Malam yang mengharuskan pengasahan ajian cincin merah delima kembali dilakukan, tetapi hal tersebut tentunya tidak mudah dan harus mencari para perempuan gadis tengah hamil pertama.
Randu yang mencoba mencari di sekeliling tak juga mendapatkan, tetapi hal tersebut tak membuatnya gentar untuk perihal apa yang harus dimilikinya.
Mobil yang terus dilajunya tiba-tiba saja berhenti di sebuah jalan menuju puncak, ia yang mencoba mencari gadis-gadis lain malah bernasib sial.
"Ada baiknya aku tinggal di mobil saja dulu, besok baru aku coba cari tukang bengkel buat benerin ini mobil."
Dia yang tidur di dalam mobil dengan terselimuti jaket membuatnya cukup pulas, tetapi mobil itu tiba-tiba berjalan tanpa diketahuinya menuju ke tempat lebih sepi.
Arwah arwah para perempuan maupun bayi yang pernah ia siksa dan ditumbalkan mencoba mengganggu tidur Randu, tak hanya sekali dua kali arwah itu mencoba membunuh.
"Mau apa kalian? Aku gak takut sama kalian." Randu yang membuka mata dan terbangun seketika.
Randu yang berusaha berpindah ke depan kemudi mobil malah tubuhnya terasa terikat kencang, ia juga mencoba mengucapkan berulang-ulang namun ajian tersebut tidak mendapatkan respon.
"Bangsat, kenapa malah gak keluar begini? Hey, keluar kamu. Hadapin ini para arwah, woy!"
Kekesalan yang memuncak malah justru membuatnya semakin merasakan kesakitan, ia yang dipaksa untuk menjulurkan lidahnya dan ditusuk-tusuk menggunakan paku maupun dipukul berulang kali menggunakan balok.
"Panas, asem. Kalau berani satu lawan satu, dasar kalian cupu. Beraninya main keroyokan, sini kalau berani lepasin aku."
Tatapan salah satu perempuan yang pernah ia bolongi matanya menatap Randu begitu bengis, seleretan darah mengalir di korneanya. Pipi halus beralih kasar dengan cambukan keras mengasar, gilasan kunyahan daging di mulut menggambarkan akan memakan Randu hidup-hidup.
"Bangsat kalian! Lepasin aku, tahu kalian? Para anak buahku bisa menghancurkan rumah maupun kalian, ingat itu!"
Randu yang diikat semakin kuat lehernya dililitkan dengan kawat bangunan, lidah yang dibolong itu kini dipasangi dengan rantai tebal.
Bara api dengan sekeliling itu telah mengelilinginya cukup menenggelamkannya, Randu yang teriak-teriak ucapan maaf itu tak pernah berhenti dan ada seorang pria tua cukup tinggi telah mencambuknya berulang-ulang kali.
Cambuk berlapiskan bola paku itu menghujam ketubuhnya, Randu yang disisakan dengan daging tanpa busana itu terus dihukum hingga urat-uratnya terlihat mengalirkan darah.
"Permisi, maaf mas sudah pagi."
"Bangsat kalian, sana pergi."
"Mas... mas... ini sudah pagi."
Randu yang tiba saja terbangun dari sebuah mimpi terkejut jika dirinya telah mengalami bunga tidur, dengan penuh keringat dingin dirinya telah membuka mobil.
"Mas, kenapa tidur di sini? Kayaknya saya gak pernah melihat sebelumnya."
"Sebenarnya aku mau ke villa sama teman-teman tapi gak sinyal untuk menjemput, ya ini mobil juga mogok."
"Oh... saya kebetulan tukang bengkel dekat sini, mari saya benarkan mobilnya."
"Oke, benarkan ya. Soalnya hari minggu ada jadwal sama klien."
"Siap, mas."
Randu yang duduk menunggu mobilnya diperbaiki mencoba membuka ponselnya yang awalnya susah sinyal, dia tak menyangka bahwa mimpinya itu terasa nyata.
"Untung aja mimpi, sialan banget. Tapi aku harus segera dapatkan tumbal buat merekatkan kekuatanku dengan ajianku, enak saja komando Randu Wisanggeni kok malah dipermainkan. Awas saja bakalan aku cari tumbal sebanyak-banyaknya." Batinnya.
Tiba saja sinyal ada dan ia terkejut bahwa Randu telah dimasukkan beberapa grup whatsapp berisikan para wanita-wanita muda dan bergadis, senyum menghanyutkan telah tersebar.
"Cerdas, sangat cerdas."
"Apanya, mas? Apa yang cerdas?"
"Oh bukan apa, cerdas pekerjaanmu itu. Udah selesai kerjaannya?"
"Sudah, mas. Monggo."
"Oke mantap, ini uangnya."
"Gak ada kembaliannya itu, mas."
"Ambil saja, oh iya aku minta nomernya misalkan butuh apa-apa."
Randu yang selesai mengurusi semua bergegas pulang, tetapi sampai di depan rumah ada seorang laki-laki tengah memaki mama Widya.
Tentu hal tersebut membakar amarahnya ketika mama Widya meminta untuk bersujud di depan laki-laki itu, ayunan dengan kepalan mengeras mendarat hingga mematahkan gigi rahang atas.
Pertengkaran yang semakin tak karuan membuat mama Widya melakukan kekeliruan dalam mengambil keputusan, tusukan pisau itu membuat laki-laki pergi begitu saja.
"Maafin, mama. Mama gak bermaksud nusuk, Randu. Maafin, mama."
"Mama jahat, kenapa mama lakuin itu ke Randu?"
"Ran... Randu... Ran... Jangan tinggalin, mama."
Randu yang kesal itu pergi meninggalkan rumah dengan mengambil beberapa perlengkapannya maupun benda-benda pendukung ajiannya, seketika itu juga tak berpikir dua kali langsung tancap gas menuju ke tempat persembunyiannya.
Dalam perjalanan tak sengaja sebuah pandangan melihatkan pak Baroto telah berjalan melawan dirinya, Randu yang melaju cukup kencang masuk ke dalam jurang.
Dia yang tergelincir jauh tak menyangka jika dirinya telah ditolong oleh perempuan muda, dengan bantuan sederhana dibawalah Randu menuju ke rumahnya.
"Bapak, aku nulungi uwong tapi aku gak kenal. Kepiye?"
"Tenang, nduk. Biar bapak sing nangani."
Disaat laki-laki tua beserta anaknya menolong Randu tiba-tiba saja cincin merah delima itu memancar terang, mereka yang tidak bisa menyembuhkan itu langsung membuat terbangun saja.
"Ngapain kalian pegang-pegang cincinku, atau jangan-jangan kalian mau menculik aku?"
"Jaga omonganmu, le. Awakmu kuwi mau nanar, anakku wedok nulungi awakmu. Dadi manungsa kuwi aja kakean tutur, apa maneh kuwi tutur ala."
"Tahu deh, terserah kalian."
Randu yang berusaha bangun dari lincak itupun tiba saja terjatuh kembali, perempuan yang mirip Rindu membuatnya teringat masa sekolah.
"Mas, mas gak perlu meksa. Wis, Sindu buatkan wedhang jahe."
"Oke."
Sindu yang mencoba membuat air jahe hangat itu membuatnya merasa cukup puas telah membantu, tetapi berbeda halnya dengan Randu merasa tidak nyaman jika cincinnya ia pikir akan diambil.
Randu yang tidak boleh pergi meninggalkan rumah Sindu dengan kondisi masih terluka, pak Sudarmanto mencoba mencegah itupun tiba saja menurut.
"Sakiki awakmu leren ning kamar ben cepet mari." Randu yang dibantu menuju kamar sederhana itu sempat membuatnya kebingungan sekali. "Nduk, aja lali ngangeti sayur ben nanti dinggo maem bareng-bareng. Bapak tindak dhisik." Sambung pak Sudarmanto.
"Nggih, bapak."
Randu yang di kamar mencoba mengaktifkan ponselnya sempat terlupa jika semua perlengkapan maupun bajunya tertinggal di mobil, bahkan bahan untuk ajiannya terpaksa belum bisa dilunasi.
"Sial amat nasib hari ini, tapi kenapa si Baroto malah masih hidup atau jangan-jangan itu arwahnya. Buset dah, belum juga aku kena tusuk sama mama. Eh, tapi ngomong-ngomong bodoh juga ya aku, bego banget laki-laki siapa dong?"
Randu yang mencoba pergi tetapi malah justru terdengar suara ayam berkokok petang hari dan ia mengundurkan niatnya. "Sembunyi dulu lebih baik, sambil cari beberapa tumbal buat kekuatan ajian milikku ini."