Leo terus memandang anak buahnya yang kini sedang mencoba untuk melaksanakan perintahnya. Tampak dua orang laki-laki melangkah mendekati Andini dan mereka langsung mengambil posisi untuk melakukan eksekusi. Mata mereka memandang calon mangsanya dengan senyum penuh kemenangan, merasa memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk menyalurkan semua keinginannya dengan maksimal setelah mendapat perintah dari atasannya secara langsung, sedang kedua bibir mereka tersenyum lebar. Sesekali mereka menjulurkan lidahnya membasahi bibir. Andini yang sejak tadi merasa ketakutan semakin bergetar hebat. Mulutnya komat-kamit membaca doa, sedangkan matanya ia edarkan ke sekeliling ruangan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri.
Perlahan tangannya ia gunakan untuk melepas ikatan yang erat dengan kursi namun beberapa kali usahanya gagal. Bukannya lepas dari ikatan para penjahat dengan Andini justru terluka dan sedikit mengeluarkan rasa perih di beberapa bagian.
Andini mendesis membuat dua orang laki-laki yang semakin mendekatinya tersenyum.
"Apakah desisanmu itu menandakan bahwa kamu menyetujui semua yang akan kami lakukan kepadamu, Sayang?"
"Tidak, jangan kau lakukan apapun padaku! Pergi!" Andini mencoba menggerakkan tubuhnya agar laki-laki yang menatapnya tak mendekat. namun bukan menuruti permintaan Andini, laki-laki yang diberi kebebasan memberikan hukuman apapun pada Andini itu justru semakin merapat. Ia ulurkan tangannya, menyentuh wajah Andini yang lembut.
Andini menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak semua tindakan yang bena-benar membuat dirinya ternodai harga dirinya. Ini yang selalu ia takutkan. Mendapat perlakuan tidak senonoh dari laki-laki yang tidak dikenalnya dalam kondisi tidak berdaya. Beberapa kali ibunya memberikan training tentang bagaimana melindungi diri dari jamahan laki-laki, namun training sang ibu tidak mempan sama sekali.
"Jangan!"
"Jangan sebentar maksudnya? Ha ha ha." Air mata yang sudah ditahan sejak lama, kini sudah menjebol tanggul pertahanan bendungan di pelupuk matanya. Sebutir demi sebutir kristal bening luruh membanjiri wajah yang baru saja disentuh tangan kotor milik anak buah Leo seolah tahu bahwa wilayah itu memang layak untuk dibasuh.
Dua laki-laki yang tak suka dengan tangis wanita terpaksa menghentikan aksinya. mereka saling pandang.
"Apakah belaian kita kurang lembut sehingga membuat air matamu mengalir deras begini, Sayang?"
"Dia yang terlalu lembut. Menyebalkan."
Dua anak buah Leo saling berkomunikasi mengungkapan perasaan masing-masing. Mereka segera melanjutkan aksinya. Kali ini bukan wajah yang menjadi sasaran mereka namun sudah mulai turun ke dada.
"Jangan! Jangan lanjutkan! Aku sama sekali tidak akan terima dengan perlakuan kamu yang kurang ajar seperti ini. bunuh saja aku dan jangan pernah melecehkan!"
"Bunuh katamu? Aku sama sekali tidak akan mengambil cara itu, Andini. Aku akan menyuruh anak buahku menghentikan kegiatannya kalau kau mau mengatakan dimana chip itu dan apa tujuanmu menolong Afzal?"
"Aku tidak tahu."
"Ok, kalau begitu, lanjutkan tugas kalian!"
Leo meninggalkan ruangan eksekusi setelah menerima jawaban terakhir Andini. Ia benar-benar tidak merasa baik-baik saja saat ini. Ia tahu Andini sangat sakit ketika diperlakukan layaknya jalang oleh lima anak buahnya, namun ia tak ingin membuat Andini tetap tutup mulut seperti tadi.
Ia masih melangkah menuju halaman belakang dimana di sana ada sebuah lapangan luas yang selalu digunakan untuk melampiaskan semua kekesalannya pada siapapun. Leo mengambil senapan yang disimpan di loker dan melakukan latihan untuk membuang emosinya. Beberapa kali bunyi keras memekakkan telinga terdengar dan tidak ada anak buahnya yang berani mendekat.
"Aku akan membuat tubuhmu seperti papan itu, Andini. Kau harus bertanggung jawab atas segala ulah yang kau lakukan. Kau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu dengan menjadi makanan empuk anak buahku."
Dor
Sebuah peluru kembali menancap di papan sasaran, namun kali ini bukan peluru milik Leo. Sekelompok laki-laki berseragam hitam masuk ke halaman belakang dan menyebar membentuk lingkaran untuk memastikan bahwa hanya ada Leo di lapangan tersebut. Mereka sedang mencoba menangkap pimpinan mafia dan membuat anak buah mereka yang kini sedang berjuang melawan beberapa anak buah Zee dan Afzal untuk menghentikan aksinya melecehkan Andini.
"Kurang ajar, siapa yang berani menjadi perusuh di rumahku saat ini?" Leo yang masih memegang pistol segera mengarahkan senjatanya ke para pendatang yang mengurungnya tanpa ampun. Ia memandang sekeliling, mencoba menghitung personel yang akan ia hadapi. Bukan karena takut, ia hanya tidak ingin terlalu gegabah dalam melangkah. Salah langkah sedikit nyawa taruhannya dan Leo tidak ingin hal itu terjadi.
"Serahkan senjatamu karena kau sudah kami kepung!"
Leo menggeleng. Ia tidak langsung mengikuti perintah perusuh. Ia tidak ingin mati kutu karena berdiri di hadapan musuh seorang diri tanpa senjata. Ia edarkan pandangan mencoba mencari tahu siapa saja anak buah yang ada bersamanya, namun nihil. Mataya membelalak, menyesalkan semua kebodohan anak buah yang sangat diharapkan bisa membawanya lari dari rumahnya saat ini.
"Jangan terlalu banyak berpikir karena kamu sudah dikepung. Semua anak buahmu sudah menjadi satu dalam ruangan yang kini dijaga oleh anak buahku, Leo."
Leo memandang ke arah sumber suara. Seorang pemuda tampan yang tampak sangat berwibawa, sedang berdiri dengan angkuhnya di sebelah para anak buah yang semua mengacungkan senjata ke arahnya.
"Afzal?"
"Bagus kalau ingatanmu masih ada. Aku datang untuk melakukan eksekusi atasmu yang telah berani mencelakakan aku saat itu. Aku tidak akan pernah lupa kejadian itu sampai kapanpun."
Leo tersenyum tipis. Dalam hati ia mengutuk kebodohan anak buahnya yang mengijinkan musuh besarnya mengotori markas mereka. Ia segera melemparkan pistol ke tanah dan dengan sekali gerakan, tangannya merogoh ke saku, mengambil sebuah benda yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan dirinya.
"Jangan pernah melakukan kegiatan yang akan merugikan kamu nantinya. Aku tahu kau sudah mengambil sesuatu dari dalam saku celanamu dan kau akan menikamku dari belakang, bukan? Jangan pernah mimpi untuk bisa melakukannya karena semua ana buah yang kubawa memiliki ketajaman indera seperti mata malaikat."
"Jangan terlalu percaya diri dengan kemampuan anak buahmu. Bagaimanapun kalian adalah tamu di rumahku. Tamu tetaplah tamu dan tuan rumah akan lebih menguasai medan dibandingkan dengan tamunya."
"Apakah seperti itu? Apakah kau yakin bahwa selama ini kami sangat buta terhadap markas tempat persembunyianmu? Tidak. Aku memiliki mata-mata yang sangat banyak dan laporan mereka sudah cukup untuk membawaku mengenali istanamu."
Leo diam. dia benar-benar mati kutu. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. menyerah berarti kalah dan maju dia akan hancur.
"Katakan apa maumu?"
"HA ha ha, mauku? Tentu saja aku ingin Andini kembali dengan utuh. Dia sudah melakukan banyak hal untuk kemanusiaan di kliniknya dan kau sama sekali tidak pantas dan tidak memiliki hak untuk merusaknya seperti tadi."
"Dia yang salah karena dia sudah mengganggu urusanku. Kau yang ditolongnya seharusnya bisa melindungi dia dari serangan musuh seperti aku,bukan membiarkan gadis itu hidup merana seperti sekarang."