"Ha ha, ak bukan bos. Hanya kebetulan saja menjadi pemilik restoran ini. Apa yang ingin kamu katakan kepadaku saat ini? Katakanlah agar kamu bisa tenang dan aku pun bisa berpikir untuk menyetujui atau menolak permintaanmu." Zee menggelengkan kepalanya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. apa apalagi saat melihat Irawan menatapnya dengan tatapan mesra. Dia benar-benar mati kutu dan tidak berbuat apapun.
Zee menundukkan kepalanya mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Hatinya sebenarnya tersanjung dengan sikap manis yang ditunjukkan Irawan kepadanya, namun dia tidak ingin laki-laki itu berbuat terlalu jauh saat melihat dia tersipu. Zee tidak ingin Irawan menyimpulkan bahwa dirinya mencintai laki-laki itu.
"Ucapkan semua permintaanmu dan jangan pernah ragu aku akan menolaknya."
Zee menggelengkan kepalanya. hanya permintaan di dalam pikirannya, Namun dia yakin Irawan tidak akan pernah mengabulkannya. Zee hanya butuh pulang dan mengistirahatkan badannya agar tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas lain selain bersama dengan para pasiennya di klinik Asyifa. Melihat Zee menggelengkan kepalanya Irawan mengerutkan keningnya.
"Apakah kau tidak percaya kalau aku akan mengabulkan semua permintaanmu tanpa terkecuali? katakan saja tanpa ragu-ragu dan aku pastikan semuanya akan terkabul. Aku akan menuruti semua keinginan mu malam ini, dengan satu syarat"
"Ketika kamu mengatakan saratmu, aku sudah yakin kamu tidak akan pernah mengabulkan apa yang aku inginkan. Jangan berpura-pura baik di hadapanku karena aku tahu akal bulus akan selalu berpikir bagaimana caranya mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya."
"Ha ha ha, itu cara kamu memandangku? Bahkan kamu mengatakan aku ini Bulus? Oke aku terima semua pendapatmu."
' Sebenarnya aku tidak berpendapat apapun. Hanya berpikir saja. Sulit untuk menundukkan hatimu yang kaku dan bagiku itu adalah sesuatu yang menyebalkan. Aku sudah mulai hafal dengan kebiasaan para bos yang maunya menang sendiri dan arogan. Tidak akan pernah menang ketika berbicara dengan orang-orang dari kalangan mereka dan aku lebih memilih untuk diam tanpa melakukan apapun."
"Bagus kalau kamu sudah mengerti. Aku akan tetap pada posisiku sebagai teman spesialmu."
"Terima kasih."
"Untuk?'
"Pertolonganmu hari ini dan semua sikap arogan yang kamu tunjukkan untuk mengikat agar aku tidak pergi jauh darimu. Terima kasih karena kamu sudah menunjukkan siapa dirimu yang sesungguhnya. Hari ini aku harus berpikir ekstra keras untuk bisa lepas dari genggaman tanganmu."
Irawan mencebik. Dia tidak tahu mengapa hatinya sangat sakit ketika mendengar Zee mengungkapkan pendapatnya hari ini. Awalnya di memang ingin berbagi cerita dengan gadis yang selama ini selalu dikaguminya. Gadis cerdas yang memisahkan diri dari keluarganya hanya untuk mengembangkan pengobatan yang berdasar pada kitab sucinya. Dia rela bersitegang dengan kedua orangtuanya karena prinsip yang berbeda dan Irawan memandang ada sesuatu yang kuat di dalam diri gadis itu yang harus dipertahankan untuk bisa mendukung kehidupannya di masa yang akan datang.
"Katakan semua permintaanmu! Hari ini aku benar-benar ingin berbuat baik kepada sesama dengan mengabulkan permintaannya tanpa syarat apapun."
Zee yang mendengar ucapan Irawan mengangguk. Dengan penuh semangat ia mengungkapkan bahwa dia ingin kembali ke klinik Assyifa. Irawan yang sudah menduga bahwa permintaan Zee hanya sebatas keinginannya untuk pulang pun akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Setelah makan habis aku akan mengantarmu ke klinik."
"Benarkah? Apakah ucapan bisa diterima dan dipercaya?"
Irawan menggebrak mejanya. Untuk yang kedua kalinya tindakannya membuat beberapa orang yang masih berdiri di pintu berlari ke arahnya. Dia benar-benar ingin menampar siapapun yang ada di hadapannya saat ini ketika mendengar Zee bertanya sesuatu hal yang sangat dibencinya.
Para pelayan yang berlari mendekati Irawan segera menundukkan badannya menunggu perintah atasan selanjutnya. Tubuh mereka bergetar, dan hal ini membuat Zee menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Zee sama sekali tidak heran dengan sikap para teman laki-lakinya terutama Irawan. Dia sudah terbiasa menghadapi para pasien dengan berbagai macam karakter dan dia mampu menguasai semuanya.
"Ampun Tuan, apakah ada yang bisa kami lakukan untuk membuat Tuan tidak marah di sini? Kami benar-benar sangat takut dan tidak bisa bekerja dengan maksimal kalau melihat Tuan emosi saat makan siang." Irawan memandang Zee, sehingga semua pelayan juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh bos-nya. Zee yang dipandang sedemikian rupa oleh beberapa orang di hadapannya kembali terpana. Dia tidak tahu apa yang terjadi saat ini dan yang akan dilakukan oleh mereka.
"Katakan kepada gadis ini bahwa aku sama sekali tidak pernah suka kepada orang yang berbohong sehingga aku juga menjaga diri agar tidak terlalu banyak berbasa-basi dan melakukan pembohongan terhadap orang lain."
"Jadi kamu marah karena aku bertanya seperti tadi, Dokter? Oh my God. Mengapa engkau benar-benar sensitif saat ini? Aku bertanya seperti tadi karena aku tidak yakin dengan apa yang aku dengar. selama ini yang aku tahu laki-laki selalu melakukan kebohongan ketika dia menginginkan sesuatu. Aku minta maaf kalau pertanyaanku menyinggungmu sehingga engkau harus membuat para pelayan berdiri di hadapanku dengan bergetar seperti itu. Lain kali kamu boleh marah padaku tanpa melibatkan orang lain."
"Sudah Terlambat."
"Apanya yang terlambat? Apa kamu memiliki acara? Kalau iya, silakan tinggalkan aku di sini dan aku bisa kembali sendiri. Kasihan para pasien dan klien."
Irawan mencebik. Ia benar-benar kesal pada Zee yang tidak peka terhadap perasaannya. Ia tersenyum sendiri, mencoba mnertawakan dirinya yang terhempas tak berdaya tanpa mendapat perhatian wanita yang sejak dulu sudah menarik perhatiannya. Ia ulurkan tangannya lalu menyentuh kepala Zee dan endorongnya perlahan membuat Zee terpana. Dia sama sekali tidak pernah mengerti dengan apa yang dilakukan Irawan kepadanya.
"Apakah ada yang salah dengan apa yang aku ucapkan? Kalau iya aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu lakukan kepadaku. Kamu menolongku namun selalu ingin mengintimidasi. Hari ini tanganmu menyentuh kepalaku dan mendorongnya. Meskipun perlahan aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Mungkin kamu saat ini sedang memendam rasa kecewa atau marah kepadaku. Aku minta maaf. Sama sekali tidak berniat untuk membuat kamu kesal tapi aku benar-benar tidak mengerti dengan kata terlambatmu."
"Lupakan saja. Tidak ada gunanya juga aku menerangkan kepadamu tentang kata terlambat yang sudah terlanjur aku ucapkan. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu untuk pulang sendiri karena keamananmu benar-benar sedang terancam. Wanita tercantik dan terpopuler seperti kamu pasti akan mendapat gangguan di jalan dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku merasa memiliki kewajiban untuk melindungi wanita yang sangat baik seperti yang ada di hadapanku, maka permintaanku tetaplah menurut kepadaku dan jangan pernah menolak apa yang aku inginkan. Paling tidak izinkan aku mengantarmu pulang ke posisi yang nyaman. Kalau kamu mau aku berharap kamu mau tinggal di rumah ibuku. Kalau tidak, cukup ijinkan aku mengunjungimu setiap saat untuk memastikan keselamatanmu."