Pada hari yang ketiga kasus pencarian Rindu belum juga membuahkan hasil sedikitpun, bahkan semua telah dikerahkan sekuat dan semampu masing-masing individu.
Randu yang sudah membayarkan lunas untuk ajiannya terus menerus dilakukannya hingga merasa letih, usahanya menggantungkan cincin merah delima tak kenal waktu dan bahkan berusaha memerintahkan semua kawanan baik dunia nyata maupun tak nyata.
Dengan kemiringan yang signifikan membuat para pencari memastikan jika Rindu kemungkinan baik selamat namun cacat dan kemungkinan terburuk ialah mati, tetapi jiwa Randu sangat menyakini perempuan yang sangat ia kagumi maupun cintai masih berada di sampingnya hingga saat ini.
Tim sar beserta tim gabungan lainnya menyerah akan kasus yang menimpa Rindu, tak hanya itu Randu yang pulang dengan kondisi terpuruk itupun hanya terus mengurung di kamar berlarut-larut memikirkan hal tersebut.
Ketika Randu di dalam kamar mencoba untuk berbicara sendiri ia teringat akan sosok Rindu ketika kala pertama bertemu, lamunan yang cukup panjang itu terhenti disaat suara gelas pecah terdengar.
"Sudah tiga hari gak pulang, papa ke mana saja? Gak Randu, gak papa sama saja. Sekali saja buat aku tenang."
"Papa begini juga karena cari uang, uangnya juga buat kalian. Lagi pula Randu itu sudah besar, kita gak usah memedulikannya secara berlebihan. Terlebih dia itu anak laki-laki."
"Apa, papa bilang? Berlebihan? Justru ini membuat mama aneh, semua yang mama katakan dan cemaskan selalu saja dianggap berlebihan. Mama begini karena mama peduli sama papa, sama Randu anak kita juga."
"Terserah mama bicara apa, lebih baik gak pulang sekalian saja daripada pulang hanya dengar omelan terus. Bosan aku."
Gelas yang di meja kanan papa itu diangkat lalu dihempaskan cukup keras mengenai plipis mata mama Widya, tentu hal tersebut membuat air mata kembali keluar.
Randu yang mengintip dari mulut pintu itu hanya memikirkan Rindu di sana, perasaannya semakin kacau bahkan sempat berhenti melakukan aktivitas sendiri maupun bersama teman-teman lainnya.
Mama Widya yang mengetuk pintu di kamar Randu belum juga berhasil membujuk anak laki-lakinya untuk makan maupun hal lainnya, temannya Putri yang mengetahui alamat sesuai di pesan singkat itupun merayu agar pacarnya kembali seperti sedia kala.
"Udah tiga hari aku gak jumpa sama mas Randu. Belum lagi katanya mamanya, mas itu juga mogok keluar kamar dan mogok makan. Kenapa toh, mas? Ini Putri bawakan makanan di rantang, memang cuma daging setengah matang kesukaannya mas. Putri sengaja bawakan buat, mas."
"Gak perlu, bawa saja lagi. Dan jangan ganggu aku."
"Mas... mas, makan sedikit ya. Kasihan perut, mas."
"Gak."
"Ayolah, mas. Sesuap saja."
"Enggak ya enggak, gak usah maksa. Siapa yang minta kamu datang? Sana pergi!"
Randu yang kesal itu menghempaskan sendok yang hendak untuk menyuapinya, Putri seketika menangis tak kuasa melihat orang dicintainya berlaku kasar.
Seketika itu juga Randu langsung memeluk Putri untuk menenangkan sedikit demi sedikit akhirnya berhasil, begitu pula dengan beberapa suapan yang habis satu mangkok.
Pelukan yang terhenti ketika ada sebuah kabar ditemukan mayat terakhir tentunya membuat Randu bergegas cuci muka, tanpa memedulikan Putri di depannya.
"Aku berada tepat di depanmu, semua malah justru menjadi di belakangmu. Aku seorang manusia yang memiliki hati, berulang kau sakiti bisa saja aku pergi tapi demi menaruhkan cinta tak kan satu orang bisa memilikimu seutuhnya walaupun itu Rindu."
Randu yang bergegas ke tempat terjadinya kecelakaan di jurang itupun dengan mengendarai mobil tanpa seizin papanya terlebih dahulu, ketika itu juga dia merasakan ada sebuah bisikkan untuk menuju ke jalan lain dan diturutinya.
Seketika itu papa Dandi sedang berpelukkan dengan seorang gadis yang usianya seperantara Randu, tetapi kala ia hendak menyelidiki teringat kan sebuah kabar mengenai penemuan sebuah mayat terakhir dan ditinggalkanlah peristiwa tersebut.
Nampak dari kejauhan Jono menangis di dekat mayat yang sudah terbungkus, luka bakar akibat ledakan saat jatuh cukup besar membuat hampir sembilan puluh persen tak bisa dikenali sedikitpun oleh polisi.
Randu yang keluar dari mobil itupun langsung berlari, tetapi perasaannnya mengatakan mayat yang sudah terbungkus bukanlah Rindu.
"Aku yakin ini bukanlah Rindu."
"Sudahlah bebeb Randu, Jono sama mas Danu berharap yang sama tetapi ini kenyataannya jika ini adalah Rindu."
"Betul, mas Randu. Ini mayat terakhir yang kita temukan, sesuai dengan kartu pelajar di saku korban."
"Jaga bicaramu, kalian semua tahu apa tentang beginian? Pokoknya aku masih yakin dengan pendirianku diawal, mayat bakar ini bukanlah Rindu. Dia masih hidup, aku sangat yakin dan seratus persen bukan dia."
Randu yang meminta teman-teman dan dirinya juga ikut pergi, kini mencoba menyelidiki sebuah kasus pelukan papa Dandi dengan seorang gadis seusianya.
Di dalam mobil ia mendapatkan sebuah cepitan rambut dan beberapa perlengkapan rias, Randu yang kacau itu mencoba menciptakan perubahan pada dirinya.
Sorenya yang tak menahu membuat Randu merasakan gairah kembali, kasus yang menimpa Rindu teralihkan begitu saja.
Mama Widya yang memberikan sebuah peringatan terhadap anaknya untuk pulang tidak larut itupun masuk ke dalam mobil, dan meminta beberapa uang di tranafer ke rekeningnya.
Randu yang mengemudikan mobil menuju hutan dengan membawakan beberapa makanan untuk dijadikan makan para perempuan disekapnya, tidak terima itu dua diantara tujuh telah mengeluhkan pusing dan mual.
Tiba-tiba saja sore yang berganti petang dengan cukup gelap langit dan hanya bantuan listrik rakitannya itu ada sebuah celak cahaya terang, Randu yang membaringkan diri diantara mereka yang makan meminta untuk juga digrayahi.
"Mas, itu mbaknya yang dua perutnya membesar."
"Mana?" Randu yang dicoba dialihkan dirinya berdiri dan dipukul cukup keras membuatnya pusing.
Para perempuan tawanan yang berusaha melarikan diri itu dikejar Randu, memanglah benar dua perut gadis yang pernah ia grayahi itu telah membuncit.
Lima diantaranya telah berhasil melarikan diri dan hanya keduanya kembali tertangkap, Randu yang mengikat kedua tangan diantara dua tiang lalu melepaskan celana maupun busana lainnya.
"Kalian berdua akan dijadikan sebuah tumbal selanjutnya untuk ajian cincin merah delima, aku tahu kalian hamil cepat karena cincinku dan darah yang mengalir akan menjadi minumanku lalu bayi yang keluar akan aku colok mata, lidahnya untuk camilan."
Randu yang tanpa berpikir panjang langsung menendang keras perut tersebut belum juga mendapatkan reaksi, dirinya yang mengambil bongkahan balok besi didaratkan berulang-ulang kali.
Entah mengapa malah justru perempuan itu bisa beralih menjadi Rindu, seketika itu juga dia bersimpuh dan meminta maaf.
Randu yang terlena akan kejadian tersebut membuatnya melemah, bahkan mendapatkan serangan beberapa penunggu hutan dan membuatnya seketika melemah.
Dia yang seketika menjadi kuat dan kebal membuatnya semakin beringas, pertengkaran diantara bertiga akhirnya dimenangkan Randu. Perempuan yang perutnya ditusuk menggunakan bongkahan besi tembus hingga belakang.
Sebuah suara derap langkah begitu kuat bercampur embusan nafas yang terdengar ke telinga Randu, seketika orang itu berlari hingga menginjak sebuah kayu yang menimbulkan nyata jika ada yang membuntutinya dari awal hingga ke tempat tersebut.
Hal tersebut membuatnya ketakutan dan berusaha mengejar orang yang membuatnya tidak nyaman, Randu yang berusaha lari sekuat kilat masih tetap kalah akan usahanya mencari tahu tentang itu.
"Aku bersumpah, siapapun kamu bakalan aku kejar dan habisi jika tahu."
Randu yang kehilangan jejak tersebut langsung meninggalkan hutan, dia yang sudah ditransfer uang mama Widya maupun setoran akan usahanya membuat konten di media sosialnya berjalan menuju club malam.
Dia yang memesan beberapa minuman keras diteguknya berulang-ulang kali hingga merasa kacau, tanpa dieja Randu lidahnya meracau jelas mengucapkannya.
"Aku seorang pembunuh para gadis."
Seorang perempuan telah mendekatinya pelan-pelan dan mengobrol banyak mengenai akan apa yang terjadi, tetapi Randu seketika itu mengalihkan sebuah pembicaraan.
Malam semakin larut terlihat dari jam weker di meja yang terdapat empat botol bening dan beberapa bungkus rokok, Randu yang pulang dalam kondisi mabuk langsung masuk ke kamarnya.
Pukul dua belas malam dirinya telah dilanda kelaparan, dia yang mengambil beberapa daging mentah dalam kulkas.
Randu yang membuat sebuah alat percobaan membius orang tanpa menyentuh dicobanya terhadap mama Widya, bukannya berhasil malah justru dipukul menggunakan penanak nasi yang digenggam.
"Dasar bocah, maksudnya apa? Mau coba rayu mama, sadar hei."
"He he he, belajar drama. Katanya disuruh sekolah, ini juga latihan buat tugas bahasa indonesia."
"Yakin? Mama rasa kamu sedang berbohong, terus kenapa mabuk? Jangan-jangan di luar sana kamu juga melakukan yang sama dengan perempuan seusia mama."
"Enggak kok, ma. Sumpah, kalau berbohong lidah Randu bakalan terpotong suatu saat nanti jika ketahuan."
Jantung yang berdegup kencang itu membuat Randu berjalan sempoyongan dan kembali ke kamarnya, dia yang membayangkan begitu banyak wanita telah menggrayahinya dan memiliki keturunan dari para wanita yang juga dibunuhnya.
Imajinasinya semakin liar hingga memberanikan diri untuk menghubungi Putri, mereka yang malam-malam ketemuan dengan mengendap-endap berhasil keluar rumah.
Mereka berdua yang bercinta di tengah taman tiba saja ada orang yang melakukan kegiatan meronda maupun petugas keliling, hal tersebut tentunya ia tidak ingin masa percintaan terganggu baik satu maupun banyak orang.
"Ya udah mau gimana lagi, ini nyokap aku juga telepon."
"Ya udah, Put. Makasih banget udah nemani aku."