Chereads / Pungguk Tak Merindukan Bulan / Chapter 6 - 6. Latar Belakang Afzal

Chapter 6 - 6. Latar Belakang Afzal

"Berasal dari sebuah keluarga kaya nomor satu di negaranya, memiliki adik bernama Avril, seorang model terkenal dan menjadi rebutan banyak remaja, ibu bernama Karin seorang pengusaha butik ternama di indonesia membuat siapapun yakin bahwa Afzal selama ini sama sekali tidak pernah dirawat oleh kedua orang tuanya dengan baik. Bukti dari pendapatku adalah kau menjadi sangat kasar dan arogan pada siapapun, Afzal. semau sendiri dan menganggap orang lain hina dan rendah. Kau bahkan berani menuduh aku yang sama sekali tidak melakukan hal yang seperti kau tuduhkan.Kau menuduhku mengambil ponsel dan dompetmu. Apakah kau pikir aku sangat miskin dan tidak bermoral sehingga harus mencuri? Kalaupun miskin tapi aku tidak pernah diajari untuk menjadi seorang pencuri Afzal. awas saja kalau kau sampai menuduhku melakukan hal lain."

Zee masih bermonolog sambil terus melangkah menuju ruang petugas kesehatan. Ia segera masuk ke ruang kerjanya dan mendekati jendela, mencoba melihat keadaan sekelilingnya.

"Apakah aku akan membiarkan kamu begitu saja tanpa mendapatkan pembelajaran? " Ucap Zee sambil mondar-mandir di dalam ruang kerjanya di lantai paling atas klinik Al fitrah. Ia mencoba untuk memahami kondisi Afzal saat ini, namun hati nurani berkata lain. Ia yang berasal dari sebuah keluarga yang sangat mapan dengan tingkat kepedulian terhadap orang lain sangat tinggi merasa terketuk hatinya untuk membuat Afzal menjadi seorang pribadi yang baik dan peduli terhadap lingkungan seperti dirinya. ia tidak rela kalau laki-laki tampan seperti itu dibiarkan memiliki sikap negatif tanpa ada yang berani melakukan perubahan apapun padanya.

"Bagaimana caranya ya membuat dia menjadi seorang yang menyenangkan dan tidak menyebalkan seperti saat ini? Tampan tetapi membuat aku ingin memukul wajahnya. Awas saja kalau sampai aku melihat engkau menghinaku untuk yang kesekian kali. Ketika kau meakukannya, maka saat itu adalah saat dimana aku harus memukulmu. Bukan untuk menyakitimu tetapi untuk membuat engkau tahu bahwa apa yang aku lakukan adalah cara untuk menyadarkan dirimu dari ketidakberdayaanmu menghadapi kehidupan. "

Zee tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya memikirkan bagaimana kejadian yang baru saja ia bayangkan lalu ia terkekeh sendiri di ruangannya.

Beberapa kali mondar-mandir akhirnya ia duduk di sofa yang berada di sudut ruang kerjanya sambil memandang ke bawah, di mana di sana ada sebuah pintu masuk menuju ke klinik yang dikelolanya. Beberapa kendaraan sedang memarkirkan diri di tempat parkir dibantu oleh seorang petugas parkir dan beberapa kendaraan lain sedang menunggu. Satu kendaraan tersebut menyelesaikan parkir dengan baik. Zee masih terus memandang ke bawah mencoba mencari tahu pasien yang datang ke kliniknya, bagaimana cara berjalannya dan bagaimana mereka dari pihak keluarga pasien mendukung keluarga yang sedang sakit. Zee mengerutkan keningnya menyaksikan seorang laki-laki tua turun dengan gagahnya dari dalam mobil menggandeng seorang elegan tanpa membawa orang yang kelihatan sedang sakit sama sekali. Dia benar-benar merasa yakin bahwa mereka berdua bukan calon pasien yang akan meminta untuk dibantu mengatasi permasalahan yang sedang mereka alami dalam bidang kesehatan.

"Ah tapi bisa saja kan seseorang yang kelihatannya sangat gagah berjalan seperti mereka memiliki penyimpangan. Aku saja tidak pernah melihat dengan jelas dari sini karena cara pandang semakin hari semakin mendekat. Mata ini seharusnya sudah dibantu dengan alat bantu penglihatan." Zee mengusap kedua matanya dan dia berusaha untuk berdiri serta melangkah menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selanjutnya dia ingin melihat anak buah dan karyawannya secara langsung di ruang kerja mereka masing-masing.

Setelah menyelesaikan mandi, Zee melangkah meninggalkan ruang kerjanya menuju kamar utama dan mengganti semua pakaian yang ia kenakan dengan pakaian kerjanya. Ia kembali melangkah menuju sudut ruangan dan mencoba melihta layar yang menampilkan tayangan seluruh ruangan yang ada di Alfitrah. Satu fokus ia arahkan ke kamar perawatan laki-laki yang mulai menarik hatinya.

"Kalau kau terlelap begini seharusnya kau menjadi laki-laki paling menyenangkan. Tenang dan tidak memiliki banyak tingkah. Namun saat melihat kau selalu mengintimidasiku, aku sama sekali tidak mentolerir semuanya."

Zee tersenyum lalu menyambar tasnya dan melangkah meninggalkan apartemen menuju lift yang akan mengantarnya ke Alfitrah di lantai paling bawah. sampai di tempat yang ia tuju, ia segera duduk dan meneliti beberapa tumpukan laporan dan rekam medis beberapa pasien yang ia inginkan termasuk rekam medis milik Afzal.

Di ruangannya, Afzal mulai membuka mata. Ia lihat seluruh sudut kamar yang ia gunakan untuk perawatan. Belum ada keluarganya yang datang sama sekali dan ia yakin mereka belum sadar kalau dia tidak ada di rumah.

"Apakah kalian merasa ada hal yang hilang saat dua hari ini aku tidak pulang? Atau kalian masih menganggap bahwa aku bersama teman-temanku di markas? Ck, kalian memang pengusaha dan pemain bisnis, namun aku sangat menyayangkan. Kalian sibuk dengan dunia kalian sendiri tanpa berpikir bahwa aku dan adikku memiliki hak untuk dibuat bahagia dengan kasih sayang kalian? Aku ingin sekali tetap berada di sini, namun apakah aku sanggup? Hidup tanpa ponsel dan membiarkan orang beranggapan kalau aku sudah mati?"

Afzal menarik napas dalam dan membuangnya kasar. ia yang sedang kecewa dengan tingkah keluarganya akhirnya menggelengkan kepalanya yang tiba-tiba menjadi pusing.

"aaaa"

Suaranya yang keras terdengar sampai ruang jaga perawat, membuat petuga jaga segera berlari menengoknya. Sazkia, perawat jaga memandang Afzal yang sedang meremas rambutnya. Ia ulurkan tangannya mencoba menolong Afzal, namun ia urungkan.

"Ada apa, Tuan? Apakah ada yang sakit?"

Afzal memandang Sazkia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tetap belum menganggap bahwa perlu untuk berbagi rasa dengan gadis lemah di hadapannya.

"Mengapa belum ada tindakan apapun untukku? Apakah kalian memang pekerja yang lelet dan tidak memiliki target?"

Sazkia yang mendengar kalimat Afzal benar-benar ingin memuntahkan semua isi perutnya. Ketertarikannya pada laki yang sejak kemarin menginap di bangsal perawatan, kini berangsur mulai pudar. Ia lelah berharap banyak dari lelaki yang tampan tapi arogan dan hari ini ia ingin menghilangkannya sedikit demi sedikit.

"Hei, mengapa melamun? Apakah rumah sakit ini sengaja ingin membunuhku sehingga belum ada tindakan apapun?"

Sazkia memandang Afzal lalu mengerutkan keningnya, memikirkan bagaimana memberi penjelasan tanpa menghabiskan banyak kata.

"Mengapa melamun? Apakah kau sedang berpikir bagamana lari dari pertanyaanku?"

"Mengapa Tuan selalu berburuk sangka kepada klinik ini? Apakah Tuan mengetahui kalau beberapa anak buah Tuan ditemukan polisi dan dirawat di rumah sakit lain? Apakah Tuan tahu bagaimana perkembangan mereka? Ah, seandainya Tuan tahu, pasti Tuan tidak akan menghina kami." Sazkia meninggalkan Afzal yang sedang terpana mendengar penjelasannya. Ia sama sekali tak menyangka kalau gadis di hadapannya akan memberikan informasi sepotong-sepotong tentang anak buahnya.ia belum bertanya, namun Sazkia sudah meninggalkan dirinya.