Zee yang baru saja mendapatkan tuduhan keji akhirnya meninggalkan Assyifa dengan tergesa. Hatinya benar-benar sakit ketika mendengar laki-laki yang ditolongnya menuduhnya sedemikian rupa. Kalau dia melakukan apa yang dituduhkan Afzal , Zee pasti akan rela mengakui semua perbuatannya, namun kali ini dia benar-benar tidak tahu di mana letak barang-barang yang dimaksud oleh Afzal.
Zee masih terus berlari meninggalkan klinik mesti dia tidak tahu arah mana yang akan dituju. Sepasang mata memandang kepergian Zee dengan penuh tanda tanya. Dia terus mengikuti langkah Zee dan berusaha menyembunyikan diri dari pandangan orang-orang di sekeliling.
Zee melangkah menuju ke sebuah masjid. Dia segera mengambil wudhu dan masuk ke dalam tempat ibadah yang biasa dia gunakan untuk mengadukan semua masalah kepada Tuhannya. Beberapa menit berlalu namun masih belum ada tanda-tanda Zee keluar dari masjid tersebut. Dia masih fokus membaca kitab suci dengan air mata masih terus mengalir membanjiri pipinya.
Laki-laki yang sejak tadi mengikutinya dari belakang kini masih duduk menunggunya dengan setia. Ia benar-benar merasa sangat terpukul melihat gadis yang dicintainya dalam keadaan yang sangat terpuruk akibat tuduhan keji dari pasien yang sudah ditolong.
"Seandainya kamu mau berbesar hati sedikit saja menceritakan semua masalahmu kepadaku, aku yakin aku bisa menolongmu dengan segenap kemampuanku. Namun entah mengapa aku seperti pungguk yang selalu merindukan bulan. Kamu adalah bulan yang sangat tinggi dan sulit sekali untuk kujangkau. Aku pungguk yang tidak pantas meraih bulan namun aku akan tetap berusaha untuk menjadi diriku sendiri yang selalu menjagamu dari jarak yang jauh seperti saat ini. "
Beberapa menit berlalu dan tampak Zee sudah melipat mukenanya. Dia melangkah meninggalkan masjid setelah melaksanakan shalat. Hatinya yang sudah tenang ia ajak kembali untuk mendekati klinik Asyifa dan memasuki ruang kerja yang biasa digunakan untuk menghabiskan waktu menganalisa beberapa masalah yang dialami oleh pasiennya.
Dia terpana menyaksikan Irawan masih berada di kliniknya. bahkan saat ini dia berada di ruang pribadinya. Ruangan khusus yang selalu digunakan untuk berbincang dengan Diana membahas beberapa permasalahan pasien yang tak kunjung selesai. Irawan yang sejak tadi menunggu kehadiranmu Zee segera mendekat. Dia duduk di hadapan gadis yang sangat dicintainya sambil menatap wajah gadis itu dengan lembut. Dalam hati ia menyesal karena telah memfitnah gadis itu di depan Afzal. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya menolak kejahatan yang sudah dilakukan namun sisi hatinya yang buruk tersenyum. Melihat Irawan memandangnya dengan senyum sendiri, Zee hanya bisa menatap laki-laki itu sesaat lalu kembali fokus kepada beberapa tumpuk kertas di meja kerjanya.
"Kamu masih mampu berpikir ketika ada orang lain menuduhmu mencuri barang-barang miliknya? Apakah kamu sama sekali tidak ingin mengusirnya dari klinik ini agar kamu terbebas dari tuduhan itu? Aku tidak percaya orang tertampan Afzal bisa melakukan tuduhan terhadap gadis secantik kamu. Aku bahkan heran saat melihat dia tidak memiliki rasa senang melihat wajah cantikmu. Apakah kira-kira dia normal ya?"
Zee menatap Irawan. Ingin sekali dia mengusir laki-laki itu namun dia tidak memiliki keberanian penuh. Beberapa tahun bersahabat dengan Irawan membuat dia paham bagaimana sikap laki-laki itu yang bisa berbuat nekat saat seseorang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
"Mengapa hanya diam dan menatapku seolah kamu memiliki kebencian yang luar biasa terhadapku? Apakah ucapanku salah tentang laki-laki itu? Kalau menurutmu ucapanku salah mohon dimaafkan. Aku hanya berbicara dari sudut pandangku sebagai seorang laki-laki normal. Aku heran kepada Afzal yang sama sekali tidak tertarik kepadamu. Aku yakin dia hanya berpura-pura saja dan tuduhan yang dia tujukan kepadamu hanya untuk membuat dirimu memperhatikannya lebih dari pasien lain."
Zee menggelengkan kepalanya. Dia tidak percaya kalau laki-laki seperti Irawan yang dikenalnya sebagai laki-laki alim dan saleh memiliki sudut pandang lain terhadap Afzal.
"Aku yakin dia benar-benar membenciku sepenuhnya karena dia menganggap aku adalah pencuri barang-barang berharga miliknya. Aku pernah mendengar dia mengatakan bahwa aku kalah dengan perawat yang bernama Saskia karena penampilanku seperti seorang wanita miskin. Dia bahkan heran ketika melihat seorang dokter sepertiku tidak memakai perhiasan sama sekali. Semua yang dikatakannya benar bahwa aku adalah wanita yang pantas dituduh sebagai pencuri, tapi paling tidak dia berpikir ulang untuk mengatakan hal itu kepadaku."
"Mengapa demikian? Apakah ada hal yang kamu sembunyikan dariku? Atau dari kamu benar-benar merasa jatuh cinta kepada laki-laki itu sehingga kamu tidak memiliki sakit hati sama sekali padanya walaupun dia sudah mengejekmu sedemikian rupa? Kalau dia mengatakan bahwa kamu memiliki derajat di bawah Zaskia, aku sangat tidak terima. Bagiku kamu tidak ada duanya di dunia ini. Hanya kamu yang paling istimewa dan tidak ada yang lain."
Irawan terdiam mendengar penjelasan Zee tentang pandangan Afzal terhadap dirinya. Dalam hati ia bersorak gembira mendengar perdebatan dua orang lawan jenis yang masing-masing memiliki potensi untuk saling jatuh cinta.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta kepada pasien sendiri."
Zee memandang Irawan tanpa berkedip. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu. Kalau dia boleh jujur mengakui bahwa sejak pertama melihat Afzal, dia sudah merasakan bahwa laki-laki itu memiliki keistimewaan. Keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh laki-laki lain namun dia sendiri tidak yakin bahwa itu adalah perasaan cinta seorang wanita terhadap lawan jenisnya.
"Mengapa diam? Apakah yang aku katakan semua benar? Kamu sudah jatuh cinta kepada pasienmu yang sudah membencimu sedemikian rupa? Kalau ia, aku sarankan mulai sekarang jauhi dia karena dia benar-benar tidak bisa menerima keadaan wanita yang sederhana sepertimu. Tadi dia bilang padaku kalau dia ingin membunuhmu dengan tangan orang lain. maka saranku kepadamu, berhati-hatilah karena dia laki-laki yang berdarah dingin."
Zee menggigit bibirnya. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Irawan tentang Afzal yang ingin membunuhnya dengan tangan orang lain, Meskipun demikian dia tetap harus mewaspadai semuanya.
"Tinggallah dengan ibuku di rumahku dan aku akan menjagamu dengan sekuat hatiku."
Zee menggeleng.
"Aku bukan pecundang yang akan bersembunyi hanya karena ada yang mengancam akan membunuhku. Biarkan saja mereka mengancamku. Aku yakin kalau belum sampai titik dimana aku harus meninggalkan dunia ini untuk selamanya, maka Tuhan pasti akan menjagaku dengan caraNya."
Irawan mendesah lalu mengangguk. Dia terus menatap Zee yang kini fokus pada tumpukan kertas dan menggelengkan kepala berkali-kali.
"Apakah ada hal aneh yang kau temukan di kertas itu?'
Irawan berdiri lalu melangkah ke belakang kursi Zee, mencoba mengintip apa yang sedang membuat Zee fokus pada kertasnya. Dia memandang beberapa tulisan yang berhubungan dengan kasus salah satu pasien yang saat ini sedang menjadi topik pembicaraan mereka.