Mentari mulai terbangun dari tidurnya untuk menyirami bumi dengan hangatnya sinarnya menggantikan sinar rembulan yang sudah terjaga semalaman. Terlihat Mobil sport Ferrari California T berwarna merah memasuki pelataran sebuah mansion mewah.
"Astagah Er, mau sampai kapan kamu akan terus begini? Kalau sampai Naira melihatmu seperti ini, dia pasti akan sangat sedih Er." Mili bergegas mengambil kotak P3K untuk mengobati luka di wajah Erick. Namun, sebelum Mili berhasil menyentuh luka itu, Erick menepis kasar tangan Mili.
"Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri." Tukas Erick dingin dan berlalu meninggalkan Mili begitu saja.
"Mau sampai kapan kamu menyiksa diri sendiri Er." Batinnya menatap kepergian putranya.
Sesampainya di kamar, Erick langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Lalu 15 menit kemudian dia keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang terlilit sempurna di pinggangnya sehingga menampakkan dada indahnya yang berbentuk kotak-kotak. Langkah Erick terhenti saat dia mendengar ada yang mengetuk pintunya.
"Ada apa?" Tanyanya malas saat dia membuka pintu kamarnya dan mendapati Elieza di sana.
"Aku hanya ingin memberikanmu..." Mata Elieza membulat, dia tak mampu meneruskan kalimatnya kala mendapati pemandangan erotis yang menggugah hasratnya. Ya, Elieza yang tadi sempat mendengar Erick menolak untuk diobati oleh Mili, lalu dia berinisiatif untuk mendekati Erick dengan alasan memberikan kotak P3K padanya. Tapi kini pikirannya menjadi travelling saat Elieza melihat Erick hanya mengenakan handuk dan memperlihatkan dada serta perutnya yang seperti roti sobek. Entah kenapa hasratnya kembali muncul saat Erick memperlihatkan tubuh kekarnya itu. Dia memandangi inci setiap inci lekukan tubuh dan dada bidang Erick, lalu kemudian dia menelan salivanya dengan kasar saat matanya terkunci pada pada suatu gundukan di balik handuk yang dikenakan Erick.
Erick yang melihat arah pandang mata Elieza langsung menyambar kotak P3K yang berada di tangan Elieza, lalu kemudian ia segera menutup pintu kamarnya dengan keras, blaam. "Ck, matanya selalu saja tidak bisa di kondisikan." Cibik Erick kesal.
"Tidak, tidak. Aku harus lebih sabar lagi agar bisa mendapatkan hati Erick." Gumam Elieza, saat ini dia mencoba untuk menahan hasrat bir*hinya yang memuncah.
Seperti biasanya, Erick tidak ikut sarapan bersama dengan keluarganya. Kini dia lebih suka menyendiri dan mengurung diri di kamar, sesekali ia keluar kamarpun pasti dia akan pulang pagi hari dengan kondisi tubuh yang terluka.
"Apa Erick masih mengurung diri di kamarnya?" Hendri merengkuh tubuh sang istri dan mencium pundaknya, dia mengabaikan kesibukan sang istri yang sedang menata sarapan di meja makan dibantu oleh beberapa pelayan.
"Hentikan, aku tidak enak dilihat mereka." Cicit Mili melirik para pelayan yang sedang fokus dengan pekerjaannya.
"Biarkan saja, wajar kan kita suami istri." Hendri bukan melepas tangannya, malah semakin mengeratkan pelukannya bahkan dia sengaja kembali mencium tekuk dan leher Mili. Bulu kuduk Mili mendesir hebat tatkala merasakan sapuan nafas sang suami di lehernya.
"Issh, kau ini. Sudah hentikan." Mili menggeliat, dia bermaksud ingin lepas diri dari pelukan suaminya.
"Jika kau terus bergerak seperti itu, kau bahkan akan membangunkan ular yang sedang tertidur sayang." Bisik Hendri di telinga sang istri.
Braaaakkkk..
Suara sesuatu terjatuh dengan sangat keras membuat perhatian semua orang menoleh ke arah sumber suara yang mengagetkan mereka, tak terkecuali Hendri dan Mili.
"Enyah dari hadapanku, sekarang!!" Suara menggelegar Erick memenuhi seluruh ruangan mansion.
Hendri dan mili yang mendengar teriakan Erick segera berlari menaiki tangga untuk memastikan apa yang sedang terjadi dengan putranya. "Apa yang... " Kalimat Hendri tercekat saat melihat Elieza tersungkur di lantai. Apa lagi saat ini dia hanya menggunakan pakaian tipis yang hanya menutupi kedua gundukan kenyalnya dan aset pribadinya saja.
Mili membulatkan kadua matanya, bahkan mulutnya pun menganga saat mendapati kondisi Elieza yang tak berbusana lengkap, apalagi terdapat darah di sudut bibirnya bahkan pipinya pun terlihat membiru. Pasti Erick yang melakukannya, pikirnya. Erick yang dulu berbeda sekali dengan Erick yang sekarang. Kalau dulu mungkin Erick akan memilih untuk menghindar dari pada menyakiti seorang wanita namun kini berbeda, siapa saja yang berani mengusiknya pasti Erick langsung akan menghajarnya, baik itu pria maupun wanita.
"Kalian tahu, wanita jal*ng ini mencoba menggodaku lagi dengan tubuh kotornya." Kedua mata Erick menatap tajam Elieza.
***
Tiga puluh menit yang lalu.
Erick terduduk dan tengah berkutat dengan laptopnya, dia kembali mencoba untuk melacak nomer telepon Naira namun nomernya tetap tidak aktif. Jari-jemari tangannya kini mulai bergerak lincah menginjak di beberapa keyboard untuk meretas cctv di sekitar tempat terjadinya kecelakaan dan di sekitar rumah Naira, namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Naira. Sejak satu bulan terakhir, selain menugaskan seseorang, Erick juga selalu berusaha untuk menyelidiki keberadaan kekasihnya dengan mengandalkan sedikit kemampuannya yang bisa meretas CCTV namun dia tetap tidak menemukan apapun.
Erick sejenak mulai berpikir, mungkinkah kekasihnya menggunakan kekuatan teleportasinya untuk menolong dirinya sendiri? Namun jika itu terjadi, sudah dapat dipastikan kalau naira akan kembali menjadi si putri tidur karena tenaganya yang akan terkuras habis terlebih dengan kondisi tubuhnya yang terluka. Bisa jadi jika dia menggunakan kekuatan terakhirnya di saat tubuhnya lemah, dia akan tertidur cukup lama namun yang dikhawatirkan Erick adalah bagaimana jika tidak ada yang bisa menemukan dia? Sudah pasti Naira akan jadi santapan para binatang buas. Namun lain hal jika Naira ditemukan seseorang, namun orang itu justru memanfaatkan kesempatan di saat Naira sedang tidak sadar. Aarrgh, memikirkan hal itu saja membuat Erick semakin frustasi.
Di saat Erick masih bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba tanpa disadari pintu kamarnya terbuka. Elieza perlahan masuk dan mendekati Erick, dia bahkan lucuti pakaiannya sendiri dan hanya meninggalkan pakaian dalam sexy saja di tubuhnya. Bra yang sangat ketat dan tipis, menopang dua gundukan kenyalnya yang seolah terasa sesak dan saling dorong untuk menyumbul keluar dari wadahnya bahkan celana dalam yang minim, yang hanya terlihat seperti sebuah benang di antara kedua bok*ngnya menampakkan seluruh isinya, menyumbul tak terbungkus. Siapa saja yang melihat pemandangan ini, pasti dia akan sangat tergoda.
"Honey, aku sudah tidak sabar merasakan batang beruratmu menghujam milikku. " Ucapnya dengan nada sensual di telinga Erick. Elieza memeluk Erick dari belakang dengan sangat erat bahkan dengan sengaja dia mengesek-gesekan gundukan kenyalnya di punggung Erick yang memberikan sensasi hangat di punggungnya, tangannya pun tidak tinggal diam dan mulai meraba dada bidang Erick yang terlihat sangat menggoda di benaknya.
Dengan cepat Erick menahan tangan Elieza sebelum dia berhasil menyentuh pedang sukma miliknya lagi. Lalu Erick segera beranjak dari duduknya, dipelintirnya tangan Elieza ke belakang hingga membuat si empunya menjerit kesakitan.
"Aarrgh." Jerit Elieza saat tubuhnya menghantam kerasnya lantai.
Erick berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Elieza. "Beraninya kau menyentuhku lagi dengan tangan kotormu itu." Plaaakk , Plaaaakk, Plaaakk. Erick menampar pipi Elieza berkali-kali dengan keras hingga mengeluarkan sedikit darah di sudut bibirnya. Erick dengan kasar menarik serta mendorong kasar tubuh Elieza keluar kamarnya. "Enyahlah dari hadapanku, sekarang!!"
*****
"Tapi aku mencintaimu Er." Seru Elieza dibuat sendu.
"Tahu apa kau soal cinta? Bahkan kau saja tidak bisa mencintai tubuhmu sendiri!" Erick menunjuk wajah Elieza dengan telunjuknya.
"Tapi, aku rela memberikan tubuhku padamu karena aku mencintaimu. Hiks.. Hiks.. " Kini Elieza pura-pura terisak, berharap bisa meluluhkan hati Erick. Namun bukan Erick namanya jika hatinya gampang luluh.
"Ck, kau bilang memberikan tubuh?" Erick benundukan badannya dan tangannya mencengkram dagu Elieza. "Memang siapa yang mau dengan tubuh bekasmu." Erick menghrmpas kasar dagu Elieza hingga tubuh Elieza sedikit terguncang dan terhuyung kebelakang akibat hentakan tangannya.
Erick kembali masuk kekamarnya, lalu beberapa menit kemudian keluar dengan membawa tas ranselnya.
"Kau mau kemana Er?" Hendri menahan lengan Erick yang hendak melaluinya.
"Maaf Pa, Erick tidak bisa tenang jika harus terus satu atap dengan wanita jal*ng itu." Erick melirik tajam dengan ekor mata ke arah Elieza.
Dengan berat hati Hendri melepaskan tangannya, baginya percuma saja membujuk Erick saat ini karena ia tahu apa yang sudah menjadi keputusan putranya tidak akan pernah berubah. "Papa harap kau bisa jaga dirimu Er dan jangan menelantarkan kuliahmu." Hendri menepuk pelan bahu putranya untuk memberi semangat, mengingat beberpa minggu ini Erick tak bersemangat untuk melanjutkan pendidikannya karena hilangnya Naira. Lagi pula tinggal satu atap bersama Elieza pasti akan sangat membuatnya tidak nyaman, tapi Hendri tak bisa berbuat apa-apa mengingat Elieza adalah keponakannya sendiri.
"Tidak Er, kau tidak boleh pergi dari sini. Kau adalah milikku dan hanya akan menjadi milikku. Hiks.. Hiks.." Kini Elieza benar-benar terisak melihat kepergian Erick.
Mili mendekati Elieza yang terisak, lalu ia membantunya untuk menutupi tubuhnya tanpa sepatah katapun.
"Erick, aunty. Dia pergi, cepat cegah dia. Elie tidak mau dia pergi, hiks, hiks." Elieza meracau di tengah isak tangisnya.
"Sudahlah Elie, hati seseorang itu tidak bisa dipaksakan." Mili mengusap lembut punggung Elieza.
"Tapi Elie sangat mencintainya aunty."
"Percayalah. Aunty yakin, kamu akan mendapatkan jodohmu kelak."