"Kalau kau tahu siapa aku sebenarnya, aku yakin engkau tidak akan pernah membentakku sekali pun seperti tadi. Tapi aku memang tidak perlu untuk menjelaskan siapa sebenarnya diriku ini. Cukup belajar tentang bagaimana menghargai orang lain dengan memanfaatkan kalimat yang sudah tersimpan di dalam otakmu, Nona. Jangan kau lakukan kepada orang lain karena mereka belum tentu sebaik diriku menghadapi kamu dan kebodohanmu."
Amira menggelengkan kepalanya mendengar apa yang diucapkan oleh Afzal. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa laki-laki di depannya meskipun lemah selalu menampilkan sikap mau menang sendiri dan sangat menyebalkan.
Melihat Amira diam tanpa bereaksi atas ucapannya, Afzal akhirnya diam. Tangan yang semula ia gunakan untuk mencari ponsel yang ada di saku celananya, akhirnya ia letakkan di atas kepala. Ia ingin sekali menikmati kebebasannya hari ini. Bisa bersembunyi dari khalayak umum tanpa diketahui oleh siapapun. Afzal merasa harus berterima kasih kepada orang yang sudah membawa dirinya ke klinik tersebut. Namun mengingat bahwa siapa pun tidak mau memberitahu tentang wanita yang menolong dirinya. Afzal kembali menggelengkan kepalanya. Ia ingin sekali mengirimkan pesan kepada anak buah, namun ia harus rela putus semua keinginannya.
"Tuan sedang mencari apa?"tanya Amira sambil memandang Afzal yang sejak tadi meraba saku celananya. Afzal memandang Amira yang masih belum sadar pada apa yang sedang ia cari saat ini yang mampu membuat dirinya dan bertengkar hebat.
"Tuan, katakan kepadaku apa yang sedang Tuan cari barangkali aku bisa membantu menemukannya."
"Aku sedang mencari ponsel dan dompet yang ada di saku celanaku. Sejak aku sadar dari pingsanku, aku sama sekali tidak menemukan benda-benda berharga yang ada di dalam sakuku. Padahal aku...' Afzal menghentikan kalimatnya. Ia lupa kalau Amira bukan orang yang mudah untuk dipercaya dan selama ini dia sama sekali tidak pernah mengungkapkan rahasia kepada sembarangan orang tentang hal apapun. Mendengar absen menghentikan kalimatnya Amira pun mencebik. Ia mengingat apa yang membuat Afzal tadi marah kepadanya. Hanya karena dia tidak melanjutkan kalimatnya laki-laki yang tergeletak lemah di depannya memarahinya sedemikian rupa dan kini dia justru melakukan hal yang sama dengan apa yang diharapkan.
"Dasar laki-laki hanya menang sendiri. Menyuruh orang lain dengan mudah namun engkau juga melaksanakan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan tadi." Ucap Amira sambil mengambil berkas yang ada di meja dan meninggalkan Afzal tanpa pamit. Melihat reaksi Amira, Afzal hanya mengerutkan keningnya sambil tersenyum tipis. Hal yang sama sekali tidak mudah ia lakukan. Selama ini tidak ada yang mampu membuat Afzal tersenyum. Hal yang sangat mahal. Selama ini jangankan dia tersenyum, tidak marah terhadap orang lainjuga merupakan hal yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh Afzal.
"Kau mampu membuat aku tersenyum? Memangnya apa kelebihanmu dibandingkan dengan dokter cantik yang menyebalkan itu?"
Setelah ditinggalkan oleh Amira, Afzal akhirnya membayangkan kejadian yang beberapa waktu lalu terjadi kepadanya. Saat sebelum dia mendapat pengeroyokan. Saat itu dia baru saja mengadakan meeting dengan klien di sebuah restoran yang membahas tentang rancangan pembuatan sebuah platform besar. Jika platform tersebut terbentuk, ia akan menjadikan pemiliknya memiliki kekayaan nomor satu di dunia. Media sosial yang merupakan bandingan dari beberapa media sosial yang ada diperkirakan akan mampu mengendurkan pengguna media sosial yang lama dan bertanya kepada platform yang baru karena beberapa fitur yang ada di platform tersebut memudahkan para pengguna untuk mencari beberapa data dari teman yang sudah hilang dari peredaran pergaulan mereka. Ditambah lagi satu sistem yang ada di dalam yang akan mereka buat. Klien sudah memberikan satu chip yang menyimpan beberapa sistem yang ada di dalam platform tersebut. Keberadaan chip tersebut diketahui oleh 1 orang anak buah rival Afzal yang selama ini selalu membuntuti kemanapun dia pergi dan melakukan aktivitas.
"Bodoh sekali aku karena telah mempercayai orang baru."
Afzal menyugar rambutnya. Ia beberapa kali mengangkat tangannya untuk meninju beberaa obyek yang bisa ia jangkau, namun tidak pernah menyangka bahwa orang yang biasa menyapa dirinya dengan ramah adalah satu orang yang sangat berbahaya. Awal pertemuannya dengan 1 anak buah dari rivalnya sebenarnya terjadi tanpa sengaja. Mereka sama-sama makan di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Korea yang menjadi tempat favorit Afzal. Dia yang sama sekali tidak pernah merespon sapaan orang yang tidak dikenalnya, akhirnya harus mengalah pada keadaan dimana dirinya harus menerima laki-laki tersebut menjadi teman. Teman dalam hal ini adalah orang yang berhak untuk dijawab sapaan dan perkataan.
Perkembangan hubungan antara Afzal dan laki-laki tersebut berjalan sangat lambat sehingga siapa pun tidak pernah menyangka bahwa orang yang selama ini diacuhkan olehnya adalah sumber malapetaka bagi dirinya.
"Aku harus belajar lebih teliti lagi menghadapi orang-orang baru di sekelilingku. Orang yang tampak sangat baik belum tentu dia memiliki niat tulus untuk benar-benar berinteraksi denganku. Aku yang menyangka bahwa tindakanku sudah kuhitung sematang mungkin, ternyata masih meleset. Tony, orang yang selama ini aku acuhkan dan akhirnya aku terima menjadi salah satu orang yang masuk daftar manusia yang kukenal benar-benar harus dilumpuhkan."
Afzal masih terus menganalisa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya selama ini. Menerima Anthony dan menganggapnya sebagai orang yang pantas untuk dikenal dan membiarkan dia berada di lingkungan yang digunakan untuk bertemu dengan klien adalah kesalahan fatal kesekian kali yang tidak bisa di maafkan.
Beberapa kali Afzal menyugar rambutnya. Ia tinju udara tanpa berpikir bahwa ada seseorang yang sedang mengawasinya dari ruangan lain. Mengawasi pergerakannya dan tindakan yang dilakukan saat ini dari layar monitor CCTV yang berada di ruangannya.
Zee yang sejak tadi melihat interaksi Amira dan Afzal hingga saat ini berada seorang diri di ruangannya ini hanya bisa menggelengkan kepalanya. Melihat betapa laki-laki itu sangat pantas untuk dikasihani.
Kakunya sikap Afzal membuat Zee semakin penasaran terhadap laki-laki yang ditolongnya. Dalam hati ia berjanji untuk mengawasi pergerakan orang-orang kepercayaan Afzal termasuk para pengeroyok yang dia temui di persimpangan jalan saat ia hendak melakukan investigasi terhadap lingkungan yang akan digunakan sebagai tempat untuk laboratorium klinik medical hacker. Saat dia sedang dalam perjalanan pulang menuju klinik, Zee tanpa sengaja mendengar sebuah teriakan dari tempat yang ia lewati.
"Pantas saja kamu tumbuh menjadi seorang pria yang arogan. Kamu dilahirkan oleh seorang ibu yang ambisius seperti Karin, sedang bapakmu adalah seorang pengusaha sukses yang tidak pernah membiarkan rivalnya bebas begitu saja setelah dia melakukan kesalahan sekecil apapun."
Zee mengangguk-anggukan kepalanya setelah dia membaca jati diri Afzal yang dia terima dari beberapa anak buah yang ia tugaskan untuk melakukan investigasi awal.