Pagi harinya, Raihan di minta oleh mamanya mengantarkan sarapan untuk Naura. Mamanya berpikir, jika Naura pasti akan kesulitan dengan keadaan kakinya yang sakit.
Raihan tentu saja sangat senang jika di minta untuk menemui Naura. Entah mengapa, ia ingin sekali bertemu dengan pemilik senyum manis tersebut.
Biasanya ia tidak seperti ini terhadap semua gadis yang mamanya kenalkan padanya. Tapi berbeda jika itu Naura.
"Kok banyak banget, Ma? Bukannya untuk sarapan aja, yah?" tanya Raihan yang melihat satu rantang susun berisi banyak makanan untuk Naura.
"Ya, kan ini untuk makan siang sekalian makan malamnya juga. Gimana, sih? Oh, dan bilang kalau dia suruh minta ijin cuti saja, masa kakinya sakit tapi tetap kerja," titah Bu. Ratna sambil menata makanannya di rantang.
"Ma, tapi ini beneran nggak apa-apa. Kita kan, baru sehari ketemu sama dia. Nanti kalau dia mikirnya gimana-gimana, kan aneh aja. Masa baru kenal tapi kayak yang sudah kenal lama," celetuk Raihan sambil memakan perkedel kentang kesukaannya.
Bu Ratna terdiam sejenak, sepertinya mencerna perkataan anak sulungnya barusan. "Ya, benar memang kita baru pertama bertemu dengannya. Tapi Mama sudah suka sama dia, dan Mama juga pengen dia bisa jadi menantu Mama," ungkap Bu Ratna antusias.
Mendengar kata 'Menantu' dari Mamanya, Raihan tersedak makananannya, Bu Ratna buru-buru memberikan minuman untuknya.
"Kamu ini gimana, sih? Masa makan perkedel aja bisa kesedak begitu?" omel Bu Ratna sambil menggelengkan kepalanya, heran.
"Ya, habisnya Mama. Baru juga kenal. Masa sudah ngomongin menantu, sih, pacaran aja belum," gerutu Raihan kesal.
Namun tak bisa di pungkiri, ia juga bahagia jika seandainya hal itu benar-benar terwujud. Terlebih lagi usianya juga sudah matang untuk menikah. Bukan waktunya lagi untuk sekedar penjajakan semata. Lalu berpisah.
"Memangnya salah kata-kata Mama? Namanya juga berharap. Siapa tahu Tuhan mengabulkannya. Pasti Mama akan sangat bahagia sekali bisa mempunyai teman di rumah ini," harap Bu Ratna antusias.
Sementara Raihan hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya. "Iya, Mama doakan saja yang terbaik untuk Raihan, yah," balas Raihan yang bangun dari duduknya dan memeluk Sang mama dari samping.
"Iya, mama selalu mendoakan semua anak-anak, Mama. Semua yang terbaik untuk kalian berdua." Bu Ratna membalas pelukan dari anak sulungnya dengan senyum hangatnya.
"Oh, iya, Ma. Anak kesayangan Mama, katanya mau pulang tiga minggu lagi. Rico minta aku untuk jemput dia di Jakarta. Aku nggak mau, minta tolong aja sama supirnya Paman Arya. Dia nggak mau, Ma. Malah ngomel," adu Raihan atas obrolannya semalam bersama dengan Rico.
"Ya, sudah. Kita jemput saja bersama. Kasihan dia, sudah empat tahun tidak pulang ke rumah. Masa kamu nggak mau jemput, sih?" tukas Bu Ratna yang tahu jika Raihan hanya ingin menggoda adiknya tersebut.
"Iya, Ma. Aku kan cuman bercanda aja sama dia. Ya, sudah. Aku ke rumah Naura dulu. Mudah-mudahan dia belum sarapan, ya, Ma?" pamit Raihan sambil membawa rantang bersusun untuk Naura.
"Pasti belum. Ini kan, masih pagi. Sudah sana pergi. Hati-hati di jalan." Bu Ratna mengantarkan Raihan hingga ke depan pintu gerbang.
###
Tak lama kemudian, Raihan telah sampai di rumah Naura. Suasana di lingkungan ini memang ramai. Raihan berusaha bersikap ramah dengan para warga yang tinggal di pinggir jalan depan gang rumah kontrakan Naura.
Tok...tok...tok...
Raihan mengetuk pintu rumah Naura perlahan. Kemudian, muncullah seorang gadis yang baru saja membukakan pintu untuknya.
"Loh? Mas Raihan? Kok ada disini?" tanya Naura yang terlihat sangat terkejut melihat kedatangannya.
Raihan melirik sekilas penampilan Naura yang mengenakan dress rumahan sebatas lutut, dengan rambut yang di Cepol asal.
'Sungguh, cantik!' gumam Raihan dalam hatinya.
"Aku di suruh Mama untuk mengantarkan sarapan sekaligus makan siang dan makan malam kamu. Apa aku mengganggu kamu?" tanya Raihan yang tidak enak datang pagi-pagi ke rumah Naura.
Terlebih lagi, sejak ia turun dari mobil tadi. Semua orang tampan memperhatikan dirinya. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
"Eh, harusnya nggak usah repot-repot begini, Mas. Aku kan cuman terkilir, bukan parah banget. Ya, sudah. Mari silahkan masuk, Mas. Kita makan sama-sama saja. Mas belum sarapan juga kan?" tanya Naura yang menerima rantang tersebut dan masuk ke dalam rumahnya.
"Boleh. Kebetulan aku memang belum sarapan. Karena mama hanya telepon dan suruh antar makanan aja. Tapi aku juga belum makan," jelas Raihan sambil tergelak. Naura juga tertawa kecil mendengarnya.
Raihan mengikuti langkah Naura yang memang tidak tertatih seperti kemarin. Raihan menatap seisi ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah. Mungkin juga bisa di sebut sekaligus ruang makan.
Sebab, hanya ada satu buah sofa panjang dan satu sofa single dengan meja di tengahnya. Ruang dapur yang berada di sebelah kamar mandi. Juga satu kamar tidur di depan ruang tengah ini.
"Mas duduk di sini aja. Aku siapkan dulu piringnya." Naura meletakkan rantang di atas meja dan akan masuk ke dalam dapurnya.
"Kamu yang harusnya duduk, Ra. Biar aku yang ambil piring sama minumannya," titah Raihan yang menarik lembut tangan Naura dan memintanya untuk duduk di sofa panjang. Sementara Raihan masuk ke dapur dan mengambil peralatan makan juga air minum.
"Aduh, maaf ya mas, merepotkan. Seharusnya tuan rumah yang melayani tamu. Tapi ini?" ucap Naura yang merasa tak enak.
"Udah, nggak apa-apa kok. Ayo kita makan sekarang," Raihan meletakkan piring di atas meja.
Naura pun mengambilkan makanan untuk Raihan. Sikapnya yang melayani pria tersebut sudah seperti seorang istri terhadap suaminya.
Hal itu membuat Raihan mengingat ucapan mamanya tadi. 'Sepertinya, aku setuju dengan pendapat Mama kali ini.' Batin Raihan sambil tersenyum menerima piring yang telah penuh oleh nasi dan lauknya.
"Wah, ini enak banget. Rejeki nomplok ini namanya, bisa makan makanan enak seperti ini," seru Naura yang baru saja menyuap makanan ke mulutnya.
Raihan senang melihat binar kebahagiaan Naura. Meskipun hanya dari makanan. 'Ia memang berbeda dengan gadis lain.' Benaknya mengagumi kesederhanaan Naura.
Keduanya menikmati sarapan di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Walaupun Raihan masuk ke dalam rumah, tapi tetap saja. Pintunya di buka oleh Naura.
Gadis tersebut hanya tidak ingin menjadi bahan pergunjingan warga disini yang selalu ingin tahu setiap urusan orang lain.
Raihan dan Naura mengobrol santai. Membahas hal-hal umum yang biasanya di perbincangkan oleh orang yang baru saja saling mengenal.
Dari sini, Raihan dan Naura bisa sedikit mengerti seperti apa lawan bicaranya saat ini. Kesimpulannya adalah mereka berdua merasa cocok dalam hal mengobrol. Bisa nyambung antara satu sama lainnya.