Wajah lesu nampak menghiasi dua orang yang merasa percuma berbicara panjang lebar, tetapi pada akhirnya tetap saja mereka menuruti permintaan Pak Sofyan--kepala sekolah.
Yah, Reval dan Megan pada akhirnya tetap diikutsertakan dalam lomba olimpiade matematika tingkat nasional itu dikarenakan nilai mereka berdua pada pelajaran matematika meningkat drastis.
"Sumpah! Sia-sia kita ngomong panjang lebar, pada akhirnya tetap ikut juga tuh olimpiade. Gue padahal mau istirahatkan otak gue!" gerutu Mecca.
"Sama, Ca. Gue pun mau refresh ini otak, mana gak lama lagi gue pun bakal ujian," sahut Reval memasangkan helm Mecca.
Mecca diam saja dengan perlakuan Reval, seketika ia kembali teringat perihal masalahnya dengan bundanya. Sebenarnya bukan hanya masalah dengan bundanya saja, melainkan sosok lain yang mengaku-ngaku adalah ayahnya. Mecca benar-benar benci ketika mengingat hal itu kembali.
Melihat Mecca diam melamun, membuat Reval mencubit pelan pipi adiknya sampai sang empu meringis.
"Au! Kenapa sih?"
"Lo yang kenapa? Ngelamun terus." Reval sudah selesai memasang helm adiknya.
"Gue hanya benci keadaan yang gue alami sekarang," ucap Mecca dengan tatapan sendu menatap Reval.
Reval sedikitpun tak mengeluarkan suara, ia menunggu ucapan Mecca selanjutnya. Namun, dari kata awalan yang ia sebut benci, Reval sudah bisa menduga apa yang adiknya maksud.
"Gue benci orang asing itu yang mengaku-ngaku sebagai ayah gue!" ucap Mecca dengan penuh emosi.
"Mecca." Reval memegang kedua bahu adiknya untuk menatapnya.
"Gue paham gimana perasaan lo. Dua orang asing masuk ke kehidupan lo secara tiba-tiba, tapi gue mohon, Ca. Lo boleh membenci bokap gue, tapi tolong jangan benci gue, kaka lo ini," ucap Reval dengan nada frustasi.
Reaksi Mecca setelah mendengar ucapan Reval masih diam, tetapi dalam hitungan detik. Mecca menepis kasar tangan Reval yang memegang bahunya.
"Lo hanya kaka tiri gue!"
Sepanjang perjalanan, tidak ada lagi pembicaraan. Keheningan menemani keduanya sampai akhirnya Reval yang memulai pembicaraan karena tak tahan saling diam-diam saja dengan Mecca.
"Mecca," panggil Reval menatap adiknya dari balik kaca spion motornya.
"Hmm." Mecca hanya menyahut dengan deheman pelan dari balik helmnya.
"Masih marah, ya, sama gue? Gue minta maaf jika omongan gue tadi ada yang salah," ucap Reval.
Belum ada sahutan dari Mecca, beberapa menit berlalu. Mecca masih tetap diam, hingga pada akhirnya Mecca berucap.
"Lo kenapa gak benci sama gue, Val? Untuk orang yang selalu memperlakukan lo dengan cara nggak pernah menghargai sedikitpun apa yang lo lakukan!"
Reval belum memberikan jawaban, lelaki itu membuka kaca helmnya yang sebelumnya di tutup. Lalu mengarahkan tatapannya menatap kaca spion yang sudah di arahkan ke adiknya.
"Coba liat wajah gue." Mecca pun menuruti saja ucapan Reval dengan wajah kebingungannya.
Yang pertama Mecca lihat adalah senyuman tulus dan hangat. Bahkan tanpa Mecca sadari jantungnya sudah berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
"Apapun balasan lo ke gue, mau itu gak peduli pun. Gue akan tetap sayang dan selalu ada untuk lo, Ca,"
Mendadak Mecca dibuat bungkam, sampai tiba di rumah pun. Dirinya masih tetap saja diam, hingga tak menyadari Reval sudah melepaskan helm di ke kepalanya.
"Ayo, masuk!" Reval menggandeng tangan adiknya masuk ke dalam rumah.
Ternyata sudah ada yang menunggu kepulangan mereka, Mecca hanya diam, tak menatap dua orang yang tengah menatapnya. Sampai akhirnya Mecca memilih langsung masuk ke kamarnya, mengabaikan panggilan bundanya yang memanggilnya.
"Mecca!" teriak Reina--ibunya Mecca.
"Bun! Biarin Mecca ke kamarnya, nanti bicaranya di waktu yang tepat. Sekarang dia masih capek dari sekolah," ucap Reval memberikan pembelaan untuk adiknya.
Reina menghela napas kasar. "Belain terus aja, adik kamu! Kali ini dia memang harus menuruti permintaan bunda dan bunda gak terima penolakan!"
"Bunda!" Reval refleks berucap dengan nada yang berubah tinggi.
Perasaan Reina langsung berubah, setelah Reval berucap seperti membentaknya.
"Kamu sekarang sudah berani membentak bunda?!"
"Nggak, sayang. Reval hanya mengatakan hal yang memang benar. Mecca pasti lelah, biarkan dia istirahat dulu dan saat makan malam nanti kita bicara," bela Hasan.
Reval nampak menunduk sebentar, sedikit merasa bersalah karena tidak bisa mengendalikan emosinya jika menyangkut soal adiknya.
Hasan masih berusaha menenangkan Reina agar emosinya mereda, sambil memberi kode kepada Reval untuk masuk ke kamarnya karena sekarang bukan waktunya berbicara baik-baik pada bundanya.
Reval mengerti, lelaki itu segera menaiki anak tangga. Namun, baru dua anak tangga yang ia naiki, Reval kembali menatap ke arah orang tuanya.
"Aku hanya berharap, jangan hancurkan kebahagiaan Mecca hanya karena keegoisan bunda yang tak menyukai Fathur. Kebahagiaan Mecca adalah Fathur, bun dan Mecca sudah cukup banyak terluka selama ini tanpa bunda ketahui."
Setelah mengatakan itu, Reval langsung bergegas pergi ke kamarnya. Meninggalkan Reina dan Hasan yang mendadak terdiam.
Setibanya di depan kamar miliknya, Reval belum hendak masuk. Tetapi lelaki itu terhenti di ambang pintu tengah menatap kamar adiknya yang berhadapan dengan kamarnya. Tertutup rapat dan tak ada suara sedikitpun dari dalam sana, hingga akhirnya Reval ingin mengecek apa yang adiknya lakukan.
Tok! Tok!
"Siapa?" Suara sahutan dari dalam terdengar pelan.
"Gue, Ca," jawab Reval.
"Ada apa?"
"Bisa lo keluar, Ca?" tanya Reval.
Tak lama terdengar suara dibukakan pintu yang terkunci dan terlihatlah Mecca dengan hoodie berwarna biru tua yang ia kenakan, bukan lagi seragam sekolah.
"Kenapa?" tanya Mecca.
"Udah mandi?"
"Udah,"
Lalu beberapa menit tak ada pembicaraan lagi, membuat Mecca merasa aneh. Reval menyuruhnya keluar hanya untuk menanyakan perihal dirinya sudah mandi atau tidak.
"Lo nyuruh gue keluar hanya untuk menanyakan hal gak penting?" tanya Mecca dengan nada jengkel.
Reval terkekeh, melihat wajah adiknya yang kesal, tetapi gemas sekali di matanya. Namun, yang dilakukan Reval selanjutnya membuat Mecca semakin membelalakkan matanya.
Lelaki itu melongos masuk kamar Mecca, lalu menarik Mecca masuk dan mengunci pintu.
"Heh! Lo jangan macam-macam, ya!" ancam Mecca dengan tatapan waspada.
Pikirannya sudah muncul berbagai macam hal yang tak seharusnya Mecca pikirkan. Namun, Reval malah semakin tertawa dan mencubit pelan pipi Mecca.
"Gemas banget sih adik gue ini, emang polos banget. Nggaklah, Ca, gue ngelecehin adik gue sendiri," ucap Reval sedikit menunduk mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan adiknya.
"Terus ngapain lo masuk kamar gue dan menguncinya? Lo udah bikin takut gue aja!" ucap Mecca dengan mata bulatnya.
Raut wajah Reval pun berubah sedikit serius, tak lagi seperti sebelumnya. Kedua tangan miliknya memegang bahu adiknya agar menatapnya.
"Malam ini lo harus berani bicara sama bunda, bilang apa yang lo ingin ungkapkan, biar bunda tau, Ca. Bahwa kebahagiaan lo adalah bersama Fathur." Reval berhenti sebentar berucap, merapikan helaan rambut milik Mecca yang menutupi mata adiknya.
"Dan gue akan selalu mendukung elo jika menyangkut kebahagiaan Mecca Agustinar, adiknya Reval Ravindra." lanjutnya.