"Jadi bisakah kau beri tahu namamu?"
Serasa tidak asing, namun mau berapa kalipun aku berusaha untuk mengingatnya, wajah serta ekspresinya tetap tidak ada diingatanku. Satu hal yang paling membekas hanyalah suaranya.
"Namaku Io Karma"
Dia terdiam, menatapku dengan matanya yang terlihat bersinar dan memperhatikanku dengan sangat jeli.
Tidak terlalu lama untuknya puas memperhatikanku, setelah melihat dari berbagai arah akhirnya dia kembali diam di depanku.
"Io Karma, jelaskan keadaan tentang dirimu. Setelahnya baru kita akan membahasnya lebih rinci"
Sepertinya dia memahami apa yang terjadi padaku, mungkin dia memerhatikanku karena ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Lalu aku membicarakannya, tentang aku yang berasal dari dunia lain dan dipindahkan ke dunia ini.
Dengan tenang dia mendengarkannya, tidak menanyakan hal yang akan menyinggungku ataupun hal mengenai kehidupanku.
Apa yang dia pedulikan adalah hal tentang Dewi, kekuatan dan berbagai hal tentang perpindahan dunia.
"Lalu apa keinginanmu di dunia ini?"
"Keinginanku di dunia ini tidak ada, hanya ingin pulang"
"Pulang? kenapa kau tidak memilih menyerah dan menerima kehidupanmu di dunia ini saja?"
"Karena aku tidak menginginkannya, keluarga, teman, dan masa depanku ada disana. Karena itulah aku ingin pulang ke tempatku berada"
"Tetapi, bukankah keberadaanmu dihapus?"
Mendengarnya lagi aku semakin kesal. Tetapi aku hanya terdiam, memperlihatkan ekspresi yang seharusnya tidak kutunjukan.
"Ketika keberadaanmu dihapus, semua masa lalu ataupun masa depanmu tentu saja ikut terhapus. Malahan kalau kau kembali ke duniamu, dunia hanya akan menganggapmu sebagai pendatang asing"
Apa yang dikatakannya adalah benar, tidak bisa disangkal.
"Walaupun begitu semua kenangan ku bukanlah palsu, apa yang telah kulakukan di duniaku tetap kuingat. Dan tetap saja dunia ini bukanlah dunia tempat ku terlahir"
"Kau benar, lebih tepatnya hanya kau. Kau saja yang mengenal duniamu, tidak dengan mereka, jangan memaksakan keegoisanmu pada mereka. Karena memang seperti inilah yang dinamakan takdir"
"Kau ingin bilang kalau aku tidak akan pernah bisa kembali ke duniaku kah!?"
Tentu aku marah, semua perkataannya adalah kebenaran, aku juga mengerti akan hal itu.
Akulah yang paling mengerti tentang itu.
"Tidak, bukan seperti itu..."
Dia diam dan mengalihkan pandangannya.
"Tetapi untuk sekarang lebih baik kita tidak membahasnya lebih lanjut. Aku akan menjelaskan tentang dunia ini sambil berjalan, jadi mari kita pergi"
Aku mengerti tentang apa yang ingin dia katakan, bukan tidak bisa kembali.
Hanya saja...
Sudah tidak ada tempat untukku kembali. Dunia tempatku terlahir sudah tidak bisa kuanggap sebagai tempat tinggalku, semuanya sudah hilang.
Semenjak sang dewi menghapus keberadaan ku dari duniaku.
Karena itulah aku juga memutuskan untuk mengikuti perkataannya, hal yang terpenting untuk sekarang adalah mengenal dunia ini.
"Aku mengerti, tetapi kita akan pergi kemana?"
"Ke rumahku"
Dengan begitu dia menjelaskan berbagai hal tentang dunia ini, termasuk hutan yang sedang ku injak ini yang ternyata adalah buatannya.
Hanya saja aku tidak menyukai penjelasan tentang dirinya.
Dia adalah penyihir. Tidak menyebutkan nama atupun memberitahuku lebih jauh tentangnya, dia hanya menyuruhku untuk memanggilnya sebagai penyihir.
Yang pasti hutan yang dinamakan sebagai "Hutan Malam" ini adalah sebagian dari kekuatan miliknya.
Nama hutan malam diambil seperti apa yang memang terlihat, dimana hutan ini selalu menunjukan langit malam.
Pepohonan yang besar dan menjulang tinggi menyebabkan hutan ini sangat gelap, dedaunannya tidak membiarkan sinar matahari sampai ke dalam hutan.
Kebanyakan mahluk hidup disini bisa mengeluarkan cahaya. Hewan, tumbuhan, bahkan ada beberapa buah yang bercahaya.
Dan lagi semua mahluk hidup ataupun benda yang ada disini juga tercipta olehnya. Mungkin ada yang terlahir dan terbentuk dengan sendirinya, tetapi semua dasar dari hutan ini adalah buatannya.
Menakjubkan. Hanya itu yang bisa kukatakan.
Beberapa hewan dan tumbuhan disini juga ada yang sama dengan di duniaku. Seperti Tupai tetapi dengan ekor yang bersinar juga mempunyai mulut yang bisa menyimpan makanan tidak terbatas, serigala yang bisa menghilang dan berbagai macam jenis mahluk hidup lainnya.
Hal yang membuatku terkagum lagi adalah hewan kecil berduri yang hidup di langit-langit dari hutan ini.
Mereka bersinar dan terlihat seperti bintang. Hutan ini membuat dunianya sendiri, memperlihatkan bahwa tanpa perlu langit luas ataupun bintang bintang, hutan ini bisa membuat hal yang sama ada di hutan ini.
Namun suasana disini terlalu sunyi dan sepi, walaupun aku melihat hewan berkeliaran, mendengar nyanyian peri yang berterbangan ataupun tumbuhan kecil seperti jamur menerangi jalanan, tempat ini tetaplah terasa sepi.
"Sebentar lagi kita sampai, disana adalah rumahku"
Apa yang ditunjuk oleh jarinya membuatku terdiam. Pandanganku sampai tidak bisa dialihkan, terus menerus menatap pohon terbesar yang pernah kulihat.
Lalu kami berjalan, menuju satu-satunya tempat yang disinari matahari dan memiliki langit biru yang cerah.
Melewati Danau, rerumputan yang nyaman dan hangat, begitu juga dengan hewan dan mahluk hidup lain yang terlihat bahagia dibawah pohon raksasa.
Besar dari pohon yang kulihat tidak bisa diperkirakan, bahkan mungkin bisa saja negara didirikan di dalam pohon tersebut.
Mungkin hanya ada 1 hal yang membuatku tidak nyaman dengan tempat ini.
Kenapa semua mahluk hidup yang ada disini menjauh dari sang pencipta mereka? Tidak mau mendekat, hanya dengan melihatnya mereka lari dan pergi.
Sedangkan para hewan tidak ada masalah dekat denganku, aku juga tidak menyukai sifat si penyihir.
Dia sengaja menjauh dariku, agar aku bisa dekat dengan hewan yang dibuatnya. Padahal wajahnya menggambarkan keirian serta rasa sedih yang mendalam.
Aku ingin bertanya dan mengatakannya, tetapi aku sudah sedikit paham dengan dia.
Penyihir mungkin bukanlah suatu kata yang membawa kebaikan. Bahkan aku sendiri juga mengerti kalau harus menjauh dari kata penyihir.
"Kita sampai, ulurkan tanganmu"
"Baiklah"
Aku menjulurkan tanganku dan dia memegangnya, setelah itu melepaskannya.
Lalu tanpa mengatakan apapun dia pergi. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan pada tanganku, aku hanya merasa takjub ketika di telapak tanganku ada lambang berbentuk mata yang bersinar.
Disekitar akar pohon ada sebuah jalan menuju bawah tanah, dan sekarang kami berjalan kedalam sana.
Semakin kebawah, menuju kegelapan dimana tidak ada cahaya sedikitpun. Anehnya aku bisa melihat sekeliling dengan jelas.
Mungkin karena tanda mata di telapak tanganku aku bisa melihat di dalam kegelapan.
"Kenapa kita menuju kebawah... Bukankah pohon besar itu adalah rumahmu?"
"Itu memang rumahku, tetapi karena itulah aku tidak tinggal disana"
"Hmm? Kenapa?"
"Karena terlalu besar"
Setelah aku pikir-pikir lagi, mungkin perkataannya memang benar. Tinggal didalam pohon sebesar negara pasti akan sangat menyebalkan.
"Tetapi alasan sebenarnya... Adalah karena aku tidak nyaman berada disana"
"Apa yang membuatmu tidak nyaman?"
Dia tidak menjawab. Aku juga tidak bertanya lagi.
Apa yang kutanyakan sepertinya menyinggung perasaannya.
"Sampai juga di ruanganku, duduklah di manapun yang kau mau"
Walaupun dia bilang kalau ini adalah ruangan miliknya tetapi tidak ada apa-apa disini. Hanya lilin yang menyala, meja, kursi dan tempat tidur yang sederhana.
Tetapi sangat nyaman, bahkan lebih nyaman daripada berada diatas sana.
"Sekarang sudah waktunya untuk membahas semuanya, disini-"
"Bisakah kita mulai dari membahas tentang dirimu?"
Aku menyela pembicaraannya, bukan hal yang baik dan aku yakin dia tidak menyukainya. Tetapi aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.
"Kenapa membahasku? bukankah kau ingin kembali ke dunia mu?"
"Karena keberadaanmu"
"Apa kau yakin? cerita tentangku tidaklah penting"
Mungkin bagi dirinya sendiri dia bukanlah keberadaan yang begitu berharga, sebaliknya dia hanyalah pembawa keburukan.
"Kalau begitu kenapa walaupun aku hanya bertemu sebentar aku merasakan hal buruk padamu, hutan yang kau buat sangat menakjubkan namun juga menyedihkan ketika melihat mahluk hidup yang kau buat malah menjauh darimu"
"Satu jawaban dari semua pertanyaanmu"
Wajahnya Yang datar entah kenapa malah membuat perasaannya lebih terasa, perasaan benci akan dirinya sendiri.
Jawaban yang diberikannya mewakilkan kehidupan yang telah dilaluinya, namun aku masih tidak mengerti seberapa berat dia mengemban kata terkutuk itu.
"Karena aku adalah seorang penyihir"