Laras mendorong tubuh Panji agar terduduk di sofa. Ia memandang lekat-lekat netra hitam milik laki-laki itu. "Kamu sakit perut gara-gara aku paksa makan kebab tadi pagi, ya?" Laras langsung bertanya pada intinya.
"Hah? Ah, enggak. Saya cuma sakit perut karena terlambat makan saja." Panji berkilah. Ia juga menghindari tatapan mata Laras yang terasa mengintimidasi.
"Bohong!" tuding Laras. Matanya memicing. "Kata Om Satya kamu itu sakit perut gara-gara makan pedes. Pasti karena makan kebab sama aku tadi pagi, iya kan?"
"Nggak, Laras. Saya cuma terlambat makan."
Laras tak membalas ucapan Panji. Dengan posisi berdiri, ia menatap Panji dengan sedikit menunduk. Kemudian, ia mendekat. Sampai tepat di tengah-tengah kaki Panji yang terbuka lebar. Mungkin Panji akan terkejut dengan keberanian Laras berdiri tepat di hadapannya. "Kamu jangan bohong, aku jadi merasa bersalah," tutur Laras dengan pelan. Matanya menatap hlekat bola mata Panji.
"Nggak, kamu nggak perlu merasa bersalah."
"Ya, tapi kan kamu begini gara-gara aku." Tangan Laras terulur untuk menyeka keringat di kening Panji. Juga mengusap lembut rambut hitam laki-laki itu yang terasa lepek dari biasanya.
Mendapat perlakuan seperti ini, berhasil membuat Panji semakin merasa jatuh pada Laras. Bukan hanya parasnya yang cantik, tapi juga perilakunya yang sangat lembut apabila bersama dengan orang yang disayanginya.
Panji memejamkan mata, merasakan dengan hangat bagaimana tangan Laras terus mengusap rambutnya yang lepek. Tapi, itu tak berlangsung lama karena lagi-lagi perut Panji terasa seperti sedang dililit dengan kuat, sehingga mau tak mau, ia harus sedikit mendorong Laras. Berdiri dengan wajah meringis. "Maaf, Laras. Saya harus ke kamar mandi."
Lalu tanpa menunggu jawaban Laras, Panji berlari menuju kamarnya. Tergesa-gesa dan hampir saja terpeleset di bagian tengah tangga. "Panji, hati-hati!!!" teriak Laras yang tentu aja tidak digubris oleh laki-laki itu.
Laras menghela napas lelah. Ia duduk lemas di atas sofa yang tadi diduduki oleh Panji. Pikirannya mulai keruh, perihal bagaimana Panji selalu menuruti kemauannya. Termasuk makan kebab pedas walaupun ia tahu itu akan menyakiti dirinya sendiri. Bahkan setelah sakit, Panji sama sekali tidak menyalahkan Laras. Laki-laki itu seperti menerima dengan lapang dada atas apa yang Laras lakukan padanya.
Laras jadi menayangkan, bagaimana jika mereka menikah. Apakah Panji akan terus mengalah padanya, meski status mereka adalah pasangan suami istri. Di mana seharusnya, istrilah yang harus patuh pada suami.
Ah, kenapa pikirannya jadi ngawur begini?
Daripada terus larut pada pikiran aneh yang tidak akan pernah terjadi, lebih baik Laras menyusul Panji ke kamarnya. Khawatir jika laki-laki itu akan pingsan sebab lemas.
Saat masuk ke kamar Panji, rasanya masih sama seperti kemarin. Di mana Laras dengan tidak tahu dirinya melemparkan gelas juga guci yang hampir mengenai wajah Panji. Hari di mana ketakutannya kambuh hingga lepas kendali. Laras juga masih ingat, kalau dirinya belum sempat meminta maaf pada Panji atas kejadian itu.
Tengah asyik memandangi figura di atas lemari pajangan, pintu kamar mandi terbuka. Panji keluar dari sana dengan wajah lemas juga tangan yang masih senantiasa memegangi perutnya. Laras jadi berpikir, apakah efek mie kemarin sebegitu menyiksa Panji, sampai-sampai laki-laki itu jadi lemas seakan tidak punya tenaga sama sekali?
"Kamu masuk?" tanya Panji sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.
"Iya. Memang kenapa? Gak boleh?" Laras masih saja berbicara kasar pada Panji.
"Nggak, bukan begitu. Saya hanya takut kamu marah lagi."
"Emangnya kapan aku marah sama kamu?"
"Waktu saya bawa kamu ke sini malam itu, saya lihat kamu marah, marah banget."
"Ah itu, cuma sedikit trauma aja. Gak marah sama kamu kok," ucap Laras menenangkan. Ia tahu, Panji adalah tipe orang yang sangat pemerhati. Dia akan selalu memperhatikan segalanya, mencatatnya baik-baik di otak untuk selalu diingat.
Panji nampak mengangguk dengan wajah lega. "Syukur kalau begitu. Saya juga minta maaf karena nggak datang di pesta ulang tahun bibi kamu. Juga saya yang tidak mengabari kamu, karena handphone saya ketinggalan di kantor."
"Nggak papa. Lagian, pesta itu bosenin banget. Aku lebih suka di sini."
"Kamu suka?" Laras mengangguk tanpa menjawab. Matanya tertuju pada sebuah papan berisi banyak sekali foto. Ketika ia hendak mengambil salah satu dari foto itu, tiba-tiba saja tangan Panji mendahuluinya. Mengambil sekaligus papan itu dan langsung menyembunyikannya dalam kolong ranjang.
"Itu apa? Kenapa ditaruh di bawah?" tanya Laras dengan curiga.
"Bukan apa-apa, hanya foto-foto saya waktu kecil." Laras tak memberi respon apapun.
Panji merasakan sakit perut lagi. Kali ini bukan mulas, tapi hanya melilit, melilit yang hebat. Ia sudah sebisa mungkin menahannya, namun tetap saja, Laras dapat melihat kesakitan itu dari raut wajah Panji.
"Apa sakit banget?" tanya Laras ketika melihat Panji yang berbaring terlentang dengan kedua tangan di atas perutnya. Menekan perut rata itu, seolah ingin mengusir jauh-jauh rasa sakitnya.
"Nggak, cuma bikin lemas aja."
"Itu namanya sakit banget! Udah minum obat?" Panji mengangguk. "Udah, tadi siang."
Laras lantas berdecak. Ia berjalan menuju lemari televisi, di mana tadi ia sempat melihat satu pak tablet yang sepertinya obat sakit perut. "Ini obatnya, ya?" tanya Laras ketika ia kembali menghampiri Panji.
"Iya, udah saya minum kok."
"Kamu minum tadi siang, ini udah malam, jadi harus minum lagi." Laras duduk di samping Panji yang masih berbaring. Ia mengulurkan satu tablet berwarna hijau pada mulut Panji. "Nih, aaaa--"
Panji tak lantas membuka mulut untuk menelan tablet itu. Sebaliknya, ia malah memundurkan wajahnya. "Nggak usah, saya bisa sendiri," tolaknya dengan suara lembut.
"Nggak mau, aku mau suapin obat kamu. Cepetan buka mulut," titah Laras dengan mata melotot.
"Saya belum makan malam, Laras. Takut muntah kalau minum obat itu," ujar Panji dengan hati-hati. Ia masih sibuk menghindar dari tangan Laras yang mengulurkan obat.
Sementara Laras, tangannya meluruh. Ia menatap Panji dengan pandangan yang tidak bisa dideskripsikan. "Kamu belum makan?"
Meski ragu, Panji menggeleng. "Belum." Ia menebak-nebak, apa reaksi Laras. Apakah perempuan itu akan marah?
Laras hanya menghela napas kesal. Ia berdiri, lantas berjalan keluar kamar. Tapi sebelum menutup pintu, Laras membalikkan wajahnya untuk menatap Panji. "Aku mau buatin bubur, tunggu. Jangan ke mana-mana dan jangan dulu minum obatnya."
Blam!
Pintu tertutup rapat, menyisakan Panji yang larut dalam keterdiaman yang panjang. Apa tadi katanya? Laras hendak membuatkan makanan untuk Panji agar dia bisa minum obat?
Ini mimpi atau halusinasi Panji yang sudah parah?
Tapi sepertinya ini nyata.
"Laras, kamu salah minum obat atau bagaimana?"