"Jangan patah semangat gitu dong guys. Tenang aja ide yang lain masih banyak." Arumi membujuk para anggota group untuk tidak cepat keluar.
Mereka juga mempertanyakan sosok pria misterius yang menolong Viola. Mereka menganggap jika pria itu adalah sosok dari sekolah lain yang menyukai Viola.
"Tapi, gue penasaran sama mukanya weh."
"Gue malah curiga ada cepu di group ini," ucap seorang siswi.
"Gue juga. Boleh gue spill gak sih orang yang gue curigain?"
"Spill ajalah biar rame." Salah seorang siswa memanaskan suasana.
"Sorry ya, Aldi." Pembahasan mereka mulai memperkeruh obrolan dalam group. Ada yang mempercayai, ada juga yang menepis. Ditambah dengan menghilangnya Aldi dari group membuat kecurigaan beberapa penghuni group semakin besar.
Sosok penolong Viola hanya tertawa ketika suasana obrolan group menjadi saling menghina satu sama lain. Sampai akhirnya, Gusti mencoba menenangkan kekacauan.
"Kalau kita berantem terus, gimana coba kita bisa ngerjain si Viola?" Gusti mengingat tentang niat awal group terbentuk.
"Tuh, denger kata Gusti." Arumi mulai menyarankan ide-ide konyol.
Murid-murid sekolah Lauren Kids pun menyetujui untuk memasukan rokok ke dalam tas milik Viola.
"Gue gak ikutan ya." Aldi terlihat sangat netral.
"Gue aja yang masukin," ujar Arumi.
Viola begitu bingung. Biasanya, razia diadakan setiap hari sabtu. Semua murid disuruh meletakan tas mereka di atas meja.
"Rokok itu bukan milik saya, Buk." Arumi mulai membayangkan kepanikan Viola. Namun, tidak ditemukan apa pun di tas Viola. Padahal, Arumi sangat yakin dia telah menaruhnya.
"Arumi, ikut Ibu ke ruang guru ya!" titah Buk Nani sambil memegang bungkus rokok yang ditemukan di dalam tas Arumi.
Seluruh murid begitu kebingungan. Mereka ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Buk Nani. Namun, peraturan dalam group melarang mereka untuk membahasnya di sekolah.
"Tapi, Buk, bukan saya pelakunya. Saya yakin itu milik Viola, Buk." Arumi yang mulai terpojok, mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal bagi Buk Nani.
"Milik Viola? Sudah jelas itu ada di tas kamu," tutur Buk Nani.
Viola mengerutkan kening ketika Arumi menuduhnya.
"Temen-temen, kalian percaya kan, itu bukan punya gue." Teman yang lain tidak bisa membelanya. Mereka tidak mengatakan apa pun. Hanya memandang Arumi dengan aneh.
"Arumi, jelaskan saja di ruang guru!" Buk Nani menarik Arumi menuju ruang guru.
"Saya gak merokok Buk. Itu bukan milik saya." Arumi hanya bisa mengatakan itu.
"Lantas, kenapa itu ada di tas kamu kalau bukan milik kamu?" Buk Nani mulai menelepon seseorang.
"Sebaiknya, Bapak lekas ke sekolah. Anak Bapak ketahuan membawa rokok."
Arumi mulai panik ketika Buk Nani menelepon orang tuanya. Arumi tidak tahu lagi harus memberikan alasan apa.
Obrolan group melimpah ruah. Mereka mulai panik dan takut jika Arumi akan menyeret nama mereka.
"Kok bisa sih ada di tas Arumi? Kan, gue yakin, ada cepu nih di antara kita."
"Nah, iya kan. Pasti ada."
"Rokok? Sepertinya itu milik saya." Ayah Arumi melindungi anaknya dengan kebohongan.
"Bagaimana bisa itu ada di dalam tas Arumi jika itu memang milik Bapak?"
"Jadi, saya memang menaruh rokok saya di dalam tas. Saya kira itu tas saya. Pantas saja, rokok milik saya hilang."
Buk Nani memilih untuk percaya kepada ayah Arumi dan segera mengakhiri sambungan telepon. Sedangkan Arumi terlihat ketakutan.
"Bukan milik kamu ternyata. Kamu boleh ke kelas lagi sekarang," ungkap Buk Nani.
"Katanya, rokok itu punya Bapak kamu," sambung Buk Nani.
Teman sekelas mulai mengerubuti meja Arumi dan menanyakan tentang hal yang tidak masuk akal. Viola menoleh ke belakang arah meja Arumi. Arumi hanya memutar bola matanya.
"Oke anak-anak, sekarang kita buka halaman 19 ya," ucap guru fisika.
"Buk, kan hari ini ada ulangan." Viola mengingatkan guru fisika tentang ulangan yang dijanjikan seminggu yang lalu.
Murid lain memasang wajah tak suka. Mereka menganggap jika Viola terlalu mencari perhatian. Ulangan pun di mulai. Pikiran Arumi tidak fokus.
"Ampun, Pak. Itu bukan rokok Arumi." Arumi berpikir jika ayahnya akan melakukan kekerasan lagi terhadap dirinya.
"Waktu kalian habis ya. Selesai tidak selesai kumpulkan!" ucap Buk Tania. Sedangkan Viola sudah keluar dari ruangan karena kecepatan dan kepintarannya dalam mengisi soal.
"Mulai kan, caper mulu tuh anak." Para murid mulai bergunjing tentang tingkah Viola yang tidak mereka sukai.
"Iya, udah bagus Buk Tania lupain soal ulangan. Eh, malah dia ingetin," keluh yang lain.
"Untuk sekarang, kita stop dulu buat kerjain si kutu buku. Gue trauma." Arumi mengirimkan pesan yang membuat para penghuni group kecewa dan terkejut.
"Yang buat group kan lo, kenapa yang mundur malah lo juga?"
Beberapa dari mereka protes tentang pemikiran Arumi yang begitu mudah untuk mundur.
Arumi berjalan mengendap menuju ke dalam rumah. Tetapi, bungkus rokok terbang ke arah wajahnya.
"Jelasin!" Ayah Arumi berkacak pinggang menunggu penjelasan dari anak perempuannya.
"Itu bukan punya Arumi ayah, Arumi juga gak tau." Arumi menunduk. Ia terlalu ketakutan untuk melihat wajah ayahnya.
Ayahnya mengangkat wajah Arumi. Dan tertawa, "Hahaha. Kamu pikir ayah percaya?"
"Harus. Karena Arumi anak ayah, Ayah sayang kan sama Arumi," ucap Arumi.
Arumi memegang pipinya yang menjadi merah berkat tamparan keras dari ayahnya.
"Kalau mau, jangan sampai ketahuan, bodoh! Ayah mau tau gak?"
Arumi lekas memasuki kamar. Ia menangis bukan karena tamparan. Air mata yang terus menetas itu karena perkataan sang ayah yang terdengar tidak peduli kepada Arumi.
"Jangan sampai ketahuan? Malu?" lirih Arumi.
Arumi mematikan ponsel yang terus berbunyi. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri.
"Apa gue harus melibatkan diri dari bahaya? Supaya cowok misterius itu nolongin gue lagi?" Arumi mulai memikirkan tentang bagaimana dia bisa bertemu dengan pria itu.
"Kenapa lama banget sih. Gue kesepian tau," ucap Naya.
"Tadi macet." Viola mengupas buah-buahan untuk sahabatnya.
"Lu gak digangguin sama geng motor lagi?" Naya menerima suapan apel dari Viola.
"Pengenya sih gitu. Hahaha," ungkap Viola.
"Biar bisa ketemu cowok itu kan?" tebak Naya.
Dari luar kamar pasien, terdengar suara ponsel yang berdering. Viola langsung menoleh ke arah belakang. Viola mengejar sosok yang dia duga sebagai malaikat penolongnya. Sedangkan Naya, bertanya-tanya tentang perilaku Viola yang aneh.
"Kayanya malaikat penolong deh." Viola amat yakin jika itu adalah malaikat penolong. Terlihat dari helm yang digunakan.
"Hallo?" ucap sosok yang mengintip kamar yang di tempati oleh Naya.
"Abis dikejar setan lu?" tanya sang penelepon.
"Huh! Ada apa sih?" sosok pria dengan helm full face itu membuka helmnya.
"Al, tolongin gue lah. Bensin gue abis nih!"