Eveline kembali memungut handphone yang tadi sempat ia banting; di samping tubuhnya. Eve mencoba menghidupkan layar yang sedari tadi tampak mati. Matanya terlihat kaget saat layar handphone itu menyala sempurna, di gambar layar kunci dan wallpapernya, semua mendadak berubah dari gambar biasanya.
"Apa ini?" Ia mengerutkan dahi menatap foto yang terpampang dan terlihat mirip dengan wajah pria yang semalam ia layani.
"I … ii … iii …." Ia merasa begitu geli dan kembali membuang handphonenya sembarangan.
Eve tampaknya benar-benar kesal pada pria itu, yang tanpa seijinnya telah merubah wallpaper dan gambar layar handphone pribadinya.
"Dia pikir siapa dia … beraninya ia merubah dan mangusik privasiku." Ia tampak bergumam sendiri.
Setelah hening beberapa saat, tiba-tiba handphonenya terdengar berdering dan membuat Eve yang sedari tadi tampak kesal terpaksa kembali meraihnya.
Di layar … sebuah nomor yang terasa asing dan hanya bergambar emotikon hati berwarna merah muncul di layar.
"Nomor siapa ini? Sejak kapan aku pernah menyimpannya? Seingatku … aku tidak pernah menyimpan kontak ini." Ia sendiri tampak bingung dengan nomor yang sudah tersimpan di kontaknya itu.
Karena begitu penasaran, Eveline terpaksa mengangkat panggilannya.
"Kenapa begitu lama di angkat? Aku rasa kamu sengaja membuatku kesal karena menunggu lama." Suara di seberang terdengar marah-marah membuat Eveline dengan spontan menjauhkan handphone itu dari telinganya.
"Kamu?" ucapnya, ia seolah mengingat suara orang yang sedang meneleponnya itu. "Bagaimana bisa kamu menghubungiku?" Ia bertanya dengan begitu penasaran.
"Itu hal yang mudah. Aku sudah menyimpan nomormu dari kemarin malam." Pria itu sudah terdengar senang dan bersemangat.
"Sekarang hapus," bentak Eveline tiba-tiba.
"Tidak … enak saja … aku tidak akan menghapusnya."
"Baiklah … ini mudah saja." Eve lantas memutuskan sambungan telepon dengan begitu saja.
Beberapa saat semua kembali terasa hening, tapi tiba-tiba Siska datang menghampirinya dengan raut wajah yang tampak begitu kesal.
"Ke sini handphonemu!" Ia merebut paksa telepon genggam yang saat ini Eveline mainkan.
"Apa yang kamu lakukan?" Eve tampak bingung.
"Buka cepat bloknya … atau … aku akan memarahimu."
"Blok?" Sejenak ia tampak tak mengerti tapi setelah berpikir sebentar akhirnya ia paham juga. "Aku tidak mau," teriaknya.
"Kamu melawanku? Ingat! dia pelanggan spesial … jika kamu berani memblokir dia lagi, aku akan benar-benar memarahi dan memberikan kamu sanksi."
Laki-laki tambun itu ingin pergi tapi ia kembali berbalik lagi. "Dan sekali lagi. Angkat teleponnya! Jangan sampai aku memarahimu lagi."
Eve terlihat kesal dan teleponnya kembali terdengar berdering. Ia terlihat mengangkat dan mengomel tanpa melihat siapa yang saat ini sedang meneleponnya.
"Apa aku mengganggumu?" Suara dari seberang terdengar begitu lembut.
Eveline menyadari kesalahannya. Tapi ia masih belum kembali bicara.
"Maafkan aku. Mungkin aku menelponmu di saat yang tidak tepat." Suara seseorang pria kembali terdengar sopan di balik sana.
"Jangan matikan! Maafkan aku … tadi aku hanya salah mengira, aku kira panggilan ini dari orang gila yang sebelumnya sempat meleponku."
"Orang gila?" Pria itu terdengar bingung.
Eveline tertawa pelan. "Lupakan saja ya."
Ada anggukan kecil yang tak terlihat dari balik sana. "Baiklah … tidak apa-apa, apa kabarmu Sa?"
Tergambar jelas sebuah senyuman dari wajah wanita ini. "Aku baik-baik saja … bagaimana denganmu?"
"Apa pekerjaanmu di Jakarta lancar?"
"Iya … aku di sini lancar." Wanita yang bernama asli Alexa Dara itu pun kembali tersenyum.
"Aku harap beberapa minggu ke depan aku bisa menemuimu di sana."
Tiba-tiba senyuman yang ada di wajahnya menghilang, ia juga terlihat begitu bingung "Ha?"
"Iya … Aku berencana menemuimu ke Jakarta."
"Tidak!" ucapnya spontan.
"Kamu melarangku menemuimu di sana?"
"Tidak-tidak … maksudku, Aku mungkin akan sangat sibuk beberapa bulan kedepan dan tidak ada waktu luang untuk bertemu."
"Aku hanya sangat merindukanmu, padahal … aku ingin keluar dan menghirup udara segar bersamamu sekali-kali saja. Apa bosmu di sana sangat galak?"
"Tidak, tapi …."
"Ayolah Alexa … Aku hanya ingin menemuimu sebentar saja." Teruscap seperti permohonan.
"Emmm … baiklah. Akan aku coba atur waktunya."
Mereka begitu lama mengobrol, tanpa ia sadari, seseorang yang sedari tadi terus mencoba menghubunginya tampak kesal.
"Apa-apaan ini? Tadi dia memblokirku, sekarang dia sibuk dengan telepon lain, menyebalkan sekali wanita ini." Ia mengomel sembari menatap layar handphone yang sedang mencoba menelpon Eveline tapi tak kunjung di angkat hanya bertuliskan 'nomor tujuan sedang berada di panggilan lain.".
"Apa dia sedang menelpon seseorang laki-laki? Jangan-jangan sedang tawar menawar."
Memikirkanya saja sudah membuat Arthur kesal dan membanting dokumen-dokumen yang ada di hadapannya.
"Sejauh ini kamu adalah wanita tersulit yang pernah aku dapatkan. Semakin waktu kamu semakin membuatku begitu penasaran."
"Seharusnya dia dengan mudah aku dapatkan, biasanya dalam hitungan detik … aku bisa mendapatkan semua wanita yang aku mau.
"Tapi wanita ini malah menolakku mentah-mentah, seharusnya dia tergiur dengan uangku."
Ia mencoba menghubungi Eveline lagi tapi kali ini Eve kembali menolak panggilannya.
Sebuah pesan singkat masuk ke handphonenya. 'Jika tidak kamu angkat, aku akan meminta Siska untuk membawamu sekarang juga menemuiku."
Eve menghela napas kesal. Sementara pria di seberang itu terlihat sedang menghitung. "Dia pasti akan menelponku." Ia tampak tersenyum miring.
"Aku yakin itu, dalam hitungan … 3 … 2 … sa …." Belum sempat ia selesai mengucapkan kata satu, Eve telah benar-benar meneleponnya.
Tanpa membuang waktu Arthur langsung menekan tombol hijau dan mengomeli lawan bicaranya itu. "Aku sangat tidak suka jika kamu mengabaikan teleponku, kamu juga tidak boleh menolak telepon dariku."
"Ya ya ya … terserah." Eveline seolah masa bodoh.
"Katakan padaku! Siapa pria yang tadi menelponmu?"
Eveline mengerutkan dahi. "Apa itu penting untukmu?"
"Tentu saja."
"Apa urusannya itu denganmu?"
"Kamu masih tidak mengerti? Saat aku bilang kamu milikku, berarti semua urusanmu penting untukku tau."
"Menyebalkan, sejak kapan aku jadi milikmu?" wanita ini tampak marah.
"Sejak aku membelimu dari Siska," ucapnya sembari tersenyum.
"Menjijikkan sekali … kamu benar-benar membuatku kesal. Jika tau begini, semalam aku tidak akan mau tidur denganmu. Aku lebih baik tidur bersama pria lain saja."
"Benar-benar … kamu perempuan yang pandai membuatku kesal."
"Berhentilah menelponku! Karena aku sedang mau bersiap-siap untuk pergi."
"Kemana?" Setelah membuat laki-laki itu merasa penasaran, Eve tidak menjawab dan malah mematikan panggilannya.
"Menyebalkan," ucapnya saat tau panggilannya sudah di putus.
"Jika kamu tidak mau memberi tauku … maka ada Siska yang akan mengatakannya."
Ia sekarang sedang mengirimkan sebuah pesan singkat pada Alvin. 'tanyakan pada laki-laki itu, kemana Eveline akan pergi sore ini."
Alvin membuka pesan yang baru saja masuk ke kontak masuk handphonenya itu dan ia terdengar bergumam. "Apa aku akan sibuk seperti ini seumur hidup? Aku rasa dia akan berhenti jika dia bosan lagi." Alvin menggelng-gelengkan kepalanya dan terlihat menghubungi Siska.