"Kamu kenapa tidak punya ponsel sih sih?" tanya Echa merasa tak nyaman ketika ingin menghubungi Xena bagaimana caranya.
"Karena aku tidak punya seseorang yang harus aku hubungi," sahut gadis itu santai. Kini ke tiganya tengah makan di kantin seperti biasa.
Walau rasanya agak aneh bagi Xena sendiri sebab seperti dirinya hari ini menjadi sasaran tatapan dari banyak orang.
"Masa tidak punya, keluargamu sendiri bagaimana? kau berkomunikasi dengan mereka pakai surat? Atau langsung saja bicara di rumah?" untuk Echa masih kurang senang dengan jawaban gadis itu.
Rasanya sangat aneh mengingat di zaman serba teknologi seperti ini masih ada orang yang tidak punya ponsel Padahal hal itu sangat penting.
"Aku tidak punya keluarga," sahut Xena memakan pentol baksonya.
Untuk yang kali ini jawaban dari Xena Sungguh diluar dugaan.
Echa bahkan terbatuk karena kaget. Sasa melotot tak percaya apakah barusan ia salah dengar.
mereka memang jarang membicarakan soal keluarga, lebih tepatnya Xena yang masih menutup diri hingga orang-orang temannya itu masih belum bisa bertanya dengan leluasa padanya, kebanyakan malah mereka yang bercerita, sementara Xena dengan sabar mendengarkannya.
"Kerabat?" tanya Sasa.
"Tidak punya."
Mereka saling lirik.
"Kamu tinggal sendiri ya?" tanya Echa hati-hati, takut nanti Xena tersinggung atau merasa sedih.
"Iya."
Meski tidak tahu apa penyebabnya, satu kemungkinan yang pasti, mungkin orang tuanya sudah meninggal, sebab tak mungkin mereka meninggalkannya seorang diri, pantas saja, pasti Xena merasa sangat kesepian.
"Tapi tetap saja, belilah satu, siapa tahu nanti kami butuh bantuanmu," ujar Echa lagi membujuk.
"Akan kupikirkan," sahut Xena.
Ketika mereka tengah asik makan siang, tiba-tiba saja muncul Arif yang kebetulan lewat sendirian sambil membawa semangkuk mie ayam, ia berhenti tepat di depan Xena, memerhatikan gadis itu.
"Kau anak baru itu ya?" celetuknya tanpa basa-basi, membuat Sasa, dan Echa ikut menoleh padanya.
"Dia punya nama, Xena," ujar Echa menjelaskannya.
"Nah iya Xena."
Ditatapnya lekat-lekat gadis yang masih sibuk dengan baksonya itu tanpa menoleh sedikit pun.
Dia cantik, lebih ke cantiknya tak membuat bosan jika dilihat lama-lama.
Penampilannya kali ini benar-benar berbeda dari biasa, dia saja hampir naksir kalau tidak ingin Rifqi yang juga suka pada gadis itu duluan.
Jadi bakso itu segera ia taruh di atas meja.
Ukuran meja itu memang cukup untuk sekitar enam orang.
"Aku duduk di sini ya," katanya santai tanpa memerlukan persetujuan dari orang yang ada di sana.
Ia kemudian melambaikan tangannya pada Rifqi yang juga datang dengan mangkok di tangan, kalau dia sendiri memesan mie pangsit.
pemuda itu nampak mencari keberadaan Arif. Untungnya Arif melambaikan tangannya, segera saja ia mendekat, awalnya tidak ngeh kalau di sana ada Xena, sebab gadis itu tak mengenakan jaket kesayangannya.
Baru ketika pangsit itu diletakkan ia menyadari ada wajah familiar.
"Bukanya dia Xena?" ujar Rifqi dengan wajah bingungnya.
"Iya, duduklah, mau sampai kapan berdiri di sana," sergah Arif.
Lagi-lagi mereka makan ramai-ramai. Dia saat yang lain merasa canggung hanya Xena yang santai saja. Bahkan melirik pun tidak.
Sementara itu Rifqi nampak mencuri pandang padannya, ia nampak cantik sesuai dengan penglihatannya, sekarang ia menyesal tak membawanya pergi jauh-jauh.
Sementara Sasa yang paling tegang di sana, hingga Ech menyengol tangannya supaya gadis itu santai saja.
Rifqi bertanya-tanya, kenapa penampilan gadis itu tiba-tiba saja berubah. Padahal sebelumnya sangat berbeda. Tapi ada bagusnya juga sih, mungkin dengan begini orang-orang tak akan mengatainya aneh lagi.
"Xena," panggil Arif tiba-tiba.
Gadis itu langsung meliriknya.
"Kenapa?"
"Mau gabung ke grup cheerleader gak? lagi buka lowongan soalnya, nanti kubantu masukin berkasnya," ujarnya mengajak.
"Tidak tertarik," sahutnya.
"Oh, ok," gumam Arif berusaha untuk tetap tersenyum.
Rifqi mengerutkan keningnya, kejedot apa pula anak ini sampai menawarkan hal semacam itu, sudah jelas gadis macam Xena tak akan mau ikut begituan.
***
Sementara itu di tempat lain, Chandra baru saja datang dan Dino kini tengah tiduran di bangku panjang taman, letaknya di bawah pohon mangga besar. Rindang dan sejuk. Cocok untuk tidur siang.
"Tumben kau enggak ngintilin tuh anak baru," ujar Chandra membuka percakapan.
"Hm."
"Dia hari ini agak beda loh, cantik banget lagi."
"Berisik." sahut Dino berusaha untuk tak terlihat peduli.
"Aku tadi lihat dia lagi makan siang sama Rifqi," sambung Chandra lagi sambil tersenyum penuh kemenangan.
Benar dugaannya kali ini Dino langsung bangun.
"Kamu bilang apa tadi?"
"Itu si Rifqi lagi makan bareng si anak baru."
Setelah mendengar hal ini, Dino rasanya tak akan bisa diam saja.