Chereads / A Boy and His Beloved Man(s) / Chapter 11 - Pembicaraan Reno dan Sigit

Chapter 11 - Pembicaraan Reno dan Sigit

Dengan perasaan yang campur aduk, Reno berjalan kembali ke dalam kelasnya. Rasa cemas yang mendominasi dirinya, membuatnya tidak menghiraukan rasa sakit ketika ia berjalan.

Terlihat teman-teman Reno sudah kepo mengenai apa yang diobrolkan oleh Reno dan Sigit barusan.

"Pak Sigit ngomong apa Ren?" tanya Icha.

Reno menjatuhkan bokongnya di kursi, lalu ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu itu. "Biasa, minta gue dateng ke ruang OSIS" jawab Reno malas.

"Mau ngapain sih Pak Sigit? Perasaan sering bareng nyuruh lu ke ruang OSIS?" sahut Ridwan.

Reno menaikkan kedua pundaknya. "Nggak tau. Abis ngomong minta ketemu, dia langsung nyelonong pergi gitu aja."

Meski dari dulu sudah ada rumor tentang dirinya dan juga Sigit, tapi teman-teman Reno tidak pernah mengambil pusing akan hal itu. Terkadang malah itu menjadi bahan candaan mereka, dan Reno yang sudah akrab dengan mereka pun menanggapinya dengan candaan juga.

Lagipula teman-temannya juga tau sekali seberapa baik dan cueknya Reno kalau di sekolah, termasuk juga dengan kepopuleran Reno yang banyak mengambil hati para wanita di sekolahannya. Kalau Reno mau, pasti ia sudah memilih salah satu dari perempuan yang menyukainya. Seperti itulah pikiran mereka.

Reno merasa beruntung, karena ia mempunyai model teman-teman yang blak-blakan dan tidak bermuka dua. Kalau ada yang tidak suka, mereka pasti akan bilang secara langsung tanpa membicarakan di belakang. Meski sakit hati, yang penting mereka sudah jujur. Ini berlaku untuk semua teman-temannya dan juga diri Reno sendiri.

Dengan posisi yang masih bersandar di kursi, Reno perlahan memejamkan matanya dan juga memijat lembut keningnya sendiri. Perasaannya tidak karuan, karena bisa saja Sigit akan marah besar kepadanya.

~ ~ ~

Pukul 9.50 pagi, murid-murid berhamburan pulang karena hujan sudah mereda namun masih gerimis. Sekolah yang sepi membuat pihak sekolah memutuskan untuk meliburkan dahulu kegiatan belajar mengajar pada hari ini.

Terlihat Reno sedang membereskan tasnya, sambil sesekali menoleh ke jam dinding yang ada di kelas. Kini di kelas hanya ada Reno dan Icha, murid yang lain sudah pulang terlebih dahulu beberapa menit yang lalu.

"Lu ke Pak Sigit dulu jadinya Ren?" tanya Icha, yang sudah memakai tas di pundaknya.

"Iya, kalau nggak dateng malah dihukum nanti" sahut Reno.

"Yaudah, mau bareng ke bawahnya?" tanya Icha lagi.

Reno menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, gue mau ke toilet dulu soalnya. Lu duluan aja" jawab Reno berbohong. Tujuannya tentu agar Icha tidak semakin curiga dengan gaya jalan Reno yang sedikit mengangkang. Meski Icha sudah percaya kalau Reno jatuh dari kamar mandi, Reno tetap melakukan itu untuk meminimalisir resiko yang ada.

Icha menganggukkan kepalanya. "Yaudah, semoga selamat deh lu dari mode ngamuknya Pak Sigit" ucap Icha.

Mereka berdua pun tos ala-ala teman akrab, yang sudah menjadi kebiasaan mereka setiap kali pulang sekolah.

"Hati-hati Cha" ucap Reno. Icha hanya menanggapi dengan senyum tipisnya, lalu ia pergi meninggalkan Reno sendirian di kelas.

Reno menghela napas gusar, pikirannya benar-benar tidak tenang karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Sigit. Saat memegang dadanya sendiri, detak jantungnya berdebar sangat cepat.

Dengan perasaan ragu, Reno berjalan perlahan menuju ke ruang OSIS untuk menemui Sigit.

Di depan ruang OSIS, entah mengapa perasaan Reno semakin tidak enak. Ia melihat hp miliknya, dan waktu sudah menunjukkan pukul 9.59 pagi. Karena ia tau kalau Sigit sangat benci dengan yang namanya telat, makanya Reno memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan tersebut.

"Assalamualaikum" ucap Reno setelah mengetuk pintu. Lalu dirinya langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu.

Udara terasa sangat dingin di dalam, membuat suasana semakin tidak nyaman. Dengan langkah yang tidak pasti, Reno kembali berjalan menuju ke ruangan bagian belakang.

"Pak Sigit?" Reno menyibakkan gorden penghalang, lalu ia menemukan sosok yang ia cari.

Terlihat Sigit sedang duduk dan sibuk dengan laptopnya, terlihat rahangnya mengeras karena pantulan dari cahaya laptop itu sendiri. Hal itu membuat Reno menelan ludahnya berkali-kali.

"Duduk" ucap Sigit tanpa menoleh.

Sudah mendengar suara berat dari gurunya itu, Reno tidak bisa membantah sama sekali. Dengan ragu, Reno duduk di kursi yang menghadap persis ke arah Sigit duduk.

Berada di dekat Sigit memang menjadi kesukaan Reno, tapi kali ini rasanya jauh berbeda. Reno merasa suasana sangat canggung, aura yang keluar dari Sigit pun rasanya tidak bagus. Jadi Reno hanya menunduk sambil mengepalkan tangan di atas pahanya.

Meski tidak melihat ke arahnya, tapi Reno bisa merasakan kalau Sigit sudah berganti posisi menjadi menghadapnya.

"Ren, liat saya" ucap Sigit datar, namun Reno malah menggelengkan kepalanya. "Saya nggak mau bentak kamu ya Ren" ucap Sigit lagi.

Dengan perasaan penuh keraguan, Reno menaikkan kepalanya. Lalu ia membuka matanya, menatap langsung ke mata Sigit.

Terlihat jelas kalau wajah Reno sedang ketakutan, sementara wajah Sigit seperti sedang menahan emosinya. Karena Reno tau seberapa galak Sigit kalau marah, jadinya ia terus menatapnya meski perasaan takut tidak bisa dihindari lagi.

"Kamu kenapa? Saya chat kamu nggak bales, saya telepon kamu nggak angkat. Apa hp kamu rusak?" tanya Sigit.

"A-anu, i-itu..."

"Apa kamu marah sama saya Ren? Marah karena kamu sudah saya gagahi malam itu?" tanya Sigit kembali, namun dengan nada yang lebih tenang. "Bukannya harusnya saya yang marah sama kamu?" sambungnya.

Reno terdiam mendengar perkataan Sigit. Dirinya benar-benar merasa bersalah karena sudah melakukan hal seharusnya tidak ia lakukan. Terlebih ia melakukan itu kepada gurunya sendiri.

"Ma-maaf Pak Sigit, maaf. A-aku takut..."

"Takut apa?"

"Aku takut Pak Sigit marah, aku takut Pak Sigit jijik sama aku karena tau kalau aku ini punya kelainan."

Terdengar Sigit terkekeh. "Saya tau soal itu, saya tau soal keunikan kamu itu" ucap Sigit. "Kalau kamu bukan murid kesayangan saya, saya yakin kamu udah saya hajar habis-habisan di sini Ren" sambungnya.

Air mata Reno mengalir saat Sigit mengatakan itu. Ia sudah menduga Sigit akan marah kepadanya, mungkin saja setelah ini Sigit akan menjauhi Reno karena jijik.

Namun ada perasaan lega karena Sigit tidak menyebut 'kelainan', melainkan 'keunikan'. Meski hanya sedikit, namun kata itu memberikan Reno sedikit ketenangan. Itu berarti Sigit memang sayang kepadanya.

"Saya udah 30 tahun lebih Ren, saya juga mau nikah kayak yang lain. Tapi karena kejadian malam itu, saya jadi terus kepikiran. Sekarang saya udah nggak perjaka lagi" jelas Sigit. "Karena kejadian malam itu juga, saya juga udah ngambil keperawanan kamu. Saya nyesel, saya harap kamu mau memaafkan saya soal itu" sambungnya.

Reno mengusap air mata yang mengalir di pipinya, lalu berusaha tersenyum kepada Sigit. "Pak Sigit nggak perlu minta maaf, aku yang salah di sini. Maaf, karena aku jadinya perjaka Pak Sigit hilang. Aku harap Pak Sigit lupakan soal malam itu, malam yang seharusnya nggak pernah ada" ucap Reno. "Aku permisi Pak, maaf kalau kehadiran aku yang nggak normal ini mengganggu kehidupan normal Bapak." Reno langsung berdiri dari duduknya, lalu ia berjalan keluar.

Baru beberapa langkah Reno berjalan, tiba-tiba saja Sigit menggenggam lengan Reno dengan erat. "Kamu pikir saya bisa lupain gitu saja soal malam itu Ren?! Apa begini cara kamu menyelesaikan masalah?!" ucap Sigit dengan nada agak tinggi.

"Terus aku harus gimana Pak?! Apa aku harus terus ngejar-ngejar Pak Sigit yang jelas-jelas nggak cinta aku?! Apa aku harus terus kagum sama Pak Sigit yang jelas-jelas malah bikin aku semakin cinta sama Pak Sigit?!" balas Reno dengan nada yang tak kalah tinggi.

"Saya ngajak kamu ngobrol supaya kita bisa cari jalan keluarnya!" bentak Sigit keras, membuat wajah Reno menjadi ketakutan. "Oke?" sambungnya lagi dengan nada yang lembut.

Reno mengangguk. "O-oke" jawabnya.

Dengan dituntun oleh Sigit, Reno kembali duduk ke tempatnya tadi. Lalu Sigit menarik kursinya hingga lutut mereka saling bersentuhan.

Menghela napas berat, akhirnya kembali Sigit hembuskan lagi. Mereka berdua pun saling tatap dengan sendirinya, wajah mereka mengekspresikan perasaan mereka saat ini.

"Bisa ya Ren kita ngomong baik-baik?" tanya Sigit.

Reno hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.

"Saya tau kamu merasa bersalah karena sudah melakukan itu ke saya, merangsang saya sampai saya hilang kendali. Tapi saya juga merasa bersalah karena saya nggak bisa kontrol diri saya, yang berujung malah saya setubuhin kamu" ucap Sigit. "Kalau kamu perempuan, pasti sekarang kamu sudah saya nikahi. Tapi kamu laki-laki, saya nggak mungkin melakukan itu" sambungnya.

Ekspresi bersalah dan menyesal di wajah Sigit, membuat Reno merasa lebih bersalah lagi. Padahal ia yang memulai, namun Sigit malah mau ikut tanggung jawab atas perbuatannya itu. Namun entah mengapa itu membuat Reno semakin jatuh hati kepada Sigit.

"Kamu maunya kita gimana sekarang Ren?" tanya Sigit serius.

Reno menghela napas, lalu ia menatap Sigit dengan matanya yang berair. "Meski aku tau Pak Sigit nggak akan balas cinta aku, tapi aku mau terus ngeliat Pak Sigit. Aku masih mau bantuin Pak Sigit ngerjain ini itu, aku mau Pak Sigit terus ngandelin aku" ucap Reno. "A-aku... aku mau bareng Pak Sigi terus, walau aku tau itu mustahil" sambung Reno dengan kepala menunduk.

Sigit membuang napasnya gusar, pikirannya benar-benar kacau kalau sudah seperti ini.

Beberapa menit, ruangan itu terasa sangat sunyi dengan udara dingin karena hembusan angin dari AC. Reno juga masih menunduk, sesekali mengusap air matanya yang terjatuh. Sementara Sigit sedang bingung memikirkan perkataan Reno.

"Malam itu kamu bilang kalau kamu cinta sama saya Ren. Apa sekarang kamu masih cinta sama saya?" tanya Sigit memecah keheningan.

Reno mengangguk, yang mengartikan kalau ia masih cinta dengan guru olahraganya itu.

"Seberapa besar cinta kamu ke saya Ren?"

"Em, nggak tau Pak, ini pertama kali aku jatuh cinta sama seseorang. Yang jelas, aku bener-bener cinta dan sayang sama Pak Sigit" jelas Reno.

Perlahan Reno menaikkan kepalanya, menatap lagi kepada Sigit. Lalu secara perlahan, Sigit mendekatkan wajahnya ke wajah Reno.

"Kalau kamu minta seperti tadi, maka saya akan turuti" ucap Sigit. "Saya akan mencoba untuk mencintai kamu dan membalas cinta kamu sebagai bukti tanggung jawab saya" jelas Sigit.

Mata Reno membulat, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sigit. Lalu ia memejamkan mata, saat bibir Sigit mendarat di bibirnya itu.

* * *