Di perpustakaan, Erick mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang ia cari. Beberapa saat kemudian sepasang iris coklatnya menangkap sosok yang sangat ia kenali. Ia menududukan bokongnya kasar di salah satu kursi yang bersebelahan dengannya.
"Kau kenapa, apa ada yang terjadi?" Joe menautkan kedua alisnya saat melihat Erick menekuk wajahnya. "Apa para wanita itu mengganggumu lagi?" Serunya, dia sangat yakin jika melihat raut wajah Erick saat ini.
"Mereka selalu saja membuat moodku hilang!" Serunya tanpa memandang Joe.
"Hahaha, harusnya kau layani saja mereka Er." Joe tergelak saat mendengar jawaban kesal sahabatnya.
Erick membulatkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah Joe, seolah sedang memberi kode untuk diam dan hal itu sukses membuat Joe reflek menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Aku tidak pernah tertarik sedikit pun dengan mereka!" Serunya kemudian. "Lupakan mereka. Apa kau sudah menemukan mansion yang cocok untukku?" Tanya Erick mengalihkan pembicaraan.
"Hmm." Joe membetulkan posisi suaranya. "Aku rasa aku sudah menemukan yang pas untukmu. Nanti kita bisa melihatnya bersama, atau mungkin kau juga ingin mengajak para gadismu ke sana?" Godanya lagi.
"Tutup mulutmu Joe!" Hardik Erick kesal.
Entah kenapa Joe selalu senang jika membuat sahabat satu-satunya ini merasa kesal, namun dia masih tahu batasannya agar tidak membuat Erick murka dan yang pasti itu akan berakibat sangat fatal baginya. Tangannya merogoh beberapa bertas dari dalam ranselnya, kemudian ia berikan beberapa berkas penting itu pada Erick. Berkas yang berkaitan dengan mansion yang akan Erick tinggali. Erick sengaja meminta bantuan Joe untuk mencari sebuah mansion untuknya, karena dia sudah merasa jengah jika terus berada satu atap dengan wanita gila yang selalu mengganggunya. Wanita itu yang tak lain adalah Elieza, anak dari pamannya sendiri Mike. Meski setiap hari dia tidak pernah melepaskan kesempatan untuk sekedar menggoda atau memamerkan tubuhnya di hadapan Erick, namun Erick masih tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak akan menyentuh wanita lain selain kekasihnya.
Erick memahami kata demi kata yang tertulis di kertas yang Joe berikan, dia meneliti lembar per lembar berkas tersebut lalu kemudian mengembalikannya lagi pada Joe tanpa sepatah katapun.
"Dan ini, berkas perusahaan yang kita pilih untuk berinvestasi. Aku ingin kau memeriksanya terlebih dahulu, sebelun kau memutuskan untuk membeli saham mereka." Joe kembali memberikan beberapa tumpuk berkas yang lain dari dalam ranselnya. Sudah sejak lama saat Erick masih belum kembali ke negara asalnya, Erick sudah mengutarakan niatnya kepada Joe kalau dia ingin mencoba untuk berbisnis. Namun hal itu baru bisa terwujud saat Erick dan keluarganya memutuskan untuk menetap di sini. Sedangkan Joe yang sudah memiliki beberapa pengalaman kerena dia sempat magang di sebuah perusahaan besar, dengan senang hati membatu Erick untuk mencari beberapa perusahaan ternama dan membeli beberapa saham milik mereka. Erick berniat untuk segera membuktikan kepada papanya kalau dia mampu dan bisa berhasil tanpa bantuan Papanya dan papanya akan segera memberi restu padanya untuk kembali dan mencari keberadaan Naira, walaupun sebenarnya sang papa hanya beralasan saja untuk menutupi keadaan Naira saay ini.
"Tidak perlu Joe, aku percaya padamu dan kau yang lebih berpengalaman dalam hal ini." Erick memberikan kembali beberapa berkas itu ke hadapan Joe. "Apa kau ada kelas hari ini?" Tanya Erick kemudian.
"Tidak, semua mata kuliahku sudah selesai. Aku kesini hanya ingin membaca buku dan bertemu denganmu." Tukas Joe dengan tangan yang sibuk merapikan beberpa berkas tadi. Karena Joe memang beberapa tahun lebih tua dari Erick, jadi saat ini dia adalah mahasiswa semester akhir dan akan menjalani wisuda tahun ini.
"Ck, pantas saja kau tidak laku! Kau selalu saja kencan dengan buku." Hardik Erick melirik Joe dengan ekor matanya. "Tunggu aku di sini. Setelah aku selesai dengan mata kuliahku, kita akan pergi untuk melihat mansion kita." Serunya lagi sebelum kemudian dia berlalu meninggalkan Joe.
"Kita? Mansion kita?" Gumam Joe. Otaknya berusaha untuk mencerna perkataan Erick, namun sepersekian detik kemudian dia tidak begitu memikirkannya karena dia menganggap kalau Erick hanya asal bicara saja.
***
Dua jam berlalu. "Astaga! Kau masih setia dengan buku-buku ini Joe?" Erick terperangah saat melihat Joe yang tidak berkutik dari tempat duduknya, bahkan sudah ada beberapa tumpukan buku yang sudah tersusun rapi di atas mejanya. " Apa kau membaca semua buku-buku ini Joe?" Timpal Erick tak percaya.
Joe menganggukan kepala sebagai jawaban. "Apa kau sudah selesai dengan kuliahmu?" Tanyanya kemudian sembari membereskan buku-buku yang ia baca.
"Mmm." Erick berderham sebagai jawaban.
"Ayo, kita pergi sekarang." Ajak Joe sebelum kemudian pergi dari ruang perpustakaan dan Erick mengekorinya dari belakang.
"H-hi Er." Seorang wanita berpenampilan culun dengan atasan hem serta celana jins panjang lengkap dengan kacamata besar dan tebal menghentikan langkah mereka. Rambutnya yang ia kepang kuda menambah kesan culun padanya, dia melangkahkan kaki untuk menghampiri Erick saat Erick baru saja keluar dari ruang perpustakaan. "I-ini untukmu." Dia meberikan sekotak coklat lengkap dengan sepucuk surat di atasnya, lalu dia segera pergi tanpa mendengar sepatah katapun dari Erick.
"Hihihi, surat cinta lagi." Joe terkekeh sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
"Ck." Erick berdecak dan melempar asal kotak coklat itu ke arah Joe.
Joe gelagapan saat Erick melempar sekotak coklat itu tanpa aba-aba, meskipun begitu dia berhasil menangkap kotak coklat itu.
"Cepatlah Joe, kenapa kau sangat lamban!" Teriak Erick, dia kesal melihat Joe masih mematung memandangi sekotak coklat yang ia lempar.
"Kau ini, kenapa cerewet sekali." Sarkas Joe di tengah nafasnya yang tersengal-sengal karena berlari saat Erick meneriakinya, namun Erick hanya mengidikkan bahu saja lalu masuk ke dalam mobilnya.
Mereka memutuskan membawa mobil mereka masing-masing karena saat mereka berangkat, mereka memang sama-sama membawa mobil.
Mereka melajukan mobil mereka meninggalkan area kampus, kedua mobil sport dengan warna yang berbeda itu melaju membelah jalanan yang tengah padat di lalui oleh lalu lalang para mobil. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, Erick dan Joe menghentikan mobil mereka tepat di depan sebuah pintu gerbang yang menjulang cukup tinggi. Sepasang pintu gerbang yang menutupi sebuah mansion besar yang Erick beli dari hasil tabungannya sendiri, dan tentu saja hal itu tanpa sepengetahuan papanya. Joe turun dari mobil untuk membuka pintu gerbang tersebut, suasana hijau menyambut mereka saat pintu gerbang tersebut terbuka dan menampakkan deretan pepohonan rindang yang berjajar rapi mengelilingi tembok beton setinggi lima meter itu. Saat mobil mereka memasuki kawasan mension, pandangan mereka semakin terpana dengan suasana sekitar manson yang terlihat sangat sejuk dan indah apa lagi dengan taman-taman yang dihiasi berbagai macam jenis bunga dengan berbagai macam warna. Halaman yang cukup luas membuat mereka cukup menikmati pemandangan tersebut hingga beberapa menit kemudian mereka menghengikan mobil mereka tepat di sebelah air mancur megah dengan hiasan patung seorang anak kecil di tengahnya. Mereka turun dan mulai memasuki pintu utama mansion, Erick mengedarkan pandangannya mengelilingi area dalam mansion barunya yang terlihat sangat megah. Dia terpana dengan bangunan yang terlihat besar dan sangat kokoh itu, bangunan yang terdiri dari tiga lantai dengan sepuluh kamar di dalamnya, bahkan di sana juga terdapat sebuah pintu khusus yang menuju ke ruang bawah tanah yang tak kalah luas. Meski tidak ditempati, bangunan besar itu masih terlihat sangat bersih dan terawat.
"Sempurna." Seru Erick.
"Aku sangat tahu seleramu Er." Timpal Joe dengan bangganya.
"Hari ini kau lengkapi isi mansion ini karena kita akan segera menempati mansion ini." Titahnya sebelum dia beranjak pergi.
"T-tunggu. Apa maksudmu dengan kita Er?" Tanya Joe bingung.
"Apa maksudmu, tentu saja kau dan aku. Aku tahu kalau kontrak rumahmu akan segera berakhir, jadi pindahkan semua barang-barangmu secepat mungkin dan tinggallah di sini. Kau sangat tahu, aku tidak suka penolakan dan aku juga tidak suka tinggal seorang diri!" Sanggah Erick, sebelum Joe berkilah untuk mencari alasan.
"Aku tidak tahu harus membalas semua kebaikanmu dengan apa Er, kau selalu saja ada untukku tanpa aku minta. Kau tahu, aku bahkan menganggapmu lebih dari sekedar sahabat. Aku janji akan selalu melindungimu meski nyawaku sebagai taruhannya." Batin Joe menatap punggung Erick yang berlalu meninggalkan mansion.