Selesai sarapan bersama. Raihan duduk di sofa single dan mengamati seisi ruang tamu Naura yang sederhana dan tak terdapat banyak barang.
Mungkin juga karena Naura hanya tidak ingin membawa barang banyak ke rumah kontrakannya yang kecil ini. Asalkan barang tersebut sangat ia butuhkan, maka pasti Naura akan membawanya.
"Ini, Mas, silahkan di minum kopinya?" Tukas Naura yang baru saja datang dari dapur sembari membawakan secangkir kopi untuk Raihan.
"Wah, kamu padahal nggak usah repot-repot begini. Mas jadi nggak enak kalau begini, setiap kemari selalu di suguhi kopi," papar Raihan sambil tergelak.
"Mas kan tamu, jadi sudah seharusnya di layani dengan baik di rumah. Karena tamu adalah raja. Begitu kata Nenek aku dulu," jelas Naura sembari tersenyum tipis.
"Oh, gitu yah! Jadi setiap ada tamu, pasti kamu sambut baik dong? Nah, kalau yang datang pencuri gimana? Hayo?" goda Raihan seraya tergelak.
"Nah, itu dia. Masa malingnya mesti di sambut juga? Di buatin kopi dulu kali yah? Sebelum nyuri, kita ngopi-ngopi dulu gitu?" Naura tergelak mendengar kata-katanya sendiri.
Raihan pun ikut tertawa mendengarnya. "Boleh juga ide kamu. Jadi, kalau ada maling, kamu ajak ngobrol dulu. Kenapa kok dia mau jadi pencuri? Kok nggak kerja aja yang halal, kan?" imbuh Raihan yang tergelak.
Naura juga terbahak mendengar saran Raihan barusan. Membayangkannya saja, pastinya sangat lucu. Saat ada orang jahat yang akan mencuri di rumah kita.
Namun malah kita ajak minum kopi bersama dan mengobrol. Aneh.
"Oh, iya. Kata Mama, kamu di suruh ijin aja, jangan kerja dulu. Nanti mama mau datang kesini sama mbok Darmi, tukang pijit andalan Mama," ujar Raihan yang menyampaikan perintah sang mama.
"Nggak usah repot-repot, Mas, bawa tukang pijit segala. Kaki aku sudah sembuh kok. Beneran deh? Nggak apa-apa sudah. Bilang Tante Ratna, kalau kaki aku sudah baik-baik saja kok. Aku sangat berterima kasih sama Tante Ratna. Beliau sangat baik sekali, tapi aku nggak bisa menerimanya lagi. Makanan Ini saja sudah sangat berlebihan menurut aku, Mas. Maaf, yah," jelas Naura yang tidak ingin memiliki hutang budi terhadap Bu Ratna dan juga Raihan.
Raihan mendengarkan dengan saksama penjelasan Naura yang menolak dengan halus kebaikan Mamanya.
Raihan mengerti posisi Naura. Pastinya tak akan nyaman jika kita menerima terlalu berlebihan kebaikan seseorang yang baru kemarin kita temui.
"Iya, Mas mengerti. Hal ini memang tidak bisa kamu terima begitu saja. Maafkan Mama, jika sikapnya terlalu berlebihan kepadamu. Mama memang bersikap seperti itu kepada semua orang yang baik kepadanya. Dan Mama juga menyukaimu saat pertama kalinya bertemu denganmu. Mungkin juga, karena mama yang paling cantik dalam keluargaku," jelas Raihan dengan lembut dan tersenyum tipis.
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Naura yang tidak paham perkataan Raihan baru saja.
"Oh, itu karena memang Mama perempuan sendiri kalau di rumah. Karena Mama dan papa mempunyai dua anak laki-laki. Jadi, secara otomatis, mama adalah orang yang terbaik dan tercantik di antara aku, adikku dan papa," jelas Raihan sambil tergelak.
"Oh, astaga! Aku kira gimana," pungkas Naura yang juga ikut tergelak.
Gadis itu tidak menyangka, jika Raihan yang terlihat cuek awalnya. Bisa memperlihatkan sisi humorisnya seperti ini.
"Nah, sepertinya sudah siang. Mas pulang dulu, yah? Mau kerja," pamit Raihan yang melihat jam tangannya.
"Oh, iya. Aku juga harus siap-siap kerja. Salam sama tante Ratna, terima kasih banyak makanannya enak-enak banget," ucap Naura sembari tersenyum.
"Iya, Mama pasti senang mendengarnya. Aku juga akan menjelaskan kepadanya, bahwa kamu sudah sembuh. Jadi tidak perlu tukang pijit lagi," ujar Raihan yang juga tersenyum tipis.
"Iya, maaf sekali lagi," pungkas Naura merasa tak enak hati.
"Tidak apa-apa kok. Ya, sudah aku pulang dulu. Sampai nanti," pamit Raihan yang keluar dari rumah Naura dan segera pulang ke rumahnya sendiri untuk bersiap akan bekerja.
Naura juga bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia harus semangat bekerja, demi membantu perekonomian keluarganya. Terlebih lagi, ada dua adiknya yang sedang membutuhkan banyak biaya untuk pendidikannya.
Dan sebagai anak sulung, sudah sepantasnya jika ia membantu Sang Ayah yang hanya bekerja di sawah.
####
Raihan sedang sibuk dengan laptop di depannya, hingga tiba-tiba dering ponselnya mengganggu konsentrasinya.
"Ya, halo, Ma?" sahutnya sambil mengamati deretan angka-angka di layar laptopnya.
"Kamu di mana?" tanya Bu Ratna.
"Aku di kantor, Ma. Ada apa?" balas Raihan.
"Kamu kan seharusnya ada di cafe yang di mall? Bukannya kamu ada janji ketemu sama Sandrina?" Bu Ratna mengingatkan Raihan akan janjinya bersama anak dari teman Papanya.
Terdengar helaan napas Raihan dari seberang sana. "Ma, kenapa harus bertemu? Aku nggak mau ketemu sama siapa pun itu. Karena aku yang akan mencari jodohku sendiri!" tegas Raihan.
Bu Ratna mengerti perasaan Raihan. Namun, sudah berapa lama sejak pertunangannya gagal, Raihan selalu menutup pintu hatinya pada semua gadis yang mereka kenalkan.
Walaupun hanya saling bertemu dan mengenal lebih dulu satu sama lainnya. Tapi tetap saja, Raihan selalu menolaknya setelah pertemuan pertama.
Entah apa yang terjadi, namun saat Raihan diminta untuk menemuinya kembali yang kedua kalinya, pria tersebut selalu menolaknya.
Dengan alasan yang selalu sama, "Tidak cocok," hanya itu yang Raihan katakan setiap di tanya apa alasannya untuk menolaknya.
"Tapi kamu sendiri yang sudah menyanggupinya bukan? Jangan ingkar janji, Nak. Kamu laki-laki loh, yang di pegang itu kata-katanya. Bukan janji palsunya. Pergilah! Temui dia sebentar saja. Nggak enak sama Om Sahrul. Oke?" bujuk Bu Ratna lembut.
Raihan sekali lagi menghela napasnya panjang. "Baiklah. Tapi hanya sekali, karena aku nggak mau ada yang kedua kalinya," tegasnya serius.
"Iya. Titip salam Mama buat Sandrina, yah!" sahut Bu Ratna.
Raihan hanya berdehem dan memutuskan sambungan teleponnya. Lalu menonaktifkan laptopnya dan mencari kunci mobilnya beserta dompet dan jasnya yang hanya ia gantung di sandaran kursi.
Sesampainya di cafe, Raihan mencari gadis yang memiliki janji bertemu dengannya. Sesuai dugaannya, gadis ini sama seperti gadis-gadis kaya pada umumnya. Egois dan manja. Dan Raihan tidak menyukai hal tersebut.
Merasa jenuh dengan obrolan mereka, Raihan meminta ijin untuk pergi dengan alasan pekerjaan. Beruntungnya ia berhasil kabur dari Sandrina.
Raihan melihat seseorang sedang berdiri di pinggir jalan, akan menyeberang. Raihan secepatnya berlari kecil menuju ke arah Naura.
"Na, tunggu!" teriak Raihan sambil berlari kecil menghampiri Naura.
"Mas Raihan?" tukas Naura yang terkejut melihat Raihan.
"Kamu mau pulang?" tanya Raihan.
"Iya, aku mau pulang. Istirahat dulu di rumah, nanti jam empat sore baru balik lagi ke sini. Mas kok ada disini?" jelas Naura.
"Aku habis bertemu teman di cafe. Ayo, makan siang sama-sama!" ajak Raihan.
"Boleh. Ayo, ke rumah, Mas! Makanan tadi pagi kan masih banyak di rumah, tinggal di panasin saja," ujar Naura setuju.
"Oh, iya. Ya, sudah kalau begitu. Jadi, nanti malam kita makan di luar saja. Bagaimana?" saran Raihan antusias.
Naura mengerutkan keningnya, mencerna kata-kata Raihan barusan.
"Eh? Nggak usah, Mas. Aku bisa masak Mie instan aja nanti. Gampang kalau makan malam," tolak Naura halus.
"Sudah tidak ada penolakan. Ayo, ke mobil, Mas," ajak Raihan seraya berjalan lebih dulu.
Naura hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan dan mengikuti langkah kaki Raihan.