Chereads / A Boy and His Beloved Man(s) / Chapter 10 - Perlu bicara serius

Chapter 10 - Perlu bicara serius

Reno benar-benar kaget saat Icha melontarkan pertanyaan itu, ia sampai terbatuk karena tersedak oleh ludahnya sendiri. Segera Reno memang tampang wajah jijik, agar kedua temannya itu yakin kalau Reno tidak seperti yang dirumorkan.

"Gila lu! Amit-amit!" Reno mengetuk kepalanya dan juga meja bergantian dengan tangannya yang dikepalkan, sontak saja ia melakukan itu. "Yakali gue mantap-mantap sama Pak Sigit!"

Icha terkekeh, lalu ia tersenyum sambil menampilkan deretan giginya. "Ya kan siapa tau. Lagian lu jalan ngangkang begitu, kirain abis ditusuk" ucap Icha.

"Cha, gue ini cowok. Masa gue pacaran sama cowok juga? Mana cowoknya Pak Sigit lagi" sahut Reno. "Kalo gue nembak dia yang ada bukan diterima, malah diulek nanti sama dia" sambungnya.

Icha dan Yoga pun tertawa terbahak karena itu, Reno juga menerbitkan senyum manisnya itu. Sebenarnya Reno mengatakan itu bukan secara asal, melainkan itu benar-benar isi hatinya.

Reno sangat yakin kalau di dunia ini tidak ada yang mau terlahir sepertinya, mempunyai kelainan. Mungkin Reno beruntung karena terlahir sebagai laki-laki dengan wajah yang tampan, namun ia kurang beruntung karena ia menyukai laki-laki yang tampan juga.

Sama halnya dengan perkara menyatakan cinta kepada Sigit. Reno tau kalau Sigit itu laki-laki tulen, yang masih suka dengan wanita. Kalau Reno nekat menyatakan cinta kepada Sigit, ia yakin dirinya akan babak belur kurang dari satu menit setelahnya.

Reno menghela napas gusar, pikirannya semakin membuatnya bingung.

Entah mengapa Reno tiba-tiba saja kepikiran kepada kedua orang tuanya. Mereka sudah sangat baik dan berjuang mati-matian untuk menafkahi dirinya, Reno pun selalu berusaha menjadi anak berbakti dan menurut kepada orang tuanya.

Namun apa jadinya jika kedua orang tua Reno tau akan orientasi seksualnya yang menyimpang?

Membayangkan wajah kecewa kedua orang tuanya saja sudah membuat dada Reno terasa sakit. Ia hanya berharap agar kelainannya ini segera hilang, atau jangan sampai kedua orang tuanya tau akan kelainannya ini.

Sementara itu, Sigit yang berada di ruang OSIS, sedang tiduran terlentang di matras yang berada di ruangan tersebut. Pikirannya melayang, membayangkan kejadian malam itu bersama Reno. Sampai saat ini dirinya benar-benar bingung harus bersikap bagaimana kepada Reno.

Sigit memang marah karena Reno menciumnya dan juga mencintainya. Ia marah karena tidak menyangka first kissnya diambil oleh laki-laki yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, bahkan laki-laki itu jatuh cinta kepadanya.

Tidak mungkin sekali baginya untuk memukul Reno, menghajarnya sampai babak belur agar anak itu kapok. Bukannya kapok, malah bisa-bisa membuatnya dipenjara karena melakukan tindak kekerasan.

Semenjak kejadian itu, Sigit pun menyadari kalau Reno yang pendiam menjadi jauh lebih pendiam. Mulutnya benar-benar terkunci, seperti tidak bisa berbicara layaknya orang bisu. Bahkan senyuman manis Reno pun seperti lenyap, padahal ia tau kalau Reno sangat murah senyum kepada siapapun.

Saat sedang memikirkan itu, suara pintu ruang OSIS yang dibuka membuatnya terbangun. Sigit pun bangkit lalu melihat siapa yang masuk.

"Ratna, ada apa?" tanya Sigit kepada Ratna, guru sekaligus temannya yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.

Ratna tersenyuman kepada Sigit, lalu memberikan beberapa berkas yang dibawanya kepada Sigit. "Nih, suruh ngisi berkas lagi" ucap Ratna.

Sigit menghela napas panjang, kepalanya langsung pusing saat melihat tebalnya berkas itu. "Berkas apa lagi? Perasaan kemarin baru ngisi beginian juga?" tanya Sigit.

"Ya nggak tau, protes sono sama Kepala Sekolah" sahut Ratna.

Kemudian Sigit berjalan ke ruangan belakang, lalu melemparkan berkas itu di meja yang ada di sana. Setelah duduk, Sigit memijat lembut keningnya sendiri.

Manik mata Sigit masih melihat Ratna yang bersandar di kusen pemisah antara ruangan depan dan belakang. Ia juga menyadari kalau Ratna sedang tersenyum sambil memperhatikannya.

"Kenapa senyum-senyum? Sakit jiwa?" tanya Sigit kesal.

"Galak, kayak biasa" ledek Ratna. Lalu ia menghampiri Sigit dan duduk di kursi yang ada di dekatnya. "Oh iya, jadi lu beneran udah jadian sama murid yang namanya Reno itu ya?" tanya Ratna tanpa basa-basi.

Sigit mengerutkan keningnya, menatap Ratna dengan sebelah alisnya yang dinaikkan. Sudah pusing dengan kondisi Reno dan juga pekerjaannya, sekarang harus pusing dengan rumor baru lagi? Itulah yang dipikirkan Sigit.

"Ada rumor apa lagi emangnya?" tanya balik Sigit.

"Rumor yang bilang kalau kalian pacaran? Soalnya foto kalian lagi berduaan di pantai udah nyebar dan seisi sekolah kayaknya udah tau soal itu" jelas Ratna.

Mendengar itu, Sigit kembali membuang napas beratnya. "Boleh liat fotonya?" ucap Sigit malas.

Ratna mengangguk, lalu mengeluarkan hp miliknya. Setelah mendapat foto yang dimaksud, ia langsung menunjukkan foto itu kepada Sigit. Hanya butuh beberapa detik bagi Sigit untuk melihat dua foto yang tersebar.

"Jadi bener lu pacaran sama Reno?" tanya Ratna lagi, karena pertanyaannya itu belum dijawab.

"Kalau saya pacaran sama Reno, nggak mungkin jalan-jalannya ke pantai Ancol. Tuh anak pasti saya ajak ke luar negeri, kalau perlu saya nikahi" tegas Sigit. "Lagian ada-ada aja rumornya, lebih parahnya lagi banyak yang percaya" sambungnya.

"Abisnya Reno di sini kayak lagi mesra-mesraan sama lu? Sender-senderan gitu" sahut Ratna. "Lagian tumben banget lu ngajak murid jalan-jalan? Biasanya paling ogah urusan sama murid?"

"Emangnya salah kalau saya ajak Reno jalan-jalan?" tanya Sigit cuek.

"Ya nggak sih" jawab Ratna.

"Terus kenapa kamu ikut mempermasalahkan rumor kayak gitu?" balas Sigit. "Yang ngambil foto dan nyebarin juga lancang, nggak tau etika. Saya yakin yang ngambil foto itu perempuan, saya juga yakin perempuan itu sengaja sebarin rumor nggak jelas karena cemburu" tegas Sigit.

Ratna yang mendengar jawaban dari Sigit hanya mengangguk-angguk, karena jawaban dari Sigit sangat masuk akal. "Bener juga. Lu kan guru terganteng di sekolah, terus Reno murid terganteng di sekolah. Iya-iya, bisa jadi yang nyebarin itu perempuan yang cemburu" ucap Ratna setuju.

Sigit tidak menjawab atau menanggapi lagi. Pikirannya sudah terlalu pusing untuk memikirkan hal sepele seperti rumor tidak jelas itu.

Ketika matanya kembali memandang berkas yang diterimanya tadi, tiba-tiba saja ia teringat oleh Reno. Biasanya Reno selalu membantunya kalau ada urusan seperti ini, tapi sekarang sepertinya tidak agak sulit agar Reno mau membantunya lagi.

Karena memikirkan itu, akhirnya pikiran Sigit terfokus lagi kepada Reno.

Sigit berpikir kalau hari ini memang waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan Reno. Jadi ia memutuskan untuk menemui Reno sepulang sekolah nanti.

~ ~ ~

Pukul 9.15, bel istirahat berbunyi dengan nyaring. Namun seperti tidak ada gunanya, karena semenjak pagi tadi tidak ada guru yang masuk dan murid sudah banyak yang keluar menuju kantin. Hujan deras membuat kegiatan belajar mengajar menjadi tidak kondusif, terlebih murid yang datang bisa dibilang hanya setengah dari yang seharusnya.

Di kelas Reno seharusnya ada 36 murid, namun yang masuk hari ini hanya ada belasan murid. Kelas yang biasanya ramai karena murid di kelas Reno terbilang bar-bar, kini menjadi sangat sepi. Tentu hal ini dimanfaat sangat maksimal oleh murid, contohnya untuk tidur.

Kini Reno, Icha, dan Yoga sedang makan bersama sambil mengobrol santai. Ada beberapa murid lain juga yang ikut nimbrung, membuat makan bersama mereka lebih menyenangkan lagi.

"Ini belum boleh pulang apa ya?" ucap Ridwan, salah satu teman sekelas Reno yang jati dirinya terdiri dari 70% laki-laki dan 30% perempuan. Dirinya agak gemulai, namun tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar.

"Kayaknya udah boleh? Tapi masih ujan juga, mending di sini dulu. Kan nggak belajar" sahut Jeki, teman sekelas Reno sekaligus teman SMP Icha. Reno pun cukup akrab dengan Jeki yang nama aslinya adalah Zacya.

"Kalau boleh mandi ujan, gue udah lari-lari ke lapangan dari tadi dah" imbuh Icha.

"Gue juga mau mandi ujan kali. Tapi ngeri, banyak geledeknya" sahut Reno.

Cuaca memang kurang bersahabat, karena hujan sudah mengguyur selama lebih dari 3 jam. Untungnya sekolah Reno berada di kawasan bebas banjir, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Selesai makan, Reno dan teman-temannya mengobrol santai sambil bernyanyi-nyanyi. Sesekali mereka juga bercerita tentang hantu-hantu, sampai membicarakan guru-guru yang ada di sekolahnya.

Beberapa saat kemudian, pintu kelas diketuk oleh seseorang. Suara berat dari orang itu membuat murid yang ada di kelas langsung menengok ke arahnya.

"Assalamualaikum" ucap orang itu.

"Waalaikumsalam" balas murid kelas.

Mendengar suara berat itu saja, Reno sudah tau siapa orangnya. Suara berat nan seksi itu, sudah pasti suara dari guru olahraga yang dicintainya itu. Namun kali ini, Reno berusaha tidak mempedulikan itu. Sebenarnya ada perasaan takut juga, saat Reno melirik Sigit dan Sigit juga melirik ke arahnya.

Sesampainya di depan kelas, Sigit menyandarkan bokongnya di meja guru. "Maaf mengganggu jam kosongnya murid-murid sekalian. Boleh saya pinjam Reno sebentar?" ucap Sigit dengan senyumnya.

Semua teman-teman Reno sontak menengok ke arah Reno. "Boleh Pak!" ucap mereka bersamaan.

Sigit kembali menerbitkan senyumannya. "Saya tunggu di depan ya Ren" ucap Sigit datar. Lalu ia berjalan keluar dari kelas itu.

Dengan perasaan malas dan juga takut, Reno berjalan perlahan ke luar dari kelasnya. Di sana Sigit sudah menunggu dengan kedua tangannya yang dilipat di dadanya.

Tepat sebelum Reno bertanya kepada Sigit, tiba-tiba saja Sigit memulai pembicaraannya.

"Temui saya di ruang OSIS pukul 10. Kita perlu bicara serius" tegas Sigit. "Saya tunggu, terima kasih" ucapnya datar, lalu pergi begitu saja meninggalkan Reno tanpa memberinya kesempatan untuk bicara sepatah kata pun.

Reno terdiam, jantungnya tiba-tiba saja berdebar lebih cepat. Seketika rasa cemas dan takut langsung menghantuinya.

* * *