"Ka Kevin," panggil Megantara membuka sedikit pintu kamar kakaknya.
Laki-laki itu masuk ke dalam kamar meskipun tidak ada ijin dari sang pemilik kamar.Ia membawa buku paket Matematika danmelemparnya hingga mendarat di perut sang Kakak. Kevin yang sedang bermain game di atas ranjangnya sedikit terkejut dengan kelakuan sang adik yang seenaknya saja.Beberapa soal yang tidak bisa diselesaikan oleh Megantara membuatnya berada di kamar ini. Ia ingin menanyakan jawaban benarnya.
"Nomor tiga sama lima gue gak ngerti caranya,"kata Mahendra.
Kevin melongos, "Gan, lo ngapain sih belajar? Ulangan masih lama."
"Gue belajar karena gue pelajar, Kak. Tugas gue sebagai pelajar itu ya belajar." Megantaraduduk di pinggir ranjang di sebelah Kakaknya. "Lagian, mumpung lo masih di sini gue mau ngabisin waktu banyak buat belajar dari lo. Nanti kalo lo udah balik ke kostan gue sendiri lagi."
Kevin memandang adiknya pilu, adiknya pasti merasa kesepian karena harus tinggal sendirian.
Kedua orang tua mereka sudah menawarkan Mahendra untuk ikut dan tinggal diPari, bisnis yang menuntuk keluarga itu untuk pindah ke luar Negeri. Namun, Megantara menolaknya. Ia ingin tetap berada di Indonesia melanjutkan jejak Kakaknya yang kuliah di Universitas Gajah Mada. UGM merupakan kampus favorit Megantara dan ia ingin melanjutkan pendidikannya kelak di sana.
Sudah tiga hari Kevin pulang dan empat hari lagi laki-laki itu harus kembali ke Yogyakarta. Bunda menyuruhnya untuk pulang minimal tiga bulan sekali untuk menengoki adik satu-satunya.
Sebenarnya, Kevin sangat miris melihat kondisi adiknya saat ini. Dia begitu fokus pada pelajaran dan peringat di kelasnya. Lihat saja, hari Minggu yang seharusnya dihabiskan untuk bersantai malah digunakan untuk menjawab soal-soalyang menguras otak. Megantara sangat ambisius sehingga tidak bisa menikmati hidupnya dengan benar. Memang kewajiban pelajar adalah belajar, tapi ia juga harus bisa membagi porsi antara belajar dengan bersantai-santai.
"Ck, lo itu bisa gak sih santai dikit? Ini tuh hari Minggu," kata Kevin menjauhkan buku paket itu dari dirinya.
"Gak bisa, Kak. Dua minggu lagi gue UAS," balas Megantara.
"Dua minggu itu masih lama, Gan."
"Cepet! Jatah seminggu lo di sini aja gak kerasa udah tiga hari, nanti tahu-tahu lo pergi aja." Tanpa sadar, Megantara mengatakan hal itu dengan nada tinggi.
Ia merasa kesepian jika rumah ini kosong kembali. Di rumah sebesar ini, Megantara menempatinya seorang diri. Ia tidak ingin ada pembantu rumah tangga atau supir pribadi untuk membantunya menjalankan aktivitas karena sejak kecil laki-laki itu dididik untuk mandiri. Lagian, untuk rumah yang ditinggali oleh satu orang tidak banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
"Gan, lo kesepian ya?" tanya Kevin.
Meskipun Kevin sudah tahu jawabannya, ia ingin mendengar langsung pengakuan dari Megantara yang selalu menyembunyikan perasaannya.
Kevin memegang pundak adiknya. "Gan, lo tuh cuma butuh pacar. Coba deh lo cari cewek, waktu nganter lo MOS gue lihat banyak cewek-cewek cantik di sekolah lo. Lo tuh ganteng, keren, badan lo bagus, lo juga pinter kan di sekolah, pasti banyak lah cewek yang klepek-klepek sama lo."
"Gue gak mikirin soal itu, Kak."
"Kenapa?"
"Gak tahu. Gak kepikiran aja."
"Gak boleh gitu. Lo boleh aja mau ikut jejak gue yang kuliah di UGM. Tapi lo juga harus warisin kehebatan gue yang punya banyak cewek hahaha …."—Kevin merangkul adiknya—"Lo tahu gak? Waktu gue segede lo, belum ada setahun gue masuk sekolah aja gue udah punya lima mantan. Hebat kan?" Kevin tersenyum bangga sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun.
Megantara hanya melihat kelakuan Kakaknya dengan wajah flat. Laki-laki itu mengambil buku paket yang sempat dijauhkan dari Kevin dan menyodorkan buku tersebut ke Kakaknya.
"Gece, Kak. Kasih tahu caranya gimana," kata Megantara.
"Ah, gak seru lo," Balas Kevin.
Akhirnya Kevin menyerah. Ia mengajari adiknya menyelesaikan soal tersebut.
"Thanks ya, Kak," ucap Megantara setelah Kevin membantunya.
"Iyaaaa, ganggu gue main game aja lo," balas Kevin.
"Maaf deh."
Biasanya cowok yang Kaka beradik selalu menghabiskan hari-hari mereka dengan bertengkar dan gulat-gulatan. Namun, Kevin tidak merasakannya di sini. Mungkin, karena mereka tinggal di rumah yang berbeda hingga jarak membuat kecanggungan ini muncul ditengah-tengah mereka.
Laki-lakinya teringat ketika ia dan adiknya masih berumur sepuluh tahun. Dua bocah laki-laki itu berlari di belakang halaman rumah dengan pistol airnya masing-masing. Berlari diiringi tawa yang menggema, di dalam rumah Bunda mereka menyiapkan susu cokelat kesukaan mereka. Wanita itu ke halaman belakang dan memanggil kedua anaknya untuk menghabiskan susu hangat buatannya. Di teras, sang ayah menyeruput kopi hitam kesukaannya sambil membalikkan koran ke halaman selanjutnya. Sungguh sangat indah masa-masa itu, masa di mana semua anggota keluarnya lengkap berkumpul pada satu rumah.
Kini, yang tertinggal hanyalah Kevin dan Megantara setelah kedua orangtuanya menetap sementara di Paris. Dan empat hari lagi, Kevin akan kembali ke Jogja untuk melanjutkan kuliahnya. Tinggallah Megantara sendirian.
"Permisi, Paket!!!"
Baru saja Megantara hendak keluar dari kamar Kevin. Terdengar suara kurir berteriak di depan rumah mereka.
"Lo pesan paket, Kak?" tanya Megantara pada Kevin.
Kevin menggeleng. "Nggak."
"Terus itu kenapa ada kurir?"
"Gatau. Mending lo keluar sana tanya paket buat siapa? Siapa tahu kurir nyasar."
"Lo aja deh, Kak. Gue males keluar rumah. Daritadi juga kan lo Gak ngapa-ngapain, kerjaan lo main gameee aja."
"Eh enak aja. Games ini tuh ada championnya. Gue bisa dapet duit jutaan dari game ini jangan salah. Ibarat kerja, gue sibuk. Lo aja gih yang buka, cepetan, tuh kurir keburu nhamuk gak dibukain pintu.
Megantara menghela nafas panjang, kemudian berjalan ke arah pintu utama.
Beginilah nasib menjadi adik. Harus nurut kalo disuruh-suruh sama kakaknya.Kevin memang seperti itu, terlalu mendewakan game. Pacarnya saja sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk melepaskan laki-laki itu kebiasaan buruknya yang terlalu berlebihan bermain game. Namun, meskipun begitu otak cerdik Kevin patut diacungi jempol. Kepintarannya terbukti karena ia masuk ke salah satu Universitas Favorit.
"Permisi, Mas. Paket," ucap si kurir saat pintu rumah terbuka.
"Iya, Mas. Pake buat siapa ya?"
"Oh ini, paket buat …. Megantara."
"Buat saya?" tanya Megantara heran. Kurir itu mengangguk. "Tapi, saya gak pesan apa-apa di online shop."
"Hmmm, gak tahu ya Mas. Di sini tertulis begitu."
"Salah orang kali Mas."
"Alamatnya menunjuk ke rumah ini, Mas. Terus juga ada catatan Megantara kelas X.IPA1 SMA Nusa Bangsa."
Itu benar-benar paket untuk Megantara.
"Gini deh, Mas. Mas ambil aja dulu paketnya, urusan ini punya Mas atau enggak Mas bisa tahu setelah buka paket ini. Tolong lah Mas, ini pekerjaan saya."
Akhirnya, Megantara menerima paket tersebut. Paket yang hanya berupa amplop kecil tipis. Laki-laki itu benar-benar heran. Ia tidak pernah memesan apa pun dan tiba-tiba kurir datang mengantarkan paket untuknya.
Setelah Megantara menandatangani bukti terima, kurir tersebut pamit pergi.
Karena penasaran, Megantara membuka amplop tersebut. Ia ingin tahu siapa pengirimnya. Setelah dibuka, yang ada di dalam amplop itu hanyalah selembar kertas.
"Apa ini?" tanya Megantara heran.
"Surat?"
*****