Keesokan harinya, Reno dan Icha berangkat hanya dengan satu motor. Reno mengendarai motor Icha, sementara Icha duduk manis di jok belakang. Tujuannya sudah sangat jelas, untuk menghindari guru olahraganya itu.
Kemarin, mungkin menjadi hari yang sangat melelahkan bagi Reno. Setelah mengetahui kenyataan kalau Sigit tidak pernah cinta kepadanya, membuat dada Reno sangat sakit. Karena bagaimanapun juga, Reno benar-benar cinta dan sangat sayang kepada pria gagah yang sudah meninggalkan luka yang sangat dalam di hatinya.
Meski Reno berusaha move on dan melupakannya, tentu tidak semudah ucapan semata. Setiap hari ia pasti akan bertemu dengan Sigit, entah saat pelajarannya atau saat Sigit membutuhkan bantuannya. Tapi kali ini, sepertinya Reno tidak akan pernah mau lagi membantu Sigit dalam urusan apapun.
"Masih mikirin dia?" Suara Icha memecah suasana. Reno yang melamun setelah memarkirkan motor langsung sadar ketika Icha menepuk pelan pundaknya.
"Eh..." kaget Reno. "Em... ya gitu deh. Gue ngerti kenapa banyak orang susah move on, ternyata gini rasanya" ucap Reno.
"Lambat laun juga bakal ilang itu rasa. Asal jangan kepikiran terus, gue yakin lu bisa move on" sahut Icha.
Perlahan senyum Reno mengembang. "Makasih ya Cha. Yaudah masuk yuk, nanti terlambat" ucap Reno.
Icha mengangguk. Setelah menitipkan helm mereka berdua ke tukang parkir, mereka berjalan masuk menuju ke sekolah.
Baru beberapa langkah melewati gerbang sekolah, mata Reno secara alami memandang ke arah ruang OSIS yang berseberangan namun berada di paling pojok. Pikirannya langsung tertuju kepada Sigit, bahkan hatinya bertanya-tanya apakah Sigit ada di ruangan itu atau tidak.
Kemudian manik matanya berpindah ke tempat parkir sekolah yang berada tepat di sebelah kiri gerbang sekolah. Reno melihat ada motor Sigit di sana, entah mengapa senyuman Reno langsung mengembang saat itu juga.
Tapi Reno menggelengkan kepalanya ketika ia sadar dari kenangan indahnya itu. Semua yang dipikirkan Reno hanyalah ilusi semata, tidak ada yang asli. Semuanya memang benar terjadi, namun semuanya palsu.
Reno mengeraskan hatinya, memberi sugesti kepada dirinya kalau Sigit itu bukanlah orang yang baik.
"Woi, ngapain bengong?" Icha bersuara agak keras karena posisinya berada beberapa langkah di depan Reno. Terlihat Reno linglung saat Icha bersuara.
"Eh..." Reno tersadar dari lamunannya. "Tungguin" ucap Reno, lalu ia berlari kecil untuk menyusul Icha yang berada di depannya.
"Masih mikirin dia?" tanya Icha sambil berjalan beriringan dengan Reno menuju ke kelasnya.
Pertanyaan Icha membuat Reno reflek menoleh ke belakang melihat ruangan itu lagi. Setelah itu wajah Reno menjadi agak sedih, namun ia terus berusaha tersenyum di depan sahabatnya itu.
"Iya" jawab Reno jujur. "Doain aja semoga gue cepet move on" ucap Reno pelan.
Icha memutar kedua bola matanya. "Itu sih pasti gue doain" sahut Icha. "Tapi yang jadi masalah, kan lu pasti ketemu terus sama tuh guru. Kita masih kelas 11, masih setahun lebih di sekolah ini. Ketemu tuh orang bisa sampe tiga kali seminggu. Yakin lu bisa move on?" lanjutnya.
Reno memanyunkan bibirnya, lalu berpikir kalau apa yang dikatakan Icha itu ada benarnya juga.
Kalau satu atau dua bulan, mungkin Reno masih bisa mengeraskan hatinya dan berusaha untuk melupakan Sigit. Tapi kalau lebih dari satu tahun, dirinya benar-benar ragu bisa move on dari Sigit. Bukannya move on, yang ada malah Reno akan terjebak dengan masa lalunya itu. Memikirkan begitu saja, membuat kepala Reno sakit.
"Ya bisa aja sih sebenernya. Tapi ada syaratnya" sahut Reno.
Icha memberhentikan langkahnya lalu menatap serius sahabatnya itu. "Apa?" tanya Icha kepo.
"Cariin gue gebetan baru." Reno menerbitkan senyumnya, namun tak lama senyumnya itu hilang karena Icha menjitak pelan kepala Reno.
"Lu nyari modelan yang kayak tuh orang, gue nyari dimana? Kalo cewek banyak noh, lu tinggal milih aja salah satu dari fans lu" sahut Icha.
Reno menghela napas, lalu ia berjalan lebih dahulu meninggalkan Icha di belakangnya. "Ogah" jawab Reno, saat Icha sudah berada di sampingnya.
Terlihat Icha berpikir keras untuk mencarikan Reno gebetan yang modelannya kurang lebih seperti Sigit.
Cowok tulen, jantan, garang, badan kekar berotot, tatapan mata yang tajam, dada bidang, dan lain-lain. Tapi dimana mencari laki-laki yang mempunyai itu semua?
Tiba-tiba saja langkah Icha berhenti ketika ia menemukan orang yang sesuai dengan kriteria tadi. Hanya saja, cowok ini terbilang seumuran dengan mereka dan juga bersekolah di sekolah yang sama.
"Gue tau!" ucap Icha girang.
Reno hanya menaikkan sebelah alisnya, karena merasa cowok yang disebutkan oleh Icha pasti cowok yang tidak akan pernah Reno dekati. "Siapa?" tanya Reno terpaksa.
"Kak Putra!" jawab Icha.
Mata Reno menatap Icha dan ekspresi wajahnya tidak bisa diartikan. Sesuai dugaannya, cowok yang direkomendasikan Icha pasti cowok yang tidak terpikirkan oleh Reno.
Putra Ryan Pratama, atau yang lebih akrab dipanggil 'Putra' oleh seisi sekolah. Ia adalah orang yang famous layaknya Reno, hanya saja ia berada di posisi kedua karena posisi pertama berhasil direbut oleh Reno. Putra adalah seorang ketua ekskul pramuka di sekolah, kesan jantan dan manly sangat terpancar dari dirinya.
Berbanding terbalik dengan ketampanan Reno yang lebih ke arah ganteng imut lucu, Putra memiliki ketampanan layaknya cowok jantan yang ganteng garang tegas. Wajahnya tampan, tubuhnya kekar berotot meski tidak sebesar Sigit, lesung pipit yang sangat khas dari seorang Putra, dan tentu saja kulit coklat yang membuatnya sangat hot karena warna kulitnya eksotis.
Jujur saja, Reno juga menyukai Putra. Namun suka disini lebih mengarah ke kagum, bukan cinta seperti yang dirasakan kepada Sigit.
"Ogah!" jawab Reno cepat.
"Lah kenapa? Bukannya lu sama Kak Putra lumayan deket ya?" bingung Icha.
Reno memang sudah mengenal Putra sejak kelas 10, bahkan mereka lumayan dekat meski umur mereka berbeda satu tahun. Kedekatan mereka berawal dari game online populer di hp, bahkan sampai sekarang mereka masih sering bermain bersama.
"I-iya sih, tapi ogah ah. Lu tau Kak Putra juga orang terkenal di sekolah, nanti ada rumor apalagi kalo gue deket sama dia? Males gue diomongin sama satu sekolahan" sahut Reno.
"Emang ada rumor baru lagi ya?"
Reno terkejut ketika mendengar suara yang tak asing, lebih terkejut lagi karena orang itu entah muncul dari mana dan langsung merangkul Reno. Ketika Reno menengok ke sebelahnya, ia langsung disuguhi oleh senyum manis berlesung pipit dari wajah tampan itu.
"Eh?! Kak Pu-putra?!" Reno panik, karena orang yang sedang dibicarakan kini berada tepat di sebelahnya. "No-nongol dari mana lu?!" tanya Reno, sekaligus berusaha menyembunyikan kepanikannya.
Putra hanya membalas pertanyaan Reno dengan senyumnya yang sangat manis, membuat Reno salah tingkah. "Emang ada rumor apa lagi? Kok sampe bawa-bawa nama gue?" tanya Putra balik.
Mendengar Putra mengembalikan pertanyaan, Reno semakin kelabakan. "Em, a-anu! Nggak ada rumor apa-apa! Lu salah denger kali!" jawab Reno asal.
Putra mengangguk pelan sambil menaikkan sebelah alisnya. "Yaudah, gue ke kelas dulu ya!" Setelah memberikan sebuah sentilan di pipi Reno, Putra menuju ke kelasnya yang berada di lantai itu.
Kemudian Reno dan Icha menuju ke kelasnya yang berada di lantai empat.
Sambil berjalan, Icha tak henti-hentinya memandangi Reno yang wajahnya memerah karena diledek oleh Putra tadi. Icha sih mendukung saja kalau Reno memang suka dengan Putra, keduanya lumayan cocok. Yang satu ganteng imut, yang satu ganteng jantan.
Sesampainya di kelas, Reno duduk seperti biasa. Memang masih ada rasa sakit ketika ia duduk, namun sudah tidak separah saat pertama kali digagahi. Jadi Reno cuek saja dengan rasa sakit itu.
Beberapa menit kemudian, teman-teman Reno sudah berkumpul untuk mengobrol-ngobrol karena masih ada sisa waktu yang lumayan sebelum bel masuk berbunyi. Icha, Yoga, Ridwan, dan Jeki sedang asik ngobrol. Sementara Reno terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Eh..." panggil Reno kepada teman-temannya itu. "Ganti ekskul yuk, pindah ke ekskul voli aja gimana?" tanya Reno tiba-tiba.
Mereka berempat menatap heran ke Reno, soalnya dulu Reno sendiri yang memaksa mereka untuk ikut ekskul basket ketimbang yang lain.
"Tumben? Biasanya paling giat kalo main basket?" sahut Jeki.
"Ya nggak salah sih, cuma gue bosen aja gitu. Udah setahun lebih main basket mulu, emangnya kalian nggak bosen?" tanya Reno lagi.
Terlihat mereka berpikir sambil saling melihat satu sama lain. Begitupun Reno dan Icha, tatapan mereka mengartikan kalau mereka sedang berkomunikasi hanya dari tatapannya saja.
"Bener kata Reno, gue juga bosen sih main basket mulu. Gue mau-mau aja pindah ekskul voli, cogannya nggak kalah banyak sama yang ikut ekskul basket." Icha mengedipkan matanya, karena tau tujuan kenapa Reno berniat untuk pindah ekskul.
"Gue sih ayo-ayo aja, yang penting ekskulnya bareng" sahut Ridwan.
"Sama, kalo bareng-bareng gue nggak masalah" sahut Jeki.
"Gas" sahut Yoga singkat.
Terlihat senyuman Reno mengembang mendengar jawaban dari teman-temannya itu. "Oke! Nanti gue bilangin ke Pak Sigit, kita pindah ke ekskul voli" ucap Reno.
Setelah mengucapkan itu, kembali Reno berpikir. Untuk bicara dengan Sigit, tentu harus bertemu dengan orangnya langsung. Apa Reno bisa melakukan itu? Entahlah, ia sendiri tidak yakin bisa melakukan itu.
~ ~ ~
Sekarang Reno sudah berada di depan ruang OSIS, sementara Icha menunggu di pos satpam karena permintaan Reno. Jantung Reno terus berdetak dengan cepat karena perasaannya tidak karuan, gelisah dan juga takut.
Hari ini ia belum melihat Sigit sama sekali. Apa itu artinya Sigit benar-benar tidak cinta dengannya? Atau ia sengaja melakukan itu karena senang melihat dirinya menderita? Reno tidak tau pasti, dan sebentar lagi ia akan mengetahui hal itu.
Mengambil napas panjang lalu ia hembuskan secara perlahan, akhirnya Reno memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang OSIS itu.
Tok... Tok... Tok...
"Assalamualaikum" ucap Reno setelah mengetuk pintu, lalu ia membuka pintu ruang OSIS secara perlahan.
Ketika kepalanya masuk untuk melihat, ternyata di ruangan depan sudah ada Sigit yang sedang duduk. Terlihat Sigit menengok ke arah Reno, dan tanpa di sengaja ia berkontak mata dengannya.
Meski ada perasaan kesal dan juga dag-dig-dug, Reno tetap mengutamakan tata krama dan sopan santun. Jadi ia masuk lalu menutup kembali pintu itu, setelah itu ia berdiri agak jauh dari Sigit.
"Permisi Pak Sigit, aku mau ngomong sesuatu boleh?" tanya Reno lembut.
Sigit tidak menjawab dengan bersuara, ia hanya menatap tajam Reno dan menganggukkan kepalanya. Reno tersenyum, karena sudah diberi izin.
"Mulai minggu ini, aku, Icha, Yoga, Jeki, sama Ridwan mau pindah ekskul ke ekskul voli" jelas Reno singkat.
"Kenapa mau pindah ekskul?" Akhirnya Sigit mengeluarkan suara berat nan seksinya, membuat napas Reno memburu selama beberapa detik.
"Karena kita mau mencari pengalaman baru, rasanya ekskul basket dari kelas 10 sampai sekarang sudah lebih dari cukup" jawab Reno sopan.
Sigit menaikkan sebelah alisnya. "Bukan karena kamu mau menjauh dari saya?" tanya Sigit lagi.
Reno sedikit terkejut dengan balasan dari Sigit, namun ia berusaha santai. "Iya, itu salah satu alasannya juga" jawab Reno jujur, lalu ia memberikan Sigit senyumannya.
"No, saya nggak izinin kamu pindah ekskul" jawab Sigit singkat.
Reno menghela napas, mencoba mengatur emosinya. "Yaudah. Aku izin sama Bu Ratna aja, soalnya dia kan penanggung jawab kegiatan ekskul murid" balas Reno.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Reno berbalik badan dan berniat untuk keluar dari ruangan itu. Dulu ia memang selalu ingin berlama-lama dengan Sigit, tapi tidak untuk sekarang.
Baru saja tangan Reno meraih gagang pintu, tiba-tiba saja Sigit menarik dengan kuat lengan Reno hingga ia berbalik badan. Dengan kuat Reno berusaha melepaskan tangan Sigit, tapi sayangnya kuat baginya ternyata tidak ada apa-apanya bagi Sigit.
"Lepasin Pak!" Reno terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Sigit, meski itu harus mengerahkan seluruh tenaganya.
"Mulai berani ngebantah ya kamu." Sigit mengeraskan rahangnya, ia terlihat kesal dengan tingkah Reno. "Ayo kita pulang, banyak yang mau saya bicarakan sama kamu" ucap Sigit lagi.
Tiba-tiba saja emosi yang dari tadi ditahan oleh Reno seakan runtuh, perkataan Sigit membuat kesabarannya habis.
"Mau ngomong apalagi hah?! Apa belum cukup juga Pak Sigit nyakitin aku?! Sok-sok baik di depan tapi hati Pak Sigit itu busuk!" kesal Reno.
"Saya nggak mau kasar sama kamu ya Ren, jangan coba-coba ngebantah" balas Sigit.
"Emang Pak Sigit siapa aku?! Emangnya kenapa kalo aku ngebantah?!"
Sigit terkekeh mendengar Reno. "Saya siapa kamu? Saya pacar kamu! Jadi saya berhak untuk mengatur kamu Ren!" tegas Sigit.
"Oh pacar ya? "Pacar apa yang tidurin pasangannya setiap hari?! Pacar atau pemuas nafsu?!!! Brengsek!!!"
Reno meluapkan seluruh unek-uneknya, ia ingin menunjukkan seberapa kesal dirinya kepada Sigit. Rasanya ingin sekali memukul Sigit, namun Reno tau ia pasti kalah kalau adu fisik dengan pria besar itu.
"Kalau Pak Sigit masih ngaku kita pacaran, oke, baiklah. Kalo begitu kita putus sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi" ucap Reno dengan tegas.
Reno kembali meraih gagang pintu, namun kembali Sigit menghadangnya. "Nggak ada, di kamus kita nggak akan ada kata 'putus'. Sampai kapanpun kamu adalah pacar saya, tempat ini dan video hubungan badan kita adalah buktinya" ucap Sigit tak kalah tegas.
Sepertinya benar apa yang dipikirkan Reno soal Sigit yang bukan orang baik, karena sifat aslinya mulai keluar ketika mereka mulai berpacaran.
Reno bukan murid bodoh, meski waktu itu ia menjadi bodoh karena cinta. Dari kelakuan Sigit yang sekarang ia bisa menyimpulkan sesuatu. Ternyata memang tidak ada cinta dari Sigit, dan semua yang Sigit lakukan hanya sebatas obsesi dan ingin Reno terus menjadi pemuas nafsunya. Semua itu dikemas dengan baik oleh Sigit dengan kata 'cinta'.
"Terserah Pak Sigit! Mau kita putus, mau masih pacaran, pokoknya aku nggak mau dan nggak akan pernah mau lagi sama Pak Sigit!" teriak Reno keras.
Dengan sisa tenaganya, Reno mendorong kuat tubuh besar Sigit hingga ia terjatuh ke belakang. Saat itu juga, Reno menggunakan kesempatan untuk keluar dari ruang OSIS dan lari dari Sigit.
Segera Reno menuju ke tempat parkir dimana Icha berada. Di sana, Reno langsung melompat ke jok motor karena Icha sudah bersiap-siap dari tadi selagi menunggu Reno.
"Buruan jalan!!!" Reno menepuk keras pundak Icha, sehingga Icha langsung tancap gas.
Ketika motor melaju, Reno menengok ke arah belakang. Di sana, ia melihat Sigit yang sedang berdiri sambil menatapnya dengan tatapan yang Reno tau betul tatapan apa itu. Tatapan itu adalah sebuah tatapan khawatir, tatapan kecewa dari seorang guru olahraga kesayangannya
Tiba-tiba saja dada Reno terasa sakit dan sesak melihat wajah kecewa itu, tanpa Reno sadari air matanya mulai mengalir membasahi pipinya.
Ada perasaan lega di dalam dirinya, namun ada perasaan menyesal yang lebih besar dari perasaan leganya. Selama ini, Reno jarang dan hampir tidak pernah membentak seseorang. Meskipun ia melakukan itu, Reno pasti akan menangis beberapa saat setelah membentak seseorang. Sama halnya dengan Sigit barusan.
"Ren?! Kenapa nangis?!" tanya Icha panik, ketika melihat Reno menangis dari kaca spionnya.
Reno langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak papa, jalan terus aja Cha" ucap Reno pelan.
Kembali Reno menengok ke belakang, perlahan sosok itu hilang ketika motor berbelok. Lagi, perasaan Reno bercampur aduk.
Reno menghela napasnya, lalu mengusap air matanya yang masih mengalir. Ia mencoba tersenyum walau berat, tapi ia terus berusaha agar suasana hatinya membaik.
Dari semua ini, Reno tau kalau dirinya benar-benar cinta dan sayang kepada Sigit. Namun rasa itu berlebihan, sehingga membuat Reno rapuh karena terus merasa bersalah.
Reno hanya berharap semua rasa itu segera lenyap dan hilang seakan tidak pernah muncul. Karena bagaimanapun juga hidup harus terus berjalan, yang berarti Reno harus move on dari guru olahraga yang benar-benar disayang dan dicintainya itu.
* * *