Chereads / A Boy and His Beloved Man(s) / Chapter 20 - Kenyataan memang pahit

Chapter 20 - Kenyataan memang pahit

Kemarin adalah hari yang sangat menyenangkan bagi Reno, terlepas urusannya dengan Sigit pada hari yang sama juga. Jalan-jalan dan bercerita bersama Danu benar-benar membuatnya gembira bukan main, sampai-sampai Reno tidak sempat memikirkan kepada orang yang sudah menyakiti hatinya itu.

Sekarang Reno sudah tau orang yang seharusnya ia idolakan. Orang itu adalah Danu, bukan Sigit lagi. Meski pada kenyataannya, perasaannya kepada Danu hanya sebatas kagum, sementara kepada Sigit adalah cinta.

Setelah pulang kembali ke kamar kost kemarin malam, Reno memberanikan diri untuk membuka hpnya dan membaca balasan pesan dari Sigit. Awalnya ada perasaan takut dan juga gelisah, namun akhirnya Reno bisa bernapas lega selepas membaca pesan dari guru olahraganya itu.

[Pak Sigit-ku : Kalau kamu butuh waktu sendiri, baiklah saya akan kasih. Tapi setidaknya izinkan saya menjelaskan perkataan saya kemarin dulu, biar semua jelas dan nggak ada salah paham. Saya belum mau dan tidak akan mau mengakhiri hubungan saya sama kamu Ren, saya harap kamu paham. Besok sekolah pulang lebih awal, datang ke ruang OSIS setelah bel pulang sekolah]

Mengeraskan hati bukanlah jawaban yang tepat. Karena semakin Reno mengeraskan hatinya, maka semakin sakit juga yang ia rasakan.

Jadi Reno putuskan untuk membalas, 'Iya, besok aku ke ruangan OSIS. Tunggu aku, Pak Sigit'. Alasannya sudah jelas, karena Reno sendiri belum mau mengakhiri hubungannya dengan Sigit.

Dirinya hanya berharap yang terbaik. Jika memang hubungan mereka membaik, Reno dengan senang hati akan menerimanya. Jika memang hubungan mereka tidak membaik, Reno dengan lapang dada akan menerimanya juga.

~ ~ ~

Pagi harinya, Reno sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Perasaannya sedikit khawatir, namun ada perasaan tak sabar juga untuk sampai di sekolah. Perasaan Reno yang tak menentu, membuat gerak-geriknya terlihat aneh. Sampai-sampai perempuan yang ada di kamar Reno menyipitkan matanya melihat tingkah Reno.

"Lu kenapa sih Ren? Kayak cacing kepanasan" kesal Icha, lantaran matanya terganggu dengan tingkah Reno.

Sekarang Icha sudah ada di kamar kost Reno, padahal waktu masih menunjukkan pukul 5.02 pagi. Mereka memang sudah janjian untuk berangkat bersama, namun Icha datang terlalu pagi.

"Nanti Pak Sigit minta ketemuan lagi, mau ngomong baik-baik katanya." Reno berjalan dari kamar mandi ke lemari pakaian dengan handuk yang masih melilit di pinggangnya.

Icha yang memang dasarnya menyukai Reno, tak bisa berkedip melihat tubuh mulus Reno yang lumayan terbentuk karena ia sering olahraga. Meski belum memiliki roti sobek, tapi dada bidang yang rata serta perut rata bergaris milik Reno berhasil membuat Icha berdebar-debar.

"Badan lu bagus juga Ren, kulit lu juga mulus. Lebih mulus kulit lu daripada gue malah" ucap Icha terus terang. "Pantes Pak Sigit mau-mau aja pacaran sama lu. Muka lu ganteng imut-imut terus badan lu begini, nggak ada bedanya sama perempuan ini mah hahaha."

Reno menarik bibirnya, memberikan senyum kecil di wajahnya. "Ngasal aja lu kalo ngomong" celetuk Reno sambil menatap sekilas Icha. "Gini-gini gue juga cowok tulen kali. Meski gue suka cowok jantan, alhamdulillah gue nggak gemulai."

"Iya sih, gue juga bersyukur karena lu nggak gemulai meski suka cowok juga."

Dengan cueknya, Reno melepaskan handuk yang melilit di pinggangnya. Tubuh Reno yang hanya mengenakan brief pun langsung terlihat jelas oleh Icha, bahkan Icha tak sengaja melihat gundukan di balik brief ketat yang dipakai Reno. Pemandangan itu membuat Icha menelan ludahnya.

"Burung lu kayaknya gede Ren." Icha hanya berbicara yang ada di pikirannya saja, tanpa peduli tentang apa yang dibicarakan.

Reno melihat sekilas ke Icha. "Lumayan, nggak gede nggak kecil juga" sahut Reno. "Mau liat?"

"Najis!"

"Oh, kirain. Hahaha..."

Reno memakai seragam pakaiannya secara lengkap dan juga rapih, selama itu juga Icha memperhatikan Reno tanpa menoleh sedikit pun. Rasanya sia-sia jika tidak melihat pemandangan indah di depan matanya itu.

Sikap Reno yang cuek juga bukan tanpa alasan, semua itu ia lakukan karena ia sudah tau kalau Icha sudah tidak mencintainya. Kalau suka mungkin ada, namun Reno bisa memakluminya. Yang jelas, Icha sudah tau kalau cintanya tidak akan dibalas sampai kapan pun oleh Reno.

Selesai berpakaian, mereka bersiap dan berjalan menuju ke tempat parkir. Dengan menaiki kendaraan masing-masing, motor pun melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sekolah.

~ ~ ~

"Lu yakin Ren mau ngomong sama Pak Sigit lagi?" Icha memasang wajah khawatirnya setelah Reno bercerita mengapa ia mau berbicara dengan Sigit lagi. Sudah cukup bagi Icha melihat Reno menangis, ia tidak mau hal itu terjadi berulang kali kepada sahabatnya.

Reno membuang napas pelan, lalu menatap Icha. "Iya, gue yakin" jawab Reno serius. "Balik apa putus mah urusan nanti deh, yang penting semuanya jelas dulu. Gue masih penasaran apa Pak Sigit beneran cinta sama gue atau nggak."

Sudah mendengar keputusan sahabatnya, Icha tidak mungkin mencegah atau melarangnya. Ia hanya berharap obrolan mereka bisa berbuah baik atau setidaknya baik untuk masing-masing diri mereka kedepannya.

Melangkahkan lagi kakinya, Reno dan Icha berjalan menuju ke kelas mereka.

Di koridor setelah melewati gerbang sekolah, mata Reno kembali tertuju ke tempat parkir. Motor Sigit sudah terparkir di sana, pasti yang mempunyai motor sudah sampai dan sedang berdiam di ruangan yang pernah menjadi saksi bukti cinta mereka.

Senyuman kecil di wajah Reno terukir jelas, ketika ia mengingat kembali kebersamaannya dengan Sigit. Ada perasaan senang ketika mengingat itu semua. Tentu ada perasaan sedih juga, karena Reno tidak tau apakah kenangan indah itu bisa mereka ulang lagi atau tetap menjadi kenangan saja.

Menarik napas lalu menghembuskannya lagi, Reno menatap lurus ke depan dan terus berjalan. Namun langkahnya terhenti, ketika sebuah tangan memegang erat lengannya.

"Ren..."

Jantung Reno seketika saja berdebar mendengar suara berat ini. Icha yang berjalan di depan Reno pun ikut terhenti, ketika pendengarannya mendengar suara berat yang ia kenali juga.

Reno menengok ke arah sumber suara, lalu matanya melihat wajah tampan yang sedang dicarinya tadi. "Pak Sigit..." ucap Reno pelan.

"Kita ada janji buat ngomong baik-baik kan soal hubungan kita? Bisa kita bicara sekarang?" tanya Sigit tanpa basa-basi.

Meski di sana ada Icha yang tentu mendengar percakapan mereka, namun Sigit tidak terlalu peduli. Ia percaya kalau Icha sudah tau mengenai hubungan mereka, terlebih karena Icha adalah sahabat Reno semenjak mereka masuk.

"Ta-tapi, kan nanti aku belajar dulu Pak? Pu-pulang sekolah aku pasti ngomong sama Pak Sigit kok."

"Hari ini jam kosong, guru nggak ada yang ngajar. Nanti semua dipulangkan pas jam istirahat pertama."

Reno menelan ludah, ia sedikit bingung harus bagaimana. Namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya, menyetujui ajakan dari Sigit yang masih memegang lengannya dengan kuat.

Kemudian Reno menoleh ke Icha, wajahnnya tersenyum untuk meyakinkan Icha kalau semuanya baik-baik saja. "Lu duluan aja ya Cha? Gue mau ngomong sama Pak Sigit dulu."

"Oke, kalau ada apa-apa hubungin gue." Icha menatap tajam ke arah Sigit. Lalu ia berbalik badan, kakinya kembali melangkah menjauh dari mereka dan menuju ke kelas.

Tak menunggu lama, tangan Sigit yang memegang lengan Reno mulai berpindah menjadi menggenggam tangan Reno erat. Kemudian ia menarik Reno menuju ke ruang OSIS. Yang ditarik hanya pasrah, ikut berjalan mengekor dari belakang.

Setelah mereka masuk dan pintu ruang OSIS ditutup rapat serta dikunci, terlihat keduanya diam dan hanya saling tatap saja. Suasana yang biasanya cair, kini terasa sangat dingin di antara mereka berdua.

Untuk menghangatkan suasana, Sigit membungkuk dengan maksud untuk memeluk Reno. Namun Reno langsung menepisnya dan mundur beberapa langkah dari Sigit.

"Aku ke sini karena mau ngomong baik-baik, bukan buat pelukan, ciuman, apalagi hubungan badan sama Pak Sigit. Aku bukan pacar ataupun pemuas nafsu Pak Sigit" tegas Reno.

Ucapan Reno tentu membuat Sigit memasang wajah kecewanya. Namun Reno hanya berusaha tegas dan juga tegar, agar Sigit tidak seenak jidatnya memperlakukan Reno.

"Apa maksud kamu Ren? Jelas-jelas kita udah pacaran waktu itu, tempat ini adalah buktinya." Dengan tatapan memelas, Sigit seakan ingin mendengar penjelas dari Reno.

"Iya, waktu itu kita hubungan badan di sini abis itu pacaran. Tapi kita kan udah nggak ada hubungan apa-apa lagi semenjak kejadian di apartemen waktu itu, yang Pak Sigit bilang aku pemuas nafsu doang. Masa lupa sih Pak?" Reno berbicara dengan nada yang biasa namun menekan.

Tau apa maksud dari ucapan itu, akhirnya Sigit mengalah. Ia mengangguk, lalu menyandarkan bokongnya di meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

"Oke, saya mau jelasin kenapa saya bilang begitu sama kamu Ren."

Reno mengangguk, lalu ia berdiri berhadapan dengan Sigit dengan jarak yang beberapa langkah. Terlihat seperti orang yang sedang bermusuhan, tapi kenyataannya mereka memang sedang bermusuhan. Meski ada perasaan iba ketika melihat wajah Sigit yang memelas, namun hati Reno terus mengeras karena emosinya terus naik ketika mengingat kejadian yang tidak mengenakkan saat itu.

"Kamu tau Ren, saya suka hilang kendali kalau udah gagahin kamu. Kalau nafsu saya udah di ubun-ubun, pasti saya suka ngeracau ngomongnya. Masa iya setelah satu bulan lebih kita hubungan badan, kamu nggak tau itu?"

"Aku tau. Aku tau Pak Sigit nggak sadar kalau nafsunya udah di ubun-ubun. Tapi kalau Pak Sigit sadar, Pak Sigit nggak akan ngomong aku ini 'pemuas nafsu' dan bilangnya 'pacar'. Kalau Pak Sigit nggak sadar, Pak Sigit nggak bisa kontrol diri sehingga yang ada di pikiran Pak Sigit jadi terucap kan? Contohnya kayak kemarin itu" sahut Reno.

Mungkin dada Reno terasa sesak ketika mengucapkan itu, namun ia harus mengungkapkan kekesalannya kepada Sigit. Reno rela mengikuti semua perkataan Sigit karena ia cinta dan sayang, namun sayangnya Sigit tidak membalas itu semua.

"Apa kamu nggak percaya kalau saya beneran sayang dan cinta sama kamu Ren?" ucap Sigit memelas.

Reno melipat kedua tangannya di depan dada, ia menatap sinis ke Sigit. "Nggak, aku nggak percaya."

"Terus gimana cara biar kamu percaya kalau saya sayang dan cinta sama kamu?"

"Kalau Pak Sigit cinta sama aku, harusnya Pak Sigit tau kalau aku sakit hati sama ucapan Pak Sigit waktu itu." Reno berdiri dan mengepalkan tangannya, ia berjalan ke arah Sigit dengan mata yang sudah berkaca. "Apa nggak ada niat sedikitpun untuk minta maaf sama aku Pak? Apa Pak Sigit segitu gengsinya untuk minta maaf sama aku?"

Kata-kata Reno seperti tombak tanpa wujud yang menembus dada Sigit. Dadanya terasa sesak, terlebih yang berkata seperti itu adalah Reno. Namun Sigit tau kalau ia bersalah karena belum meminta maaf sama sekali kepada Reno.

Perlahan Sigit berjalan ke arah Reno yang berdiri di hadapannya. Meski Reno terlihat masih marah dan menatap tajam kepada dirinya, Sigit tidak mempedulikannya. Lalu Sigit melebarkan tangannya dan memeluk erat tubuh Reno.

"Maaf Ren, maafin saya. Saya beneran nggak bermaksud untuk bilang kayak gitu" ucap Sigit tulus.

Mendengar suara lembut Sigit, membuat air mata yang sudah ditahan oleh Reno lolos begitu saja. Tangannya bergerak secara alami memeluk tubuh Sigit dengan erat, sampai-sampai air mata Reno membasahi seragam guru olahraganya itu.

Tangisan Reno membuat Sigit merasa bersalah, sehingga ia semakin mendekap muridnya itu ke tubuhnya. Perlahan tubuh Reno diangkat oleh Sigit ke ruangan belakang, lalu Sigit duduk di kursi dan Reno duduk di pangkuannya.

"Saya minta maaf karena bikin kamu sakit hati. Maafin saya ya Ren?"

Reno melihat Sigit dengan matanya yang masih berlinang air mata, lalu ia mengangguk. "I-iya, a-aku maafin Pak Sigit" balas Reno.

Beberapa menit kemudian, Reno dan Sigit masih berposisi seperti tadi. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mereka, mereka hanya meresapi kehangatan dari pelukan mereka itu.

Reno yang tadinya menangis pun sudah berhenti, perasaannya benar-benar lega setelah memaafkan orang yang disayanginya itu. Semua yang dilakukan Reno hanya menurut kepada kata hatinya saja.

"Kamu mau pulang atau gimana Ren? Nanti saya bilang ke wali kelas kamu kalau mau izin" tanya Sigit khawatir.

Reno menggelengkan kepalanya. "Nggak usah Pak, lagian kan hari ini pulang cepet."

"Terus mau di sini aja?"

"Em, maunya sih gitu. Tapi aku ke kelas aja deh Pak, Icha pasti nungguin aku."

"Yaudah, saya anter ke kelas ya?"

"Nggak usah Pak, aku bisa sendiri."

Sigit menganggukkan kepalanya, ia pun bangkit dan berjalan perlahan ke ruangan depan sambil menggendong Reno. Namun ketika sudah sampai di ruangan depan, Sigit berhenti sejenak sebelum membuka pintu ruang OSIS yang dikuncinya tadi.

"Jadi gimana Ren? Kamu maafin saya?" tanya Sigit memastikan lagi.

"Iya Pak, aku maafin Pak Sigit. Maafin juga kalo aku udah ngebentak dan ngomong kasar sama Pak Sigit." Reno memberikan senyuman manisnya.

"Kamu nggak salah. Terima kasih udah mau maafin saya" balas Sigit sambil mengulas senyum juga.

Setelah mengatakan itu, wajah mereka berdua semakin mendekat hingga kening mereka bersentuhan. Lalu, bibir mereka ikut bersentuhan satu sama lain untuk memberikan sebuah ciuman yang belum mereka rasakan lagi selama beberapa hari ini.

Reno memejamkan matanya, meresapi ciuman dan juga lidah mereka yang saling bersentuhan. Begitupun dengan Sigit, ia juga memejamkan matanya untuk menikmati dan juga memberikan kenikmatan dengan permainan lidahnya.

Selesai berciuman mesra, Reno turun dari Sigit yang masih menggendongnya. Kemudian ia membuka kunci pintu ruang OSIS, tapi belum membuka pintunya. Kembali Reno melihat ke guru kesayangannya itu.

"Aku sayang Pak Sigit" ucap Reno tulus.

"Saya juga sayang kamu Ren" balas Sigit dengan tulus juga.

Reno tersenyum, lalu ia keluar dari ruang OSIS untuk menuju ke kelasnya. Bel masuk sudah berbunyi, jadi koridor sekolah cukup sepi. Tentu itu adalah hal yang bagus, karena Reno tidak perlu takut ada yang bertanya jika ada yang memperhatikannya karena matanya cukup merah.

Sebelum ke kelas, Reno terlebih dulu ke kamar mandi untuk membilas wajahnya dengan air agar tidak mata merahnya agak tersamarkan. Setelah itu, barulah ia berjalan kembali menuju ke kelas.

Di depan kelas, Icha sudah menunggu dengan cukup gelisah. Mengingat tubuh Sigit dan besar dan tubuh Reno yang tidak seberapa, ada perasaan takut kalau sahabatnya kenapa-napa. Namun semua rasa takut itu hilang, ketika ia melihat Reno berjalan di ujung koridor.

"Lu nggak papa kan? Bilang gue kalo lu diapa-apain sama tuh beruang!" Ekspresi wajah Icha terlihat serius namun juga khawatir, membuat Reno sedikit bingung harus bereaksi seperti apa.

"Beruang? Beruang siapa dah?" Reno bingung karena tidak tau siapa yang dimaksud oleh Icha.

"Pacar lu, kan badannya gede kayak beruang" jawab Icha dengan wajah yang masih serius.

Seketika saja Reno terkekeh ketika membayangkan Sigit dengan beruang. Terbilang mirip sih, namun badan Sigit tidak sebesar beruang asli.

Dengan senyum, Reno merangkul sahabatnya itu. "Nggak papa, udah mendingan. Kita udah baikan lagi, jadi masih lanjut hehe..."

Icha menatap kesal ke Reno. "Kemaren aja nangis-nangis, sekarang senyum mulu" cibir Icha. "Tapi gue ikut seneng deh kalo lu udah baikan, nggak tega gue ngeliat lu nangis tersedu-tersedu gara-gara patah hati."

"Hehe." Reno menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia tau karena ia sudah merepotkan Icha. "Makasih banyak ya Cha udah mau gue repotin, gue janji bakal bales semua kebaikan lu."

~ ~ ~

Malam harinya, Reno sedang duduk santai di depan kamar kostnya sambil minum secangkir teh hangat bersama dengan Danu. Senyuman Reno tidak bisa disembunyikan, lantaran ia sangat senang hari ini.

Melihat Reno yang terus-menerus tersenyum, tentu membuat Danu penasaran. Setelah menyeruput sedikit teh hangat dari cangkir, Danu melirik ke Reno. "Kenapa Ren? Senyum-senyum terus daritadi? Kesurupan?" tanya Danu.

Reno menoleh, lalu meninju pelan lengan kekar Danu. "Enak aja" sahutnya. "Lagi seneng aja sih Pak, karena masalah remaja yang kemarin aku cerita sama Pak Danu itu udah selesai. Alhamdulillah udah nggak ada masalah lagi."

Danu menganggukkan kepalanya, sambil mengingat-ngingat karena ia sedikit lupa dengan apa yang diceritakan Reno kemarin. "Syukur deh kalo gitu."

Saat sedang asik mengobrol, hp Reno tiba-tiba menyala karena ada panggilan masuk dari Icha. Sontak Reno langsung mengambil hp miliknya lalu berdiri.

"Siapa tuh?" ledek Danu.

"Temen aku, bukan pacar tau" sahut Reno. "Aku angkat dulu ya Pak."

Reno berjalan perlahan menjauh dari Danu meski hanya beberapa langkah saja. Setelah itu ia menjawab panggilan masuk tadi, dan panggilan mereka pun terhubung.

"Ren! Ren!!!" Terdengar suara Icha agak nyaring, sehingga Reno menjauhkan sedikit hp dari telinganya.

"Kenapa sih? Ngapain teriak-teriak?" tanya Reno agak kesal.

"Ah maaf. Tapi ini, Pak Sigit..." ucap Icha pelan, berbeda dengan sebelumnya.

Mendengar suara Icha yang gemetar dan menyebutkan nama Sigit, membuat jantung Reno berdebar lebih cepat. Perasaan khawatir dan cemas langsung melandanya. "Kenapa Cha?" sahut Reno dengan pelan juga.

"Tadi pagi lu bilang kalau lu udah baikan terus balikan juga sama Pak Sigit kan? Tapi kok..." ucap Icha menggantung.

"Tapi kenapa?" Reno semakin penasaran karena Icha berbicara setengah-setengah.

"Aduh gue nggak enak ngomongnya. Sebelumnya gue cuma bilang kalau gue nggak ada maksud untuk misahin lu dari Pak Sigit ya, tapi gue nggak mau lu disakitin lagi sama laki-laki brengsek itu. Mending lu liat foto yang gue kirim, liat sekarang juga." Setelah itu, panggilan terputus karena ditutup sepihak oleh Icha.

Reno menelan ludahnya, karena ia yakin Icha tidak mungkin bercanda kalau sudah seperti itu. Dengan perasaan gelisah dan juga takut, Reno membuka foto yang dikirimkan oleh Icha.

Mata Reno terbelalak kaget, dadanya terasa sangat sakit dan kepalanya pusing setelah melihat foto itu. Sampai-sampai tubuh Reno terasa lemas dan ia menjatuhkan hpnya ke lantai.

Reno tidak percaya, namun ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Foto yang dikirim Icha adalah foto Sigit yang sedang berjalan-jalan di mall, namun Sigit digandeng oleh perempuan berambut panjang.

* * *