.
Arthur bangkit dan meyandarkan punggung ke dashboard tempat tidur, ia kemudian meraih gawai pintar itu.
"Kenapa?" tanyanya saat telepon telah menempel di telinga.
"Apa Tuan tidak bekerja?" tanya Alvin dari balik telepon.
Pria ini sekilas menatap pada Eveline yang tampak masih tertidur. "Apa aku tidak bisa libur hari ini?"
"Kenapa?"
"Entahlah, aku sedikit tidak ingin ke kantor hari ini."
"Baiklah …." Alvin terdengar pasrah.
"Tolong urus semua urusan di kantorku, karena hari ini aku tidak ingin di ganggu," lanjut Arthur lagi.
"Baiklah." Mendengar ucapan Alvin, Arthur memutuskan sambungan teleponnya.
Eveline terlihat membuka matanya dan mulai terjaga, menilik pada orang yang saat ini begitu dekat pada wajahnya.
"Hey … apa yang kamu lakukan? Menjauh dariku." Eve sedikit menggeser tubuhnya ke belakang, mencoba memberi ruang agar ia bisa bangkit dari berbaringnya.
Arthur yang sedari tadi juga berbaring kini ikut bangkit juga. Ia menghentikan lengan wanita yang tampak ingin beranjak dari tempat tidur itu.
"Mau kemana?"
"Tentu saja aku ingin mandi dan bersiap pulang,"
"Apa aku boleh ikut?" ucap Arthur tedengar konyol.
Membuat Eveline menjawab dengan ketus. "Tidak …."
"Tapi aku juga ingin mandi sekarang."
Eve membuang napas kasar, dan begitu jengkel dengan pria yang menurutnya sangat menjijikan itu. "Pergi saja kamu mandi lebih dulu." Nadanya juga terdengar kesal.
Laki-laki itu malah menggeleng. "Tidak, aku tidak ingin."
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, aku baru saja bangun dan kamu sudah mengajakku bertengkar."
Arthur hanya tertawa. "Baiklah, ayo kita mandi bersama." Dia bangkit dan menyeret lengan Eveline yang sedari tadi ia genggam.
"Terserah," ucap Eve yang menghempaskan tangan Arthur dan beranjak sendiri menuju kamar mandi.
Arthur tampak senang dan mengekorinya hingga masuk ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian Eve keluar dengan muka masam. "Sudah aku duga, saat kamu ikut mandi pasti selalu saja ada yang akan terjadi, apa kamu tidak bisa berhenti? Sekali saja jangan menjahiliku. Aku hanya ingin mandi dengan tenang, apa susahnya."
"Jangan banyak marah-marah, mengomel akan membuatmu cepat tua."
Eveline menatap tajam padanya. "Semua orang juga akan tua." Matanya menilik kesal sementara Arthur malah memeluk dari belakang punggungnya. Kulit dadanya yang basah menempel pada bathrobe yang ada di tubuh wanita itu, handuk itu menyerap air yang menempel di dada hingga keperutnya.
"Aku rasa akan menyenangkan jika kamu tinggal bersamaku, dan kita hidup bersama sepanjang waktu," katanya terdengar dari balik telinga.
"Aku rasa tidak semenyenangkan itu," wanita itu tampak membuka handuk yang sedari membungkus kepala dan rambutnya yang basah.
"Apa kamu mau berhenti?"
"Berhenti? Apa maksudmu?" Eve berbalik menatap pada wajah yang ada di balik telingannya.
"Berhenti dari pekerjaan ini dan menjadi wanita khusus untukku." Laki-laki itu malah memberikan kecupan padanya.
Wajah wanita itu terlihat datar. "Akan sulit," ucapnya lagi, sementara tangannya tampak meraih hairdryer dan mulai mengeringkan rambut di kepalanya.
Arthur lantas mengambil alih pengering rambut itu dan membantu Eveline mengeringkan rambut panjangnya.
"Kenapa sulit? Bukankah sangat mudah? Cukup berhenti dan tinggal bersamaku di sini."
Eveline terlihat tertawa kecil dan berbalik menatap Arthur dan menyentuh helaian rambut yang ada di atas kepala pria itu dengan tanpa bicara.
"Katakan padaku apa alasannya?" Arthur terlihat begitu penasaran.
Eve menurunkan tangannya, sembari menghela napas panjang. "Aku hanya seorang kupu-kupu, dan kupu-kupu tidak bisa di kurung."
"Jika ini masalah uang, aku bisa membantumu. Aku akan memberikan berapa pun yang kamu minta, tapi dengan satu Syarat … tidak ada yang boleh menyentuhmu selain aku."
Eveline hanya bergeming.
Arthur tampak kembali menyambung ucapnya. "Jika ada sesuatu yang kamu takutkan, kamu boleh mengatakannya padaku, aku akan membantumu menghancurkan sesuatu yang membuatmu takut itu."
Eveline terlihat mengambil alih hairdryer dan kembali mengeringkan rambutnya
"Apa kamu benar-benar telah punya seseorang yang kamu cintai? Orang yang semalam kamu katakan memang ada?" tanya Arthur terdengar bertubi-tubi.
"Berapapun aku akan membayarmu, asal lupakan laki-laki itu, jangan pernah mengingat atau mencintainya lagi."
Eveline menaruh hairdryer di atas meja, dan kemudian berbalik menatap tajam padanya.
"Kamu tidak punya hak mengatur perasaanku, kita hanya sebatas partner beberapa malam saja."
Arthur mencebik. "Kita harus bermain dengan caraku karena aku yang memegang kendali penuh. Dan kamu akan segera jadi milikku, jikalau ada yang mencoba menghalangiku, ketahuilah … itu tidak akan mampu menghentikanku, dan Laki-laki yang mengatur jadwalmu itu akan berpihak padaku."
Eve bergeming dan menatap pada manik matanya begitu dalam. "JIka dia telah menyuap Rony dengan uang, aku rasa … aku tidak akan bisa pergi lagi dan sudah pasti selamanya akan terperangkap di sini. Bagaimana dengan rencanaku? Aku berharap Evano tidak pernah tau atau terlibat dengan orang-orang ini." Sepintas ada kecemasan di dalam hatinya.
"Dengarkan ini baik-baik. Aku tidak ingin di miliki siapa pun … karena aku bukan orang yang tepat untuk di perlakukan seperti itu, dan aku sangat yakin kamu akan bosan padaku dalam beberapa waktu kedepan."
"Itu sangat mudah, aku bisa bersamamu hingga aku bosan."
Wajah Eveline tampak kesal
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Arthur menatapnya tanpa rasa bersalah.
"Apa kamu tidak berpikir? Kata-katamu itu membuat orang lain terluka … mungkin kamu membayar, tapi aku bukan boneka, aku juga berhak menolak atau pun menerima seseorang yang akan masuk kehidupku.
Jangan berpikir karena kamu banyak uang, kamu bisa mengaturku dengan begitu saja, bukan hanya kamu punya uang di sini. Dan aku tidak akan pernah jadi milikmu, sampai kapan pun itu."
"Kita lihat saja, aku pasti akan mendapatkanmu dan aku berani bertaruh untuk itu."
Eveline tampak bertambah kesal pada Arthur, tanpa bicara dia langsung berpakaian dan meninggalkan pria itu sendirian di sana.
Sementara pria itu terlihat frustasi, memikirkan rencananya untuk hari ini, yang telah ia susun akan gagal total, karena Eveline pergi sebelum ia sempat mengajaknya pergi berkencan.
"Sial … kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti." Arthur menatap kesal pada punggung yang telah menghilang dan meninggalkannya itu.