" iya, saya yang mendonorkan ginjal pada kak Angga." Mendengar jawaban itu, pak Hasan seketika ingin mencium kedua kaki gw dan gw pun mencoba tuk menghentikannya. " Udahlah, saya hanya ingin menolong kak Angga saja. Semua ini terjadi atas kehendak Allah semata," jelas gw dan pak Hasan kembali berdiri menangis bahagia ditolong oleh orang yang tak disangka olehnya.
Jari telunjuk kak bergerak-gerak tanda ia sadar dari komanya selama satu Minggu lebih, " Angga, ini ayah, nak. Angga..." Jarinya terus saja bergerak dan kedua matanya perlahan terbuka sedikit demi sedikit, " Ayah..." Akhirnya, kak Angga pun sadar dari koma dan penglihatannya semakin jelas. " Angga ada dimana, yah?" tanya kak Angga baru saja sadar dan kaget ia berada di rumah sakit. Pak Hasan langsung memeluknya dengan penuh bahagia karena anaknya telah sadar, "" syukurlah kalo kamu sudah sadar," ucap pak Hasan sedikit lega.
Mata kak Angga tertuju ke arah gw usai melihat sang ayah, " ayah, Angga boleh gak ngomong sama Amel sebentar?" Pak Hasan tersenyum dan justru membolehkan hal itu, " yaudah kalo begitu. Ayah keluar sebentar ya," ucap pak Hasan pergi ke luar kamar, sedangkan di dalam hanya ada gw dan kak Angga yang terbaring. Gw pun mendekati kak Angga, berdiri di sebelahnya. " Gw seneng banget karena kakak udah sadar, apa masih ada keluhan lagi?" tanya gw sambil mengelus kepalanya mengeluarkan keringat darinya, kak Angga memegang tangan gw dan melepaskan dari kepalanya. Kemudian, ia juga mencium tangan gw sambil tersenyum bahagia, " saya bersyukur banget karena masih bisa ketemu sama kamu," ucap kak Angga sudah tak menggunakan alat bantu pernapasan lagi. " Pas kakak dibawa kesini ternyata kakak mengalami gagal ginjal dan untungnya ada orang yang mendonorkan ginjalnya buat kakak," jelas gw memegang tangan kanannya, " oh ya, siapa?" tanya kak Angga.
Baru saja ingin jawab pertanyaannya, ada orang yang masuk dan ternyata si Chelsea. " Kakak, Chelsea kangen tau sama kakak. Akhirnya, kakak sadar juga," ujar Chelsea tampak bahagia melihatnya sadar dan saat melihat gw memegang tangan kak Angga, begitu pun juga kak Angga. " Ehmm... Belum sah tau.... Udah mulai aja nih," ledek Chelsea di depan gw dan kak Angga, " sst... Jangan kayak gitu. Kasihan nih kak Amel jadi malu gara-gara kamu." Kak Angga malah menambah- nambah hingga gw bener- bener malu dan melepaskan tangan kak Angga bermuka dingin secara tiba-tiba. Berbalik badan membelakangi kak Angga hendak ingin keluar, tapi seperti ada yang menarik tangan gw dari belakang dan berfirasat kalo itu tidak lain kak Angga.
" Amel mau kemana? saya cuma bercanda doang kok," ucap kak Angga menahan gw pergi dari situ, Chelsea hanya melihat dengan tersenyum ceria karena kebersamaan gw dan kak Angga. " Kak Amel disini aja, kasihan kak Angga sendirian," ujar Chelsea berdiri di sebelah gw dan kebetulan pak Hasan masuk ke dalam, matanya pun langsung tertuju pada tangan kak Angga yang masih saja menggenggam tangan gw. Secepatnya, gw langsung melepaskan kembali dan duduk di atas sofa, sementara pak Hasan sedang berbicara kepada kak Angga serta Chelsea, khawatir mengganggu mereka dalam bicara maka gw keluar dari kamar kak Angga.
" Gimana perasaan kamu hari ini? kelihatannya senang sekali," ucap pak Hasan pada kak Angga karena wajahnya terlihat sangat bahagia. " Iya, Angga seneng banget masih bisa ketemu sama Amel, yah. Apa menurut ayah ini udah waktunya buat Angga melamar Amel?" tanya kak Angga, " sebenarnya ayah juga setuju kalau kamu melamar Amel dan nikah, tapi kamu kan baru sadar dan belum juga sembuh. Nanti aja kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit, Angga boleh melamar Amel," jelas pak Hasan dengan nada lembut dan Chelsea pun ikut mendengarkan penjelasan dari ayahnya, " kalau nunggu Angga keluar dari rumah sakit Angga khawatir kak Alex bakal nekad buat dapetin Amel. Sekarang pasti dia udah keluar dari penjara dan kita gak tahu apa yang bakal ia rencanakan," ujar kak Angga sangat takut akan kehilangan seseorang yang telah melekat baginya, lagipula gw menjalani perkuliahan bersamanya 2 tahun lebih. Dari situlah pak Hasan menenangkan karena takut anaknya menjadi terlalu banyak pikiran, sedangkan kondisinya saja belum cukup pulih.