"Maaf bos, untuk sekarang hanya ini yang bisa aku temukan." David menyerahkan file yang tadi ia temukan saat meretas sistem suatu organisasi dengan keahliannya.
Erick mengerutkan keningnya saat melihat berkas yang ada di tangannya. "Kau meretas sistem keamanan kepolisian?" Kedua mata Erick membulat, dia tak percaya apa yang sudah anak buah yang sempat ia katakan kurang akal ini lakukan. Sepertinya kemampuan anak ini tidak bisa diragukan, batinnya. Erick melirik David dengan ekor matanya. "Apa kau tak takut?" Tanyanya lagi.
David menggelengkan kepalanya. "No. Aku tidak sebodoh itu bos. Aku sudah mengecoh mereka dengan menggunakan IP palsu saat meretas sistem jaringan keamanan mereka." Tukasnya
Erick mengangukkan kepala. "Apa ini Dav?" Erick sangat terkejut dengan apa yang sudah ia baca. "J-jadi kecelakaan Naira kemungkinan besar sudah direncanakan?" Suaranya bergetar saat ia mengetahui kalau rem pada motor Naira dengan sengaja ada yang merusaknya dan pihak kepolisan yang menangani kasus kecelakaan Naira sengaja menutupinya. Erick geram, kini kedua tangannya meremas kartas tersebut, bagaimana bisa seorang petugas yang harusnya menegakkan keadilan, kini malah menutupi suatu kebenaran, batinnya.
"Sepertinya memang begitu bos. Dari informasi yang aku dapatkan, pihak dari kepolisian menutupi fakta tersebut dari awak media. Sepertinya dalang di balik semua ini adalah orang besar yang dengan mudahnya bisa membungkam mulut orang-orang dari pihak kepolian." Imbuh David memberanikan diri, dari raut wajahnya saja dia sudah bisa menebak suasana hati bos besarnya saat ini. Jadi sebisa mungkin dia harus mengakatakan hal-hal yang tidak memancing emosinya.
Brraaaakkk, David dan Joe tersentak kaget bahkan berkas-berkas perusahaan yang akan di tandatangani Erick pun kini berserakan karena tanpa sengaja terjatuh dari genggan tangan Joe.
"Astaga Er, kau hampir saja membuatku mati karena jantungan." Umpat Joe, tentu saja dia hanya bisa mengatakan hal itu di dalam hatinya. Meski hubungan mereka adalah teman baik, tapi tentu saja dia tidak akan mengorbankan nyawanya sendiri. Jika dia berani bersuara sedikit saja saat kemarahan Erick sedang memuncak, sudah dapat dipastikan kalau Erick akan memenggal kepalanya saat itu juga.
"Karjamu bagus Dav, aku akan memberimu bonus atas hasilmu. Aku akan menunggu waktu di mana saat kau menemukan Naira dan aku akan mengabulkan semua permintaanmu." Ucap Erick tanpa menatap David. "Sekarang kalian pergilah, tinggalkan aku sendiri." Titahnya kemudian.
"Baik bos. Ah, satu lagi."
Erick mengalihkan pandangannya kearah David saat anak buahnya itu hendak mengatakan suatu hal.
"Bos tidak perlu memberiku hadiah, aku pasti akan berusaha dan memberikan yang terbaik untukmu bos. Anggap saja ini kompensasi karena bos sudah menyelamatkan hidupku." David membungkukan badannya sebelum ia meninggalkan ruang kerja Erick dan Joe mengikuti di belakangnya.
"Istirahatlah, kau sudah melakukan yang terbaik." Joe menepuk pelan bahu David untuk memberikan semangat. "Kalau kau lapar kau bisa memanggil pelayan untuk membuatkanmu makanan." Ucapnya lagi.
"Benarkan bos? Boleh aku makan apa saja yang ada dirumah ini?" Tanyanya antusias. "Dari dulu aku sangat ingin memakan daging." Timpalnya lagi.
"Apa kau mengalami kesulitan di masa lalu?" Joe mengerutkan keningnya saat melihat David begitu sangat antusis saat membicarakan soal daging.
David mengangguk. "Bisa makan saja, aku sudah sangat bersyukur bos." Sanggahnya.
"Kalau begitu kau bisa makan apapun di sini sampai kau puas." Joe menatap iba kepada sosok periang di hadapannya ini, meski dia selalu saja menampilkan senyumnya namun di dalamnya sebenarnya dia menyimpan luka.
"Leny. Berikan apa saja yang dia inginkan." Ucap Joe pada kepala pelayan saat mereka sampai di dapur.
"Baik tuan." jawab Leny sopan dengan membungkukan setengah badannya.
Tiga puluh menit berlalu namun David masih setia berkutat dengan dagingnya di meja makan. "Aaah, rasanya sangat penuh." David menyenderkan tubuhnya di kursi dan mengusap-usap perutnya yang membuncit karena makanan.
"Hah, apa kau yang menghabiskan semua makanan ini Dav?" Joe terperangah saat melihat beberapa piring kotor berjajar di atas meja di hadapan David.
"Danginya sangat enak bos." Jawab David dengan polosnya, tangannya mengelus-elus perutnya yang terlihat membengkak.
"Apa kau sudah kenyang?" David menggeleng. "Hah? kau masih belum kenyang setelah menghabiskan daging sebanyak itu?" Joe terperangah saat mendengar jawaban david.
"Hihihi, aku hanya menghabiskan 5 kg daging bos." David terkekeh.
"Hah, hanya kau bilang? Kau itu lapar atau kerasukan? Aku jadi penasaran seberapa kuat perutmu itu menampung semua makanan yang ada di mansion ini." Sarkas Joe membulatakan kedua matanya.
"Apa tuan ingin saya menyiapkan makanan?" Tanya Leny menghampiri Joe.
"Tidak perlu. Aku sudah kenyang melihat dia makan." Joe menunjuk dengan dagunya kearah David.
"Hihihi, boleh aku memintanya lagi bos? Masakannya sangat lezat." Cicitnya
"Astaga, sebenarnya kapan kau terakhir makan? Makanan sebanyak itu kau habiskan sendiri dan kau masih ingin lagi?" Joe melongo tak percaya. "Badan saja kecil tapi perutmu seperti gudang." hardik Joe.
"Baru dua hari yang lalu bos." Jawab David dengan polosnya.
"Apa sesulit itu hidupnya hingga makan saja dia sangat kesulitan." batin Joe menatap David. "Leny. Berikan semua yang dia inginkan." Joe beranjak dan memilih untuk pergi dari ruang makan. Bertahan lebih lama di sana hanya akan membuat perutnya mual.
"Dan kau, jangan sampai perutmu meledak karena kebanyakan makan." ucap Joe melirik kearah David dengan ekor matanya.
"Siap bos. Terima kasih atas makanannya." David setengah berteriak karena Joe sudah melangkah agak jauh dari tempatnya.
Ceklek, pintu ruang kerja Erick perlahan terbuka. "Er." Panggil Joe namun tidak ada jawaban. "Er, ini ada beberapa berkas yang harus kau tanda tangani." Joe mengedarkan pandangannya untuk mengamati sekitar, namun dia tidak mendapati sosok yang dia cari. Joe memilih untuk menyusun rapi semua berkasnya di atas meja kerja Erick. Joe kembali menelisik suasana sekitar, ruangan kerja yang awalnya rapi dan bersih itu pun kini sudah berubah seperti kapal pecah. Semua kaca dan vas yang terpajang, kini hancur berantakan bahkan meja, kursi dan beberapa pajangan sudah tidak pada tempatnya lagi. Secara tidak sengaja pandangannya menangkap sosok yang sedang terduduk lemah di bawah meja dengan tangan yang sudah berlumuran darah. "Astaga Er, apa yang terjadi?" Joe panik saat melihat banyaknya darah yg mengalir dari kedua telapak tangan Erick. Joe segera menyambar kotak obat yang memang sengaja ia letakkan di laci meja kerja Erick. Kemudian Joe membersihkan luka di tangan Erick dengan cairan antiseptik. Erick tidak merespon saat lukanya dibersihkan, bahkan dia terlihat tidak merasakan sakit apapun. Joe kembali membersihkan luka robeknya, lalu dipungutnya beberapa serpihan kaca yang masih tertinggal di dalam lukanya. Bukan Erick, manun Joe lah yang merinding saat membersikan luka-luka tersebut. Setelah dirasa sudah tidak ada lagi serpihan kaca yang tertinggal, Joe membalut lukanya dengan kain perban.
"Kau jangan bertindak bodoh Er. Aku tahu kau sedang sedih, tapi tolong jangan sakiti dirimu sendiri. Bagaimana jika Naira kembali, bagaimana jika dia melihatmu jadi selemah ini. Pasti dia akan sangat sedih Er." Seru Joe. Namun Erick tidak merespon, dia hanya duduk dengan pandangan yang kosong.
"Joe. Rekrut semua orang yang berpengalaman dan ahli bela diri. Aku harus membangun kekuatanku untuk menyelematkannya, sepertinya lawanku saat ini bukan orang sembarangan." Erick membuka suara namun pandangannya masih tetap kosong. "Dan pastikan tidak ada pengkhianat di sekitarku." Ucapnya lagi.
"Apa kau yakin Er?" Tanya Joe memastikan dan dijawab anggukan oleh Erick.