Chereads / Wanita Superku / Chapter 9 - 9. Pelampiasan

Chapter 9 - 9. Pelampiasan

****

Matahari telah meredupkan pancaran sinarnya, membenamkan seluruh biasan cahaya yang selama ini menerangi alam semesta dan kini tergantikan dengan cantiknya pesona sinar rebulan yang ditemani dengan taburan para bintang. Terlihat seorang pria tengah berdiri di tepi jendela dengan ponsel di telinganya. "Apa kalian menemukan sesuatu?" Tanya Erick kepada seseorang di seberang telepon sana.

"Maaf tuan, kami belum menemukan apapun." Jawab seseorang di seberang sana. 

"Aaaaaaarrrrgh." Erick frustasi dan melempar ponselnya ke sembarang arah. "Kamu kemana sayang?" Serunya lirih. Sudah satu bulan ini Erick membayar sesorang untuk membantunya mencari tahu keberadaan kekasihnya, namun bak ditelan bumi Naira sama sekali tidak bisa ditemukan keberadaannya. 

"Kamu mau kemana Er?" Tanya Mili saat melihat Erick menuruni tangga dengan tergesa-gesa, namun tidak ada niatan bagi Erick untuk sekedar menjawabnya. Dia terus melangkahkan kakinya menuju pintu keluar mansion.

"Hah, sampai kapan dia akan terus begini." Mili menghela nafas panjang dan menatap kepergian putranya. 

Sebuah Mobil Ferrari California T berwarna merah membelah jalanan ibu kota, jalanan yang mulai bertambah ramai akan lalu lalang para kendaraan namun tidak menimbulkan kemacetan, hingga Mobil Ferrari merah itu dengan mudah mempercepat lajunya untuk menembus kencangnya angin malam.

Erick terus melajukan mobil sportnya itu tanpa menghiraukan lalu lalang mobil yang lain, hingga 30 menit kemudian mobilnya berhenti tepat di depan sebuh klub. Klub The Sunset, adalah tempat favorit Erick saat ini untuk melupakan sejenak semua kesedihannya. Dia menghentikan mobilnya asal, lalu melemparkan kuncinya pada pria yang bertugas di sana untuk mamarkirkan mobilnya ke tempat yang lebih aman. Erick melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan yang minim dengan pencahayaan itu, derap musik menggema di seluruh ruangan memenuhi indra pendengarannya, kemudian pandangannya tertuju pada satu kursi kosong yang terletak di ujung meja bartender sana. Erick memilih untuk duduk di sana dan memesan minumannya. Dia lebih memilh wine yang memang memiliki kadar alkohol yang rendah, karena dia datang seorang diri jadi tidak mungkin jika dia pulang dalam keadaan mabuk.

Hiruk pikuk penikmat dunia malam terlihat sangat menikmati alunan musik yang bergema, meski bagi sebagian orang terasa memekikkan di telinga, tapi tidak bagi mereka. "Hi sweety, boleh aku temani?" Seorang wanita cantik dengan tubuh ramping, buah dada sedikit berisi serta kulit coklat eksotisnya datang menghampiri Erick, dia mengenakan pakaian yang sangat minim dengan belahan dada yang sangat rendah hingga menunjukan hampir seluruh gundukan kenyal di bagian dadanya. Tangannya terjulur merengkuh dan bergelayutan manja di lengan Erick. 

"Singkirkan tangan kotormu itu." Erick melirik tajam kearah lengannya, saat wanita itu bergelayut manja di sana. 

Bukannya takut, wanita itu justru semakin berani untuk menggoda Erick. Dia malah dengan sengaja menggesek-gesekkan kedua gundukan kenyalnya di lengan kekar Erick, bahkan kini tangan sudah merangkak meraba-raba paha Erick.

"Euunnggh." Desah wanita itu di telinga Erick saat kulit kedua gundukan kenyalnya merasakan hangantnya lengan kekar Erick.

"Dasar jalang!" Umpat Erick. Wanita itu tersentak saat Erick tiba-tiba berdiri dari duduknya dan mendorong kuat tubuhnya hingga kini dia terjungkal ke belakang, bahkan rok minimnya pun tersingkap dan menampakan segitiga pengamannya yang berwarna hitam.

Semua orang yang berada di sana menatap iba kepada wanita itu, dia merupakan wanita kesekian yang mendapat perlakuan buruk dari pria dingin itu, batin mereka. 

"Sudah aku peringatkan, jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu!!" Hardik Erick lagi, kemudian dia berlalu meninggalkan klub tersebut tanpa mengindahkan semua pasang mata yang menatapnya bahkan bergunjing di belakangnya. 

"Menarik. Sepertinya pria itu sangat sulit untuk di sentuh." Tanpa Erick sadari, dari kejauhan sepasang mata indah seorang wanita yang memiliki tubuh tak kalah sexy dari wanita yang ditolak Erick tengah memperhatikannya. Wanita itu merupakan pemilik dari bangunan yang bernama The Sunset ini, sudah satu minggu ini dia mengamati Erick yang selalu berkunjung ke klub The Sunset, pria yang terkenal selalu menolak semua wanita yang hendak mendekatinya. 

Erick lebih memilih pergi dari sana dan kembali melajukan mobilnya untuk membelah kota dengan dinginnya angin malam, meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi jalanan ini masih terlihat ramai akan lalu lalang para kendaraan bermotor. Erick terus melajukan mobilnya tanpa arah, sesekali ia memandang ke arah langit yang sedang mendung dan mulai mengeluarkan tetesan-tetesan kristal berwana bening. 

"Di mana kamu sebenarnya sayang?" Seru Erick lirih, dia teringat akan kenangan-kenangannya dulu saat bersama dengan Naira. Apalagi di saat seperti ini, saat sedang turun hujan deras dengan petir yang saling bersahutan, biasanya Naira akan berlari ke dalam pelukannya dengan ketakutan karena kekasihnya itu sangat pobia dengan petir dan hujan. "Pasti kau sedang ketakutan saat ini." gumamnya lagi.

Kini tidak ada lagi Erick yang ceria dan lembut, yang ada hanya Erick V. Gaincarlo yang pendiam, dingin dan pemarah. Setiap hari dia hanya mencari ketenangan di klub langganannya dan tentunya tanpa seorang wanita bahkan hampir setiap hari juga dia selalu pulang dengan penampilan yang berantakan, tentu saja dengan bagian tubuh yang terluka. Dia selalu saja melampiaskan kekesalan dan amarahnya kepada orang-orang yang menggangunya di jalan. 

Seperti hal nya malam ini, ia terlihat sedang baku hantam dengan beberapa orang yang berpenampilan preman. Bugh, bugh, bugh terdengar pukulan demi pukulan menggema di sebuah lorong buntu yang minim mencahayaan. "Hei, bocah kau mau sok jadi pahlawan rupanya!" Salah satu preman itu bersuara, mencoba untuk menakuti Erick. 

"Cih, apa kalian semua itu pria? Beraninya kalian menindas seorang gadis kecil!" Jawab Erick dengan tenang, meski kini dia sedang berhadapan dengan lima orang preman sekaligus, tapi dia tidak pernah takut. Justru dia merasa senang malam ini dia bisa meluapkan semua kekesalannya dan menghajar seseorang dengan puas.

"Brengsek!!" Umpat salah satu preman yang melangkah maju serta hendak melayangkan tinjunya ke arah Erick, namun Erick dengan sigap bisa menangkisnya dan juga melayangkan tinjunya untuk menyerang ke arah preman itu. Bugh, pria itu terhuyung kebelakang saat dia terkena bogem mentah dari tangan Erick. 

Preman lainnya yang tidak terima melihat temannya terkena pukulan, juga maju untuk menyerang Erick. "Brengsek. Kau cari mati hah?" Preman itu melayangkan kepalan tangannya ke arah wajah Erick dari arah belakang namun dengan lirikan ekor matanya, Erick dapat mengetahui pergerakan preman itu dengan mudah. dengan cepat Erick membungkukkan tubuhnya kedepan dan berbalik melayangkan pukulan tangan kanannya dengan keras, yang tepat mengenai uluh hati lawannya. Bruugh, preman itu jatuh tersungkur bahkan  mulutnya mengeluarkan darah segar, namun di luar dugaan pria itu masih bisa bertahan dan dia kembali bangkit hendak membalas serangan Erick. Erick dapat melihat arah pandang preman itu yang fokus untuk menyerang di bagian perutnya, hingga Erick dengan sigap mundur ke belakang untuk menghindari pukulan preman tersebut. Erick menangkis tangan preman itu, menahan tangannya, lalu kembali melayangkan kepalan tinjunya dengan kuat ke arah wajah preman yang berada di hadapannya. "Aaaahh." Erangan seorang wanita membuat layangan pukulan tangannya terhenti dan membuatnya menoleh kearah sumber suara. Buugh, namun  sial, Erick malah terkena pukulan lawannya karena konsentrasinya terpecah saat mendengar erangan yang ternyata berasal dari gadis kecil tadi, Erick menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan sedikit robek akibat pukulan preman tersebut. 

Amarah Erick tersulut, kedua tangannya mengepal dan wajahnya memerah menahan amarah. Dia berlari ke arah preman yang berhasil melukai bibirnya dan hal itu membuat butuh preman yang berada di hadapannya gemetar, ketakutan. Dengan cepat Erick melayangkan kukulannya kearah wajah lawannya, namun lawannya mencoba bertahan dengan serangan Erick dengan cara menangkisnya, tapi tidak sampai di situ Erick justru menangkap dan memelintir tangan lawannya ke belakang hingga tangan preman yang menangkis pukulannya tadi berbunyi,kretek.

"Aaaarrrggh." Jerit preman itu lagi. Erick mendorong dengan kuat tubuh preman itu hingga jatuh terserembab ke tanah. Preman itu kini terduduk dan terlihat menahan sakit dengan memegangi lengan tangan kananya yang lunglai, sepertinya tulangnya patah atau bisa jadi remuk karena ulah Erick. 

"Dengar. Jika kalian masih berani menampakan wajah kalian di hadapanku, aku tidak akan segan-segan menghancurkan seluruh tulang di tubuh kalian!" Seru Erick mengancam kelima preman tadi.

Preman itu melirik temannya yang masih merintih menahan sakit di tangannya, mereka ketakutan dan lebih memilih untuk melarikan diri dari pada mati konyol di tangan pria yang tidak mereka kenal.

Erick yang melihat para preman itu kabur lalu mengalihkan pandangannya kepada sosok gadis kecil yang terduduk memegangi kedua lututnya. Tubuhnya bergetar ketakutan, dengan air mata yang sudah mengalir membasahi kedua pipinya. 

"Hei gadis kecil, siapa namamu?" Namun gadis itu enggan untuk menjawab pertanyaan Erick. Tangan Erick terjulur mengelus pucuk kepala gadis itu agar lebih tenang. "Mau kakak antar pulang?" Tanyanya lagi dan diangguki oleh gadis itu. Dengan hati-hati Erick mengangkat tubuh kecil gadis itu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil. 

"Hmm, rumahmu di mana gadis kecil?" Tanyanya saat mobilnya sudah melaju. Gadis itu tak mengatakan apapun, dia hanya menunjukkan jalan saja pada Erick. Erick mengikuti arah jalan yang gadis itu tunjukkan namaun Erick merasa mobilnya hanya mengelilingi komplek saja hingga beberapa kali putaran. "Apa kau sedang mempermainkanku gadis kecil?" Erick yang mulai memberikan tatapan elangnya pada gadis itu. 

Glek, gadis itu menelan kasar air ludahnya kasar saat melihat tatapan mematikan dari Erick. Entah kenapa dengan menatap matanya saja dia sudah merasa ketakutan. Dengan tangan yang bergetar, dia menunjukan arah jalan yang benar menuju rumahnya hingga kini mobil Erick terhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana yang bergaya modern di pinggiran kota. 

"Sepertinya rumah ini tidak asing bagiku." Gumam Erick, dia merasa sudah pernah melihat rumah ini sebelumnya namun karena hari sudah gelap dan pencahayaan yang sangat minim membuat Erick tidak bisa mengingatnya. "Masuklah." Titahnya dengan menunjuk rumah gadis itu dengan dagunya, namun gadis itu menggelengkan kepala. "Baikalah kakak akan mengantarmu." Seakan mengerti pikiran gadis itu, Erick kemudian keluar menggandeng tangan gadis kecil itu. Sepertinya dia takut terkena hukuman dari keluarganya karena pulang terlambat, pikirnya. 

Tok, tok, tok, Erick mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Erick terus mencoba mengetuk pintu rumah itu, hingga ketukan ketiga daun pintu rumah itu akhirnya terbuka. "Shine.Kemana saja kau?" Tanya seorang pria dengan suara yang sedang khawatir. "Kau pergi kemana? Kakak sudah mencarimu seharian ini, tapi tidak menemukanmu. Apa yang terjadi? Dan kenapa kau terlihat kacau seperti ini?" Tanyanya lagi, dia  sepertinya tidak menyadari keberadaan Erick di sebelahnya, hingga gadis kecil yang bernama Shine itu menoleh kearah Erick. Lalu sang kakak mengikuti arah pandang sang adik dan betapa terkejutnya dia saat mendapati seseorang yang dia kenal berdiri di sana.

"Erick. Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?

"Siapa dia Joe?" Tanya Erick dengan mengerutkan kedua keningnya. Ya, pria itu adalah Joe sahabat Erick sendiri. Tidak hanya Joe, tapi Erick juga terkejut saat melihatnya. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan rumah ini, pikirnya. 

"Dia adik sepupuku, anak dari bibi jen." Jelas Joe. "Bibi Jen sedang keluar kota, jadi dia menitipkan Shine di sini."

"Bagaimana kau bisa membiarkan adikmu berada dalam bahaya Joe? Kalau saja aku tidak datang tepat waktu, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan kelima orang preman itu pada adikmu!" Sarkasnya dingin, Erick tidak habis pikir kenapa sahabatnya ini membiarkan adiknya keluar seorang diri saat hari sudah gelap. 

"Apa!" Pekik Joe, terkejut. "Kau tidak apa-apa Shine? Apa mereka melukaimu?" Tanya Joe khawatir, dia bahkan memutar-mutar tubuh Shine mencari suatu luka yang mungkin terselip di tubuhnya, namun tidak ia temukan. 

Shine menggelengkan kepala. "Kakak itu datang menolongku sebelum mereka menyakitiku." Tunjuknya pada Erick. 

"Bukankah kakak sudah katakan, jangan pernah keluyuran setelah pulang sekolah." Titah Joe. 

"Maaf kak, tadi aku hanya main di taman dan tiba-tiba saja ketiduran. Setelah aku terbangun ternyata hari sudah gelap." Seru Shine dengan polosnya. 

"Astaga. Bagaimana bisa kau tertidur hingga malam di tempat yang terbuka seperti itu." Joe menggelengkan kepala, dia tak habis pikir dengan tingkah sang adik sepupunya. Meski dia sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama, entah kenapa tingkahnya masih saja seperti anak kecil. 

"Kalau begitu aku pergi dulu Joe, kau jagalah adikmu dengan baik." Erick menepuk pelan bahu Joe, yang kemudian diangguki oleh Joe. 

"Thanks Er, aku banyak berhutang padamu." Seru Joe menatap Erick. 

"Tidak perlu sungkan. Keluargamu juga keluargaku Joe, jadi jangan pernah terbebani dengan ini." Ucap Erick. "Baiklah gadis kecil kakak pergi dulu, jangan pernah keluar rumah sendiri dan patuhi ucapan kakakmu." Titah Erick mengelus pucuk kepala Shine. 

"Kak.." Panggil Shine. 

Erick menoleh dan berjongkok di hadapan Shine untuk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil itu. "Paggil aku Kak Erick." Ucapnya pada Shine.

"Terima kasih kak Erick." Shine memeluk dan mencium pipi kiri Erick sebelum akhirnya dia berlari masuk ke dalam rumah.

"Hah? Ma-maaf Er." Joe sangat terkejut dengan aksi sang adik yang tiba-tiba saja memeluk Erick bahkan mencium sahabatnya itu. Namun di luar dungaan, Erick justru tak bereaksi dan meninggalkan Joe yang mematung sendiri di pelataran rumahnya karena terkejut.