Di markas Leo, laki-laki yang baru saja mengalami patah tulang akibat kelakuan Irawan sedang mengamuk. Beberapa kali ia membuang benda-benda yang ada di hadapannya, membuat semua anak buahnya diam tanpa berani melakukan apapun. Mereka sengaja membiarkan bosnya untuk melakukan hal yang akan membuat emosinya reda.
"Apakah kau sama sekali tidak melihat mengapa aku mengamuk sehingga tidak ada reaksi apapun dari kalian?'
Semua yang sedang berdiri saling pandang. Mereka tidak tahu apa yang membuat laki-laki arogan di hadapannya kesal saat mereka diam. selama ini mereka melakukan hal yang sama, namun Leo sama sekali tidak melakukan komplain.
"Kau, mengapa diam? Apakah kau sama sekali tidak ingin bertanya mengapa aku marah? Selama ini aku selalu memberimu banyak uang untuk kalian hamburkan, namun mengapa tidak pernah sedikit saja kalian memperhatikan aku?"
"A-apa maksudnya, Tuan? Apakah Tuan menginginkan sesuatu?"
Sebuah piring melayang nyaris mengenai asistennya yang sedang melangkah mendekati ruangan Leo. Andi yang tidak siap dengan serangan mendadak dari bosnya hanya menggeser kepalanya sedikit dan membuat piring yang melayang terhempas begitu saja di lantai.
"Apakah kau sudah menemukannya? Mengapa menangkap satu orang saja sangat sulit? Apa yang selama ini kalian lakukan? Kelihatannya kalian berlatih setiap hari namun tidak ada bekasnya sama sekali? Dia hanya perempuan lemah dan aku yakin kalian berdua saja mampu membawanya ke sini."
"Ampun Tuan. Nona Zee benar-benar seperti belut. Kami sudah melakukan penyisiran ke beberapa tempat yang dimungkinkan menjadi tempat tinggalnya berdasarkan pengamatan CCTV kota, namun anak buah kita sama sekali tidak menemukan pergerakannya."
"Zee? Apakah perempuan itu bernama Zee?"
Andi mengangguk. Ia heran dengan Leo yang sudah menyuruhnya menangkap Zee untuk dipenjara di dalam sangkar emasnya, namun dia sama sekali belum mengenal nama wanita yang katanya sudah membuat dirinya jatuh cinta.
"Apakah Tuan belum mengetahui namanya selama ini?"
"Aku menjulukinya mentari karena dia adalah sumber cahaya kehidupanku. Rasanya aku mati kalau selalu kehilangan dia yang benar-benar sudah mencuri hatiku."
Andi mengangguk. ia diam menganalisa kemungkinan yang akan dia lakukan untuk membuat Leo benar-benar merasa nyaman dan menemukan wanita yang diincarnya hingga ia melupakan masalah besar yang selama ini menjadi topik utama pembicaraan mereka.
"Tuan."
"Hem, katakan !"
"Mana yang harus kami dahulukan, antara mencari Nona dan chip yang ada di tangan Afzal?"
Leo menggebrak meja, melupakan rasa sakit yang dideritanya. Ia meringis sebentar lalu kembali mengeratkan kepalan tangannya. Tatapannya tajam mengarah pada Andi yang kini menatapnya dengan lembut. Andi sudah tidak merasa takut walaupun Leo marah dan mengamuk membabi buta. Ia tahu kemarahan Leo hanya ada di lahirnya saja. Tidak sampai ke hati dan itu membuat Andi merasa sangat tenang.
"MENgapa kau bertanya seperti itu? Apakah kau pikir aku sudah melupakan tujuan utamaku? Chip itu untuk mengembangkan bisnisku dan Zee adalah kebahagiaanku. Dia yang akan membuat aku semakin bersemangat mencari uang. Aku akan membuat dia hidup tanpa kekurangan apapun dan melayaniku sebagai istri yang setia. Dia akan melahirkan anak-anakku dan tidak ada yang boleh memilikinya selain aku. Kamu paham?"
"Siap, Tuan."
Andi mengangguk. Ia mencoba memandang para bodyguard yang sedang berbaris di hadapan mereka menyaksikan interaksi asisten dan bos. Sebelum dia melakukan sesuatu, Andi melihat ada desisan kecil dari bibir Leo yang tidak didengar siapapun. Andi tahu Leo dalam keadaan yang lemah, namun dia tidak mau anak buahnya tahu kelemahannya.
"Tuan"
Leo memandang Andi lalu kembali diam.
"Apakah Tuan tidak ingin ke klinik Assyifa? Aku dengar di sana banyak sekali pasien patah tulang sembuh tanpa operasi dan tanpa obat."
"Fokuskan saja pencarianmu. Tidak usah memikirkan aku."
"Ta-tapi Tuan, . . . ."
"Apakah kau sudah menjadi asisten yang membangkang perintah tuannya?"
"Baik, Tuan."
Andi duduk sambil lalu mengambil ponsel di saku celananya, menyimak beberapa pergerakan anak buah yang diperintahkannya untuk mengawasi perusahaan Afzal. Beberapa kali ia terpana menyaksikan laporan anak buahnya yang mengatakan bahwa Afzal sudah kembali dan ia kehilangan chip.
Andi menggelengkan kepalanya, antara percaya dan tidak percaya dengan berita yang dia dengar. Melihat sikap Andi, Leo menatapnya lalu melakukan hal yang sama dengan asistennya. Mengambil ponsel di mejanya dan mengecek sesuatu.
"Apakah ada yang membuat kamu sedang berpikir sesuatu?"
"Anak buah kita melaporkan kalau Afzal sudah kembali dan dia kehilangan chipnya, Tuan. Aku sedang menganalisa apakah ini hanya kebohongan atau kenyataan yang sesungguhnya. Sejak pertama kita menangkapnya, kita yakin kalau dia membawa chipnya. Orang yang menolongnya pasti juga tahu kalau kita sedang memperebutkan benda yang sangat berharga itu. Apakah mungkin kalau dia sama sekali tidak tahu masalah yang sedang terjadi diantara Tuan Leo dan Afzal? Ah rasanya tidak mungkin, Tuan. Aku yakin dia tahu."
"Penolong Afzal? Tunggu . . . ."
Andi memandang Leo yang seolah sedang berpikir keras untuk menghubungkan sesuatu. Beberapa kali Leo tampak mengerutkan kening namun kemudian menggeleng.
"Aku tak yakin dengan dugaanku."
"Maksudnya? Apakah Tuan memiliki dugaan tertentu yang belum Tuan ceritakan kepadaku?'
Leo menarik napas dalam. Dia ingin mengatakan semuanya pada asisten setianya, namun ia khawatir. beberapa kali ia menggeleng, membuat Andi semakin penasaran pada pemikiran bosnya.
"Aku sempat melihat wajahnya, namun aku sama sekali tak yakin."
"Katakan padaku yang Tuan maksud. Mengapa tiba-tiba Tuan menjadi ragu? Apakah ada dugaan yang tidak masuk akal?"
Leo mengangguk.
"Zee. Aku melihat ada kemiripan antara wajah Zee dengan penolong Afzal, namun apakah mungkin dia?"
Andi diam. Ia sebenarnya tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Leo, namun Andi yakin bahwa pandangan Leo selama ini tidak pernah meleset. Logika berpikirnya benar-benar sangat akurat dan Andi mulai bisa menarik benang merah untuk masalah yang sedang dihadapinya.
"Walaupun tidak mungkin, kita tetap harus waspada Tuan. Aku khawatir Nona Zee ada di balik hilangnya chip ini."
"Jangan asal bicara, Andi. Aku mengijinkan kamu menganalisa semaumu sesuai dengan logika berpikirmu, namun jangan bawa wanitaku ke dalam masalah ini. Aku yakin dia bukan wanita yang kumaksudkan. Bertemu dengannya kemarin aku tahu kalau dia hanya perempuan biasa. Tidak ada tanda-tanda dia memiliki ilmu bela diri yang bagus. Kalau dia bisa bela diri, pasti tidak akan ada yang menolongnya. Laki-laki itu mungkin kekasihnya dan dia pasti selalu ada di belakangnya mengawasi pergerakan kekasihnya. Aku juga akan melakukan hal yang sama dengan laki-laki itu kalau memiliki kesempatan merebut hatinya."
Andi mengangguk. Tidak ada gunanya memperpanjang masalah yang pastinya akan sangat merugikan dirinya. Salah ucap sedikit saja Leo pasti akan mengamuk dan dia tidak mau itu terjadi. Dalam hati ia berjanji untuk mencari sendiri keberadaan Zee dan hubungannya dengan wanita yang sudah menolong Afzal dari cengkeraman mereka.