Chereads / A Boy and His Beloved Man(s) / Chapter 16 - Merasa lebih baik

Chapter 16 - Merasa lebih baik

Di kamar, Reno masih menangis, namun sudah mereda dibandingkan sebelumnya. Sementara Icha sedang membuatkan teh hangat, dengan harapan agar Reno bisa semakin tenang setelah minum minuman hangat.

Karena sudah bersahabat, tentu Icha tau seluk beluk kamar kost Reno, karena ia dan Yoga sering datang ke kost Reno. Jadi ia sudah terbiasa membuat apa-apa sendiri jika sedang main ke sini.

Saat ingin memberikan teh hangat itu kepada Reno, langkah kaki Icha tiba-tiba saja terhenti ketika dirinya melihat Reno yang sesedih itu. Sebagai sahabat, tentu Icha prihatin dengan keadaan Reno. Apalagi ini adalah pertama kalinya semenjak berteman dengan Reno, Icha melihat Reno begini.

Dengan sedikit ragu, Icha kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah Reno yang duduk di tepi kasurnya.

"Kalau mau nangis ya nangis aja, nggak ada yang salah sama cowok yang nangis" ucap Icha dengan senyum. "Tapi minum teh angetnya dulu ya? Gue yakin tenggorokan lu seret gara-gara nangis terus" lanjutnya.

Icha menatap ke Reno, dan Reno juga langsung menatap Icha. Setelah mengusap air matanya itu, Reno tersenyum kecil, lalu menganggukkan kepalanya. Satu gelas teh hangat pun langsung habis dalam sekejap.

"Mau nambah lagi? Nanti gue bikinin" tanya Icha.

"Nggak usah, udah cukup kok. Makasih ya Cha" balas Reno.

Setelah meletakkan gelas itu di meja, Icha kembali ke kasur lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur itu. Reno sudah terbiasa dengan kelakuan sahabatnya itu, jadi tidak ada masalah sama sekali.

Beberapa saat, suasana hening karena tidak ada yang membuka pembicaraan. Icha hanya menatap langit-langit kamar, sambil memikirkan bagaimana cara agar Reno tidak tersinggung karena rahasianya sudah diketahui. Sementara Reno hanya diam menatap lantai, sambil memikirkan bagaimana menjelaskan kepada Icha karena ia menangis seperti tadi.

Tiba-tiba saja Icha terkekeh sendiri, membuat Reno menoleh ke arahnya. Perlahan Icha memejamkan matanya dengan kedua tangan yang berada di atas perutnya.

"Ternyata Pak Sigit bisa bikin lu nangis sehebat itu ya Ren" ucap Icha yang masih memejamkan mata, senyuman lebar terlihat jelas di wajahnya.

Seketika saja Reno kaget karena omongan Icha barusan. Apa mungkin Icha tau tentang kebenaran soal hubungannya dengan Sigit? Entahlah, pikir Reno, Icha hanya bercanda saat ini.

"Emangnya Pak Sigit kenapa?" tanya Reno, berpura-pura tidak tau dengan yang Icha bicarakan.

"Ya nggak tau sih kenapa. Tapi gue yakin ini ada hubungannya sama pacar lu, Pak Sigit" sahut Icha, sambil menaikkan kedua alisnya meski matanya masih terpejam.

Kembali Reno kaget, pikirannya sudah kemana-mana. Kalau sahabatnya tau akan kebenaran itu, mungkin Icha tidak akan pernah mau kenal lagi dengannya.

"Siapa yang pacaran sih? Masih percaya aja sama rumor gituan" ucap Reno, ia tetap berusaha mengelak.

Sedikit kesal karena Reno yang tidak kunjung mengaku, akhirnya Icha membuka matanya lalu duduk berhadapan dengan Reno. Manik mata Icha menatap tajam ke arah Reno, tatapan menyelidik yang sama seperti pada saat itu.

Dari wajahnya, Icha berfokus pada leher Reno yang memiliki bekas biru yang terlihat jelas. Lalu dengan senyum meledek, Icha menunjuk ke leher Reno. "Terus ini apa? Dicupang sama genderuwo?" ledeknya.

Sontak Reno melihat ke arah lehernya, dan ia langsung menepuk jidatnya karena lupa soal ini. Reno diam karena tertangkap basah, bahkan ia malu menatap Icha karena wajah Icha sangat menyebalkan untuk dilihat.

"Gue udah tau tentang hubungan lu sama Pak Sigit kok Ren. Maaf, waktu itu gue nggak sengaja ngeliat chat dari Pak Sigit di hp lu" jelas Icha. "Nama kontaknya 'Pak Sigit-ku', terus ada love-love lagi di belakangnya. Alay." Icha tertawa, bermaksud untuk meledek sekaligus mencairkan suasana.

Reno kembali melihat Icha. Ekspresi wajahnya benar-benar panik, karena Icha tau persis nama kontak Sigit di hp miliknya itu. Namun ekspresi wajahnya berubah menjadi kaget, saat Icha merangkul dirinya itu.

"It's okay Ren, lu mau pacaran sama siapa ya itu hak lu. Gue sebagai sahabat selalu mendukung lu" ucap Icha, lalu menyentil pipi Reno dan melepaskan rangkulannya.

Sentilan dari Icha terasa agak sakit, jadi Reno mengusap pelan pipinya itu. Matanya masih terus terfokus pada wajah Icha yang berseri. "Lu, nggak ma-malu sama temen yang punya kelainan kayak gue?" tanya Reno.

Icha menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa malu? Malah gue bangga punya temen super duper ganteng dan pinter kayak lu" jelas Icha. "Dan lu bukan punya kelainan, melainkan keunikan. Hal kayak gitu nggak cocok disebut kelainan, itu bukan penyakit" lanjutnya.

Hati Reno merasa lega, sangat-sangat lega ketika mendengar sahabatnya berkata seperti itu. Senyuman Reno perlahan mengembang, dan matanya kembali berair karena terharu.

"Kalau mau cerita, ya cerita aja. Kalau nggak mau juga nggak masalah. Tapi yang perlu lu tau, gue akan selalu siap kalau lu butuh apa-apa" tegas Icha.

~ ~ ~

Malam harinya, Reno sudah berada di rumah Icha. Selain karena merasa bosan di kamar, Reno juga butuh teman untuk mengobrol, untuk mengeluarkan semua unek-unek yang masih ada di hatinya. Selain itu Reno juga menginap di rumah Icha malam ini, agar besok bisa berangkat ke sekolah bersama-sama.

Kini mereka berdua berada di lantai paling atas, atau mereka lebih sering menyebutnya dengan rooftop. Reno sedang tiduran di atas karpet, kedua tangannya ia gunakan sebagai bantalan, dan matanya menatap lurus ke langit malam yang cerah karena banyak sekali bintang malam ini.

Suasana dan langit malam memang hal yang selalu bikin Reno tenang, rasanya benar-benar damai jika sudah melihat langit malam dan suasana yang sunyi. Perlahan matanya terpejam, merasakan damainya malam ini.

"Jangan tidur bego, katanya mau cerita." Icha melempar tissue kepada Reno, sehingga matanya kembali terbuka.

Reno menatap sinis kepada Icha. "Ganggu aja lu ah" kesal Reno. Meski kesal, Reno tetap bangun lalu duduk berdampingan dengan Icha. Ia sudah berjanji untuk menceritakan perkara masalahnya dengan Sigit kepada Icha.

"Udah berapa lama pacaran sama Pak Sigit?" tanya Icha langsung, karena dirinya sudah kepo tentang Reno dan Pak Sigit.

"Sabar napa sih." Reno membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput susu coklat kemasan yang sudah disediakan Icha. "Sebulan kali? Ya, sekitar segitu pokoknya" jelas Reno.

Beberapa saat kemudian, obrolan berlanjut dan Reno menceritakan tentang kenapa ia bisa suka dan jatuh cinta kepada Sigit. Icha juga mendengarkan dengan sangat baik, dan tentu menanggapi sebagai bentuk kalau ia benar-benar menghargai cerita Reno.

Selama ini Reno pun begitu kalau Icha curhat kepadanya. Jadi Icha juga tidak ingin membuat sahabatnya itu kecewa, karena sampai detik ini Reno tidak pernah membuatnya kecewa sedikitpun.

Penjelasan Reno membuat Icha berpikir keras, bahkan sesekali ia menghela napas berat karena ikut-ikut pusing. Apalagi ketika Reno bercerita kalau Sigit memegang foto dan juga video mereka sedang melakukan hubungan badan, Icha benar-benar tidak mau sampai jati diri sahabatnya itu tersebar.

Namun jauh di lubuk hatinya, Icha juga merasa cemburu sekaligus kesal kepada Sigit.

"Terus kenapa sampe nangis-nangis begitu tadi? Perasaan hubungan lu baik-baik aja?" bingung Icha.

Reno menghela napasnya. "Karena semuanya palsu, Pak Sigit mau pacarin gue karena dia butuh pelampiasan nafsu aja" jawab Reno.

Yang bercerita sangat tenang, sementara yang mendengarkan cerita sangat panas.

"Bajingan banget! Besok gue temuin tuh guru!" kesal Icha.

Dengan cepat Reno mendorong kepala Icha. "Mana bisa bego, dia tuh guru bukan murid. Lagian lu temuin Pak Sigit mau ngapain? Biar jati diri gue kebongkar, dan semua tau kalo gue in gay?" tanya Reno. "Itu mah bukan memperbaiki keadaan, tapi makin memperkeruh. Bukan gue doang yang kena, tapi Pak Sigit juga kena nanti" lanjut Reno.

Mata Icha menyipit, wajahnya mengekspresikan jiijk. Bukan jijik karena Reno yang gay, melainkan jijik karena Reno masih mempedulikan guru olahraga itu yang sudah jelas-jelas cuma mempermainkannya.

"Lu masih sayang sama dia?" tanya Icha sinis.

"Kalo gue nggak sayang, kalo gue nggak cinta, gue nggak akan nangis kayak tadi" jawab Reno. "Kalo bisa, gue juga mau semua perasaan ini ilang dalam sekejap, tapi sayangnya nggak semudah itu."

"Bisa jatuh cinta juga ya lu Ren, gue kira nggak bisa" sahut Icha. "Soalnya selama ini cinta gue nggak pernah lu bales" sambungnya.

Reno langsung menoleh ke arah Icha, dan Icha juga menoleh ke arah Reno. Setelah itu Icha hanya mengulas senyum tipisnya, sambil memandangi wajah tampan Reno yang kebingungan.

"Iya, gue suka sama lu" ucap Icha, karena tau apa yang sedang dipikirkan oleh Reno. "Nggak usah banyak mikir, sekarang udah jelas kok. Gue juga nggak akan mempermasalahkan lagi" tegas Icha.

Namun perkataan Icha yang barusan tidak digurbisnya, Reno masih kaget karena ternyata Icha menyimpan perasaan kepada dirinya. Setelah satu tahun lebih bersahabat dengan Icha, kenapa Reno tak sadar-sadar?

"Cha, lu be-beneran?" tanya Reno tak percaya.

"Ya beneran" sahut Icha. "Tapi setelah tau lu kayak gitu, gue nggak bisa apa-apa kan? Nggak masalah nggak bisa pacaran sama lu, yang penting gue masih bisa sahabatan sama lu Ren."

"Maaf ya Cha, gue nggak tau."

"Iya, santai aja Ren. Malah gue lega setelah tau alasan lu nggak pernah bisa cinta sama gue, makasih udah mau cerita sama gue." Icha tersenyum kepada Reno.

Setelah itu mereka berdua bernapas lega, karena sudah mengeluarkan semua yang terpendam di dalam dirinya. Bersama terus bukan berarti harus pacaran, karena pacaran juga bisa berakhir tragis. Buktinya adalah Reno.

"Mulai besok, berangkat bareng gue ya? Misal lu nggak nginep, nanti gue samper ke kost lu. Pokoknya harus bareng, gue nggak mau guru brengsek itu apa-apain lu lagi" tegas Icha.

Dengan senyum lebarnya, Reno menganggukkan kepalanya.

Hembusan napas lega keluar dari mulut Reno. Berkat Icha, kini ia bisa merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

* * *