Pak Baroto yang memukul Randu dan Tito itu menjatuhkan sebuah hukuman untuk menulis di buku tulis hingga habis, mereka yang masih kesal kembali dipukul.
"Kenapa melongo?" Ketus pak Baroto sambil memainkan stik drum.
"Maaf, pak." Lirih Tito sambil menundukkan kepala.
"Saya minta dan ini perintah, kalian berdua menuliskan 'Saya (nama lengkap kalian) tidak akan melakukan tindakan kriminal baik di dalam maupun luar sekolah, jika mendapati hal tedsebut saya siap menerima sanksi sekolah maupun hukum.' Tapi ingat baik-baik, kalian menulis bukan asal menulis. Tulisan kalimat tadi harus ditulis sebanyak buku tulis, jika terdapat sisa kekosongan bakalan tambah hukumannya. Paham kalian semua!"
"Paham!" Seru mereka.
"Sekarang kalian bubar, bubar."
Tito yang kembali menuju ke kelas namun lain halnya dengan Randu malah justru membuatnya kesal dan kebingungan, tak ada bisa ia lakukan hal itu selain termenung maupun menyendiri.
Dia selalu melibatkan kekesalannya menuju ke arah lainnya, Randu yang menuju ke kelas melihat Rindu sedang menggambar hati dengan tulisan namanya dan memberikan sebuah tanda tanya.
Randu yang sudah terbumbui kekesalan itu hanya bisa berdiam diri di bangku, tetapi tiba-tiba saja saat jam pelajaran dirinya harus terima bahwa dirinya menyicil sebuah hukuman yang telah diberikan pak Baroto.
"Jon, Tito minta tolong dong."
"Apa? Tapi tunggu, ada upahnya gak?"
"Sip, ada pastinya. Bantu aku nulis kayak begini, secara juga kamu bakat menulis banyak dan gak capek. Nanti tugasmu aku kerjakan deh."
"Oke."
Rindu mencoba memberikan sebuah pijatan ke tangan Tito mendapatkan perilaku sinis oleh Randu, dia yang dicoba untuk mengikuti gerak gerik temannya tiba saja dipanggil untuk membantu guru kembali ke kantor membawakan sebuah buku catatan.
Seusai dari kantor pak Baroto memberikan penekanan kepada Rindu untuk lebih waspada dengan para teman laki-lakinya, dia yang kembali ke kelas dengan sedikit murung itu dijahili hingga membuatnya terjatuh.
Hanya Tito yang mengulurkan tangan ke arah Rindu dan mencoba membopong hingga ke arah tempat duduk, dengan begitu seisi kelas berteriak dan memberikan ejekan.
"Terima kasih, To."
"Iya, lain kali hati-hati ya. Secara banyak yang suka usil, baik dunia nyata maupun gaib."
Seusai pelajaran semua selesai Randu langsung menarik Tito jauh dari tempat keramaian, dirinya yang mempermasalahkan perasaan masing-masing terus melakukan perdebatan.
"Jon, tahu Tito tadi gak ke mana?"
"Tadi kalau gak salah lihat ditarik sama Randu, kayaknya di kamar mandi sekolah yang lama deh."
"Ya udah aku susul."
Rindu yang mencoba mencari mereka benar adanya sedang melakukan tindakan diluar batas, Randu yang seenaknya memukul membuat Tito sudah tak berdaya itu masih terus melakukan tindakan keji dan saat kepalan tangan yang hendak menunjam dada sahabatnya itu malah justru dialing-alingi membuat pukulan meleset jauh dari dugaan sebelumnya.
"Kamu jahat, Ran. Aku kecewa sama kamu."
"Rin, Rin... bangun Rin, aku gak sengaja."
"Gara-gara lo, Ran. Rindu celaka seperti ini, lo boleh pukul atau apapun dengan gue tapi gak usah melibatkan dia."
"Aku gak sengaja."
Tito yang menggendong Rindu ke mobil Randu dan langsung berangkat menuju ke rumah sakit, dalam perjalanan cukup panjang itu tak bisa menembus kemacetan panjang. Tito yang justru memilih untuk menggendong Rindu itu tak bisa membuat sahabatnya berkutik apapun disituasi macet, berulang kali langkah kakinya melaju secepat mungkin barulah tiba di rumah sakit.
Tanpa lama penanganan telah dikerahkan, rasa cemas maupun kacau balau itu menyelimuti pikirannya. Randu yang menelpon Tito tidak sadar jika sahabatnya itu tidak membawa ponsel, hampir tiga puluh menit dokter yang menangani belum juga keluar dan tiba-tiba saja emak Sumpi datang untuk menanyakan keberdaan anaknya itu.
"Ya ampun, nduk. Kepiye toh gendhuk iki?" Keluh mak Sumpi yang terus juga berjalan ke sana ke mari.
"Ngapunten, budhe. Rindu kala wau mbelani kulo, eh malah angsal anteman saking Randu."
"Kowe sapa, le? Kok dudu Danu, lah Danu ning endi?"
"Kulo Tito Sudarminto, rencangipun Rindu Widyoningrum. Mas Danu mboten ngertos kulo budhe."
Mereka berdua yang menunggu selesainya sebuah penanganan untuk Rindu cukup lama itupun akhirnya selesai, dokter yang memanggil orang tua Rindu untuk pembicaraan cukup serius itupun membuat Tito semakin kacau.
"Maaf, suster boleh saya masuk ke dalam menemui Rindu?"
"Boleh, tapi jangan sampai mengganggu ya?"
"Iya."
Tito yang masuk ke dalam rumah sakit melihat kondisi Rindu itupun sangatlah terpukul dan bahkan air mata yang tak diinginkan tiba saja telah membanjiri wajahnya yang penuh dengan luka lebam. Beban yang harus diterima jika temannya harus terbaring karena salah satu keributan berasal dari ambisinya untuk mendekati Rindu, Tito yang terus menyalahkan dirinya sendiri.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, aku tahu cara yang tadi memanglah sangat berisiko tapi aku gak papa kok."
"Kamu sudah sadar, Rin?"
"Syukurlah cuma aku tadi malas saja jadi ya pura-pura pingsan."
"Terus tadi ibu kamu berbicara sama dokter di ruangannya secara empat mata. Gimana?"
"Gak papa, aku pikir tadi Randu bakal ke sini jadi ya aku antispiasi dokter aku bisikkan untuk berbicara empat mata."
"Maaf ya, Rin. Seharusnya aku melindungi kamu bukan malah membiarkan orang lain menyelakai kamu."
"Udah gak papa. makasih."
"Oh iya, Rin. Aku..."
"Oalah, nduk... nduk, kepiye toh mau?"
"Mboten napa-napa, mak."
Tito yang belum sempat mengucapkan perasaannya itu terhalang akan hadrinya emak Sumpi, tetapi kali ini datanglah Randu yang tepat mencari tempat di rawatnya Rindu. Perasaan kesal itu masih terlihat dengan rapatan jarinya yang juga cincin memancarkan sekejap cahaya, tak diduga juga sebuah surat kecil dalam amplop diberikan begitu saja.
"Suwun, loh le... Wes nganter Rindu, mugi-mugi Gusti tansah ngelindungi."
"Amin, matur suwun. Ngatos-ngatos loh budhe."
"Iyo, le."
Randu berusaha menarik tangan Tito yang mencoba menghindari pertengkaran berkelanjutan itu malah berlari menuju ke tempat keramaian, tentunya tanpa menyerah dia akhirnya terbebas dari kekangan. Putri yang terus menerus menghubungi membuat kesal tersendiri dan akhirnya meninggalkan rumah sakit dan menuju ketemu dengan kekasihnya.
"Ini anak sedetik saja kagak ganggu itu pasti cantik, haduh... mana gara-gara Tito menghindar malah justru Rindu yang kena, untung saja gak pakai ajian. Kalau pakai mati itu Rindu, jangan sampai. Btw untung saja itu amplop mau diterimanya."
Randu yang kini bergegas berganti baju melupakan sebuah hukuman yang diberikan oleh pak Baroto, dirinya yang bergegas menuju jemputan Putri untuk diajaknya jalan-jalan ke mall. Mereka yang hanya sekadar bermain di wahana namun juga memberikan sebuah kesenangan tersendiri untuk melampiaskan kekesalan. Pemikiran yang terkadang berubah-ubah tetapi mereka tetap memiliki nyaman bersama.
"Kapan kamu nikahi aku sih, beb? Lihat perut aku gak mungkin juga akan terus kecil terus, secara bakal besar."
"Tapi aku masih ingin sekolah."
"Terus gimana dong?"
"Gak tahu beb, pokoknya aku mau kamu nikahi aku."
"Ya udah yang penting kita main dulu aja, nikah mah gampang."
"Beneran?"
"Hem."
Disaat mereka merasa kelelahan di wahana mall tanpa lama rasa kepuasan itu juga terisi untuk makan bersama, Putri yang mengidam untuk dicarikan mangga muda itu keliling mall tidak ada dan akhirnya mencoba mencari di pasar. Randu yang lebih menyayangi anaknya merelakan melawan rasa malu masuk ke dalam pasar walaupun tersandang mobil mewahnya terparkir di tempat lumuran lumpur.
Ketika dirinya sedang memilih mangga untuk Putri tak sengaja juga bertemu dengan papa Dandi yang melakukan hal sama, tentunya dengan buru-buru mereka dengan kesamaan langsung masuk ke dalam mobil.
"Loh itu bukannya tante Agnez ya? Haduh jangan sampai Putri tahu kalau aku ada hubungan sama dia." L.irih Randu.
"Makasih sayang, kita makan di sini saja ya?"
"Ada bagusnya kalau makannya di hotel, nanti aku pesan buat kita berdua di sana."
"Yah maunya aku di sini."
"Nurut pokoknya, kalau gak kita putus."
"Iya... iya, jangan galak-galak dong bebeb sayang. Aku takut."
Randu yang memutarkan mobil dengan sigap langsung mengebut meninggalkan parkir dan melupakan bayar, Putri yang menyimpan curiga itu berusaha meraih ponsel milik pacarnya tetapi kendali mobil tiba-tiba rem mendadak dan membuatnya terkejut. Mereka berdua yang sudah memasuki hotel itu juga tanpa lama langsung masuk ke dalam, Randu yang cukup merasa letih bebaring seketika.
"Mangga udah aku kupas, makan saja. Aku mau baring-baring."
"Ya suapin dong, anak kita mau disuapin sama papanya. Bolehlah."
"Ya udah, anak papa yang sehat-sehat agar kuat."
Selesai dari hotel dengan bersantai berdua kini melanjukan perjalanan, Randu yang mengantar Putri ke depan gan tak jauh dari rumah.
Ketika hampir malam dirinya berganti bertemu dengan Agnez yang tak jauh dari situ, sembari menunggu untuk jalan keluar tetapi tiba saja Rindu meminta untuk bertemu dan meninggalkan begitu saja.
Rindu yang masih berdiri itupun menunggu cukup lama, Randu yang sebelumnya menyempatkan diri membeli bunga terlebih dahulu.
"Maaf lama, ada baiknya duduk dulu sini."
"Terima kasih."
"Oh iya, ini bunga buat kamu. Aku sebenarnya juga mau bicara sama kamu, tapi berhubung kamu yang meminta duluan ketemu jadi Rindu dulu."
"Duluan saja."
Ketika semua telah menunggu berbicara tiba-tiba hujan mengguyur mereka dan membuat kacau untuk berteduh, Randu yang menggendong Rindu ke mobil.
Rindu yang mencoba mengeringkan rambut dibantu oleh Randu menggunakan tisu, kehendaknya itu membuat keduanya sama-sama terdiam.
Nafsu Randu yang tiba-tiba saja keluar melepas baju dan menurunkan reseleting, Rindu yang melihat tersebut langsung menampar keras.
"Kamu gila!"
"Tapi kamu maukan untuk cinta sejatinya Randu Wisanggeni?"
"Randu Wisanggeni yang terhormat, hari ini dan detik ini awalnya aku sengaja meminta kamu datang di dalam pertemuan untuk membahas perasaan aku terhadapmu tapi semua salah."
"Salah? Gak ada yang salah menurutku, lagi pula kamu juga punya rasa dengan aku juga kan?"
"Kamu bilang gak salah? Gak salah bicara kamu? Tobat, tobatlah Ran sebelum terlambat."
"Apa yang mau ditobatin, secara kamu maukan?"
"Ran, aku pikir kamu orang baik-baik yang selama ini aku pendam. Aku juga berpikir kalau kamu cinta dengan aku tanpa memiliki sebuah nafsu, tapi ternyata aku salah mengenal kamu."
"Hari gini kok gak ada nafsu, rata-rata cinta jaman sekarang pakai nafsu buat memuaskan lawan jenisnya dan aku sangat tahu kalau kamu Rindu Widyoningrum wanita yang haus akan nafsu."
'Plak' Tamparan keras kembali dijuruskan oleh Rindu.
Rindu yang keluar dari mobil itu bergegas meninggalkan Randu dengan meninggalkan seikat bunga mawar merah, dia yang dikejar itupun tak memedulikan seruan sedikitpun yang keluar dari mulut Randu.
"Apa yang salah coba? Hari gini kok mengandalkan cinta sejati, pret... sejauh ini aku kenal para cewek gak ada yang alim dan suci, malah yang ada sok-sokan baik hati. Ini lagi juga seperti ini."
Randu yang pergi dari taman itupun kembali menuju ke tempat Agnes, namun dalam perjalanan malah sempat melihat Rindu sedang berpelukkan dengan Tito.
"Dasar cewek gila, udah tahu ini ada cowok udah tampan dan mapan malah milih cowok kegatelan."
Klakson yang berbunyi cukup keras membuat Tito hampir terkena kemudi mobil Randu dan bergegas meninggalkan begitu saja, mereka yang memilih pergi menghindari perdebatan maupun sikap yang tidak dewasa.