Malam pun tiba yang menandakan waktunya makan malam.
Reval keluar dari kamarnya dan bertepatan saat itu juga Mecca keluar kamarnya dengan piyama tidurnya. Senyum merekah terbit di wajah Reval, untuk menyemangati adiknya jika semuanya baik-baik saja.
"Jangan takut, gue ada di samping lo nanti," ucap Reval dan mendapat anggukan kepala dari Mecca.
Mereka berdua pun turun menuju meja makan yang di sana ternyata sudah ada yang menunggu kedatangan mereka.
Makan malam dengan empat orang yang disebut sebagai keluarga, tetapi tidak bagi Mecca. Bahkan untuk makan malam berempat layaknya seperti keluarga adalah hal yang selalu Mecca hindari, karena sebelumnya Mecca tak pernah makan satu meja dengan Hasan--ayah tirinya dan ini untuk pertama kalinya.
Di saat sudah duduk pun, Mecca sudah merasa tak nyaman. Namun, ia usahakan menahan dirinya.
"Mari kita makan, tapi sebelum itu berdoa dulu," ucap Hasan memecah keheningan.
Semuanya pun mulai mengisi nasi di piring masing-masing, Mecca yang tempat duduknya berhadapan dengan Hasan, membuat dirinya hanya menundukkan wajahnya sedari datang karena enggan matanya bersi tatap dengan ayah tirinya.
Sampai Reval mengisi piring Mecca dengan nasi, Mecca hanya tetap diam saja.
"Mecca, kamu mau papa ambilkan sayur sup sama ayam gorengnya?" tanya Hasan ingin berusaha menarik simpati Mecca.
Namun, respon Mecca tak sedikitpun menggubris ucapan Hasan. Gadis itu tetap diam saja. Reval yang mengerti keterdiaman adiknya, mengambil lauk pauk untuk Mecca yang berada di tangan Hasan.
"Biar Reval yang ambilin. Papa makan aja, cobain masakan bunda,"
Setelah mengambilkan lauk pauk, Reval menatap Mecca yang tatapannya hanya kosong.
"Makan, Ca." Tatapan Mecca pun menatap wajah Reval yang jaraknya sedikit dekat dengannya.
Gadis itu hanya mengangguk pelan dan memulai makannya, sampai di sela-sela makan, Reina pun mulai berbicara.
"Mecca," panggil Reina.
Wajah Mecca pun mendongak, menatap lawan bicaranya.
"Iya, bun?"
"Sejak kapan kamu berpacaran dengan Fathur?" tanya Reina.
"Sebulan yang lalu, tepat di hari bunda menikah," jawab Mecca datar.
"Apa selama ini kamu punya masalah yang tidak kamu ceritakan ke bunda?"
Pertanyaan itu, membuat Mecca sedikit menarik senyum di bibirnya, merasa lucu dengan pertanyaan yang tanpa ditanyakan pun seharusnya bundanya sudah tahu.
"Kalaupun aku punya masalah, aku akan tetap nggak akan ceritakan ke bunda. Percuma dan hasilnya hanya akan buang-buang waktu," jawab Mecca.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu Mecca?" Nada suara Reina berubah sedikit kesal.
"Bunda tanya kenapa? Itulah sebabnya sejak papa pergi untuk selamanya, seseorang tempat aku menumpahkan segala masalah, hanya papa satu-satunya yang mengerti aku dan peka jika aku punya masalah." Mecca memberanikan menatap bundanya.
"Sedangkan bunda, bertanya perihal aku ada masalah tidak pernah, baru ini untuk pertama kalinya. Lagipula bunda pun tidak pernah bertanya pada aku sebelum melakukan sesuatu, entah itu aku setuju ataupun tidak. Bunda tetap nggak akan peduli dan akan tetap melakukannya," lanjut Mecca.
Suasana mendadak hening dan mencekam. Antara seorang ibu dan anaknya, sedangkan Reval dan Hasan berusaha menenangkan.
"Apa maksud ucapan kamu Mecca?" tanya Reina masih tak mengerti.
Mecca tertawa renyah, meneguk sebentar air di gelas untuk menghilangkan rasa sakit di tenggorokannya.
"Bunda masih saja tidak mengerti! Yang aku maksud itu adalah bunda yang menikah lagi tanpa memikirkan aku yang tak pernah menyetujuinya dan dengan mudahnya bunda menyuruh aku menerima keadaan sekarang!" Mecca tak tahan lagi menumpahkan segala hal yang ia pendam selama sebulan ini.
"Nggak bisa, bun. Padahal bunda tau bagaimana aku yang nggak bisa menerima orang baru masuk ke kehidupan aku ataupun keluarga kita yang baru aja kehilangan papa, tapi bunda dengan cepat melupakan papa dan menikah dengan pria, orang asing ini!"
"Aku benci dengan keadaan ini, tinggal di tempat yang sama pun aku selalu merasa sesak di sini. Namun, aku mengalah hanya untuk menjaga perasaan bunda. Jadi, aku mohon bunda jangan hancurkan kebahagiaan yang masih tersisa di hidup aku, luka yang tertoreh saat bunda menikah kembali masih belum sembuh, bun. Aku lelah dan akhirnya mengungkapkannya hari ini!"
Setelah mengatakan itu, Mecca langsung berdiri dan pergi ke kamarnya. Reina berusaha memanggil Mecca, tetapi tak di respon oleh gadis itu lagi.
"Bun, biarkan Mecca sendiri. Dia udah cukup banyak terluka dan hari ini dia ngungkapin ke bunda. Reval udah tau semuanya, bahkan Mecca sampai sekarang masih membenci Reval walaupun Reval bersyukur, Mecca masih mau merespon Reval,"
"Tapi kenapa Mecca sekarang banyak berubah?" Reina tak bisa menahan tangisnya melihat anak satu-satunya tak sedekat lagi dengannya.
"Mungkin karena dampak masuknya saya dan juga Reval di kehidupan kamu dengan Mecca, menciptakan begitu banyak luka pada Mecca. Hingga membuatnya banyak berubah, apa keputusan kita menikah dulu adalah sebuah kesalahan, Reina?"
"Mas! Kenapa sekarang kamu malah bicara seperti itu?!"
"Setiap kali saya melihat mata Mecca yang begitu banyak menyimpan luka dan kebencian, saya sadar kehadiran saya dengan Reval mengusik kehidupannya. Saya kira Mecca butuh diberi waktu untuk bisa terbiasa, tapi ini sudah satu bulan kita satu rumah, untuk bertegur sapa saja, Mecca enggan dan menunjukkan jika dirinya sangat tidak menyukai saya," lanjut Hasan.
"Mas! Mecca hanya belum bisa mengikhlaskan kepergian Mas Arsya," sahut Reina.
"Itulah sebabnya kenapa saya bilang keputusan kita menikah yang terlalu cepat adalah sebuah kesalahan?"
Reval yang sebagai penonton, memijit pelipisnya. Ia bingung harus bagaimana, ketika orang tuanya malah bertengkar. Namun, Reval membenarkan ucapan ayahnya, jika kehadiran mereka berdua mengusik kehidupan Mecca sampai dirinya terluka.
Padahal bagi Reval, saat dirinya pertama kali berjumpa dengan Mecca setelah orang tuanya menikah. Sudah timbul di dirinya rasa sayang sebagai seorang kaka kepada adiknya, tetapi lama-kelamaan malah berganti dengan rasa sayang berbeda.
"Pah! Bun! Jangan malah kalian yang bertengkar. Solusi untuk masalah ini adalah kasih Mecca waktu dan jangan hancurkan kebahagiaan yang masih tersisa, termasuk izinkan Mecca pacaran dengan Fathur!" Reval menerobos berucap, menghentikan adu mulut orang tuanya.
Suara lirik musik dengan alunan menenangkan pikiran mengisi ruangan gadis yang tengah belajar. Ia lebih memilih belajar, ketimbang memikirkan beban masalah hidupnya yang tak kunjung selesai.
Bagi Mecca masalah yang menimpa dirinya adalah ujian dari tuhan dan ia yakin bisa melewatinya. Mungkin itulah sebabnya juga kenapa Mecca adalah siswi berprestasi karena waktunya hanya di isi untuk belajar agar melupakan masalahnya.
"Mungkin gue memang hanya butuh waktu untuk terbiasa dengan keadaan sekarang, gue juga lelah terus-menerus membenci seseorang yang selalu baik sama gue. Tapi ...," Mecca menyeka air mata yang tanpa sadar lolos di pelupuk matanya.
"Untuk sekali saja, tuhan. Mecca hanya ingin kebahagiaan yang sekarang tersisa, tidak akan hilang," lanjutnya.