"Aku takut ngeganggu kamu," pekik Seina menundukkan kepalanya dan meniup lututnya yang masih perih.
Elan berhenti mengobatinya dan terdiam, Elan sendiri bingung akan mengatakan apa pada Seina, meskipun dulu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan, kini semuanya serasa lenyap dan hilang begitu saja.
Elan menatap Seina, "Waktu itu ada yang ingin kau sampaikan bukan? Mengenai apa?" ucap Elan, Seina berhenti meniupi lututnya.
"Kapan?" meskipun Seina mencoba mengingatnya, namun ia tak bisa mengingat sama sekali.
Elan menatap Seina yang menundukkan kepalanya melihat-lihat lukanya, "Waktu kamu suruh ketemu aku di UKS," ucap Elan.
"Eumb..." Seina melirik kiri dan kanan namun tetap saja ia tak mengingatnya.
"Beneran tidak ingat?" pekik Elan.
Seina menggelengkan kepalanya, "Ya sudah, lupakan," pekik Elan melipat kedua tangannya di dada.
"Kamu marah?" Seina berbicara dengan nada berhati-hati.
"Tidak," gelak Elan jual mahal.
Elan mendekat pada Seina dan terus mendekat, jantung Seina berdebar lebih kencang, keringat di pelipis Seina bercucuran, Seina merasa ada hawa dingin dan panas pada tubuhnya.
Elan mendekatkan tangannya ke dahi Seina dan mengelap keringat Seina, "Kamu berkeringat dingin, kenapa?" ucap Elan.
Seina menghindar dan melewati Elan dari sebelah kiri.
'Gila, dia ngapain sih! Pake lap keringat aku segala, rasa nonton drakor aja!' gerutu Seina pelan.
"Kamu kenapa Sey?" ucap Elan dengan polosnya.
"Eumh... Nggak! Nggak kenapa-napa. Kamu ngapain sih?" ucap Seina melirik Elan dengan tajamnya.
Elan hanya tersenyum, "Kamu tadi keringetan, padahal kamu nggak nagap-ngapain. Tapi bsia-bisanya keringetan banyak gitu," ucap Elan memainkan jarinya bekas keringat Seina.
"Apaan sih!" pekik Seina.
Elan tersenyum kembali, "Sey aku..."
'Teng tong teng.... Mohon perhatian, jam istirahat sudah selesai, silahkan kembali ke kelas masing-masing.'
Seina menunjuk ke atas, "Sudah waktunya masuk Lan," ucapnya meringis seperti tak ada rasa bersalah.
Seina dan Elan berjalan bersamaan, namun kalung yang ada di saku Elan terjatuh dan Seina melihatnya.
"Itu kalung yang waktu itu di pake sama Elina," ucap Seina menunjuk kalung yang berada di lantai.
Elan mengambil kalung itu, "Kamu suka?" pekik Elan.
Seina heran dengan pertanyaan Elan, seolah Elan akan memeberikan kalung bekas Elina padanya.
"Kalau aku bilang iya, kamu mau apa?" ucap Seina menantang.
Sepertinya Elan sudah tau dengan tantangan Seina sehingga Elan tersenyum sinis dan menjawabnya dengan lantang, "Kalau kamu suka nanti aku belikan, tapi bukan yang seperti ini lagi. Aku nggak suka bekas seseorang yang pernah singah di hati dipakai lagi sama seseorang yang menurutku special."
Seina menyipitkan matanya, "Aku pikir kamu akan dengan mudah memberikannya padaku."
"Kamu beneran menginginkan banget kalung ini ya?"
Seina menggeleng, sudah terlanjur malu kalau Seina sangat berharap Elan memeberikan kalung itu padanya, namun Seina juga berikir tak ingin bekas seseorang, mungkin omongan Elan ada benarnya juga.
"Dahlah aku mau balik ke kelas," ucap Seina membelakangi Elan.
Elan menarik tangan Seina dengan lembut, Seina kaget dengan tingkah Elan, tak mengerti apa yang Elan pikirkan.
"Tunggu dulu," lirihnya.
"Apa lagi Lan?"
Seina masih sangat berharap Elan menjadi pendamping hatinya, meskipun Elina pernah ada di hati Elan, tetapi Seina masih berharap Elan ada disampingnya terus.
"Aku nanti akan menceritakan tentang aku dan Elina," pekik Elan.
Seina melihat wajah Elan yang kini mulai serius, Seina hanya mengangguk. Melihat Elan tersenyum, hati Seina merasa bangga. Seina dan Elan berjalan menelusuri beberapa ruangan dan berpisah di kelas masing-masing.
**
Vino menarik lengan Seina tanpa berucap sepatah kata.
"Ada apa sih Vin?" Seina mencoba melepas tarikan tangan Vino, tetapi nampaknya Vino ingin berbicara dengan Seina secara bisik-bisik.
"Kamu dengar nggak berita yang beredar akhir-akhir ini?" ucapnya lirih.
"Apa?" seru Seina tak mendengar perkataan Vino yang semakin pelan.
"Ssttt... Pelan-pelan," bisik Vino menempelkan telunjuknya di bibirnya dan sekilas melirik Elina.
"apa sih bisik-bisik tetangga, nggak denger," Seina terus protes sekan tak menginginkan Vino berbicara pelan, Vino berbicara pelan sudah seperti saat sedang diajarkan pelajaran oleh bu Lela.
"Jangan keras-keras," ucap Vino terus berbisik.
Seina balas dengan bisikan mengikuti gaya Vino, "Kalau nggak mau bisik-bisik ya jangan disini kita bicaranya, lagian kamu cowok mau ngegibahin siapa sih!"
Vino menulis di secarik kertas, 'Elina.'
Seina melongo melihat tulisan Vino. Seina melirik Elina yang sibuk dengan headsetnya dan membaca novel.
Seina ingin mengajak Vino berbicara di luar namun jam pelajaran akan segera dimulai, bahkan bu Lela tengah berjalan menuju kelasnya, sehingga Seina tetap menunggu jam pelajaran selesai dan banyak pertanyaan yang akan Seina katakan pada Vino.
**
Di ruang yang banyak dijumpai siswa untuk menikmati makanannya, Seina sengaja mengajak Vino untuk makan bersama di kantin.
"Jadi apa yang mau kamu tanyakan? Elina kenapa? Ada gosip apa tentang Elina?" Seina sungguh penasaran dan tak hentinya mewawancarai Vino.
"Eh buset, satu-satu dong pertanyaannya," jawab Vino menyeruput esnya.
"Kamu beneran nggak tahu tentang Elan dan Elina?" pekik Vino sengan santainya.
"Mereka dulu pacaran kan?" ucapnya.
Vino tertawa, "Jadi beneran kamu nggak tahu ya? polos banget sih Siena-ku ini," Vino mencubit pipi Seina, namun Seina menepisnya dan cemberut.
Vino kembali berbisik, entah keapa hari itu Vino selalu mengatakannya dengan berbisik, padahal di kantin tak ada Elina.
"Elina dan Elan saudara jauh," ucapnya.
"Hah!" Seina kaget dan melotot, Seina masih tak percaya, tetapi tak mungkin juga Vino mengatakan hal bohong, apalagi Seina tahu bahwa Vino selalu mengatakan opininya tingkat kebenaran 80%. Itu berarti Vino tak main-main dengan ucapannya.
"Kenapa bisa?" lirih Seina lemas.
Vino menggoyang-goyangkan tubuh Seina, "Na−Na, kamu nggak kenapa-napa kan? Aku tahu kamu kaget, tapi itu yang sebenarnya terjadi."
"Bagaiman bisa mencintai dengan perpisahan yang begitu memilukan," ucap Seina dengan masih tak percaya pernyataan Vino.
Seina menjadi kasihan pada Elina, kisah cintanya berakhir karena ikatan saudara. Padahal Seina tahu, Elina masih menyimpan rasa pada Elan, meskipun Elina pernah mengatakan untuk melupakan Elan, tetapi Seina masih belum bisa menerima hati Elan karena satu alasan, yaitu masih memberatkan Elina.
Seina butuh pengakuan dari Elan, Seina ingin bertanya langsung pada Elan.
"Jangan temui Elan," ucap Vino.
Vino seakan peramal yang tahu apa yang nantinya akan dilakukan Seina.
"Ayolah, jangan temui Elan," ucapnya lagi.
Meskipun Vino memberitahu kenyataannya pada Seina, namun Vino masih berharap Seina tak menaruh hati banyak pada Elan.
"Kamu mau apa bertemu dengannya? Jelas-jelas dia tak baik untukmu," pekik Vino mulai cemberut dan makan dengan kesal.
"Aku hanya ingin penjelasannya," ucap Seina.
"Penjelasan seperti apa lagi sih? Udah jelas kan apa yang aku katakan? Gosipnya udah nyebar kemana-mana," ucapnya dengan kesal dan melirik matanya ke bawah, Vino melihat kaki Seina yang tampak janggal, meskipun Seina berusaha menutupi luka dilututnya.
**Bersambung...
Ikuti terus cerita ini ya, jangan lupa coll dan review untuk meramaikannya. Terimakasih.