Erick menuruni tangga dengan langkah beratnya, pandangannya terus saja menatap layar ponsel yang dia bawa. "Dia kemana? Seharusnya dia sudah kembali sejak tadi." Gumamnya, tangannya terus menekan tombol paggilan di layar ponselnya. "Maaf nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi." Hanya kalimat itu yang sejak tadi Erick dengar.
***
"Kecelakaan kembali terjadi di ruas tol malurus, Jakarta, Ind*nesia. Tepatnya pada pagi hari ini, kecelakaan yang melibatkan pemotor matic dan sebuah mobil sedan hitam tanpa plat nomor kendaraan yang mengakibatkan pengendara motor matic tersebut terseret beberapa meter dari tempat kejadian hingga akhirnya pemotor tersebut terjun ke dalam jurang setinggi dua puluh meter. Menurut laporan awak media setempat, hingga saat ini polisi belum mengetahui apa penyebab kecelakaan tersebut. Dan dari olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan sebuah tas yang berisi identitas dari korban. Diketahui korban adalah seorang siswi Sekolah Menengah Atas di salah satu Sekolah Negeri yang bernama Putri Naira Rachman. Kini polisi sedang menyisir lokasi setempat untuk mencari keberadaan korban tersebut karena di tempat kejadian, polisi hanya menemukan tas dan bangkai motor yang sudah hangus terbakar di dasar jurang. Dan menurut saksi mata setempat, mobil sedan hitam yang menabrak pemotor itu melarikan diri, hingga saat ini sedang dalam proses pengejaran polisi." Terdengar suara seorang wartawan sedang membacakan berita kecelakaan dari manca negara di layar televisi, di ruang tengah.
Pyaaarrr, seketika Erick melepas ponsel yang berada di genggaman tangannya saat mendengar nama Naira yang di sebut. "Tiidaakk! Naira!" Erick berlari ke arah televisi untuk memastikan bukan Naira kekasihnya yang mereka maksud, dia bahkan meninggalkan ponselnya yang hancur karena terjatuh
"I-ini tidak mungkin terjadi, ini tidak benar!" Erick terkejud saat melihat foto Naira kekasihnyalah yang terpampang di layar televisi, cairan bening tak terasa sudah mengalir di kedua pelupuk matanya.
"Ada apa Er?" Mili berjalan tergesa-gesa menghampiri Erick saat mendengar teriakan putranya dari dapur.
"Nai Ma, Naira! Ini tidak benar, katakan ini pasti salah kan Ma? Tidak mungkin Naira pergi meninggalkan Erick, Naira sudah berjanji untuk menungguku Ma!" Erick histeris, dia tidak menyangka jika kekasihnya akan pergi dengan cara seperti ini.
"Tenang Er, mereka belum menemukan Naira. Mungkin saja Naira selamat dan sudah ditolong orang." Seru Mili yang ikut mengamati berita di televisi, walaupun sebenarnya di dalam hati Mili tidak begitu yakin saat melihat tanyangan di televisi kalau kondisi motor yang dinaiki Naira sangat hancur. Setidaknya untuk saat ini, dia harus menenangkan Erick pikirnya. Mili merangkul dan memeluk Erick yang tengah menangis meraung-raung melepas kesedihan di hatinya, tangannya mengusap perlahan bahu Erick untuk memberinya ketenangan. "Tenanglah Er, semuanya pasti baik-baik saja." Ucapnya lagi.
"Ada apa Ma? Kenapa Erick menangis?" Hendri menautkan kedua alisnya, dia baru saja kembali ke mansion lantaran berkas penting yang dia perlukan tertinggal. Dia merasa bingung saat melihat putranya tiba-tiba menangis histeris di pelukan sang istri.
Mili yang melihat kedatangan suaminya, memberikan kode untuknya agar tidak bertanya lebih lanjut. Biarlah Mili yang akan menceritakannya nanti, setelah Erick lebih tenang.
***
Di tempat yang berbeda.
Rega Aditya Nugraha yang biasa dipanggil Rega oleh keluarganya, terlihat sedang menjemput sang ayah di sekolahnya lantaran motor sang ayah mogok jadi mau tidak mau dia harus mengantar dan jemput ayahnya seperti ini.
"Ayah, apa dia tidak waras?" Rega menujuk sosok yang bertelungkup di pinggir jalan saat sang ayah baru saja keluar dari pintu gerbang Sekolah. "Tapi kalau bukan, kenapa dia malah tiduran di jalan? Sepertinya dia seorang wanita." Imbuhnya dengan mata yang menelisik sosok tersebut.
"Di mana?" Tanya Seno, pandangannya mencari keberadaaan orang yang dimaksud oleh Rega. "Sepertinya memang tidak waras, tapi bajunya terlihat sangat rapi untuk ukuran orang yang tidak waras?" Terangnya lagi. "Tunggu! Apa itu darah?" Seno mendekati sosok tersebut untuk memastikan cairan berwarna merah yang terlihat menggenang di tanah. Saat ini hari sudah siang, namun entah kenapa jalanan yang biasanya ramai dengan lalu lalang para kendaraan yang lewat, mendadak sepi seperti kuburan.
"Astaga, Naira!" Seno terkejut, sesaat setelah dia berhasil membalik tubuh tersebut dan mendapati sosok tersebut merupakan salah satu siswi di sekolahnya. Kapanikannya semakin bertambah saat melihat kondisi tubuh Naira yang berlumuran darah. "Cepat cari mobil Ga!" Teriaknya.
"Apa yang terjadi ayah? Apa ayah mengenalnya?" Tanya Rega kebingungan.
"Dia adalah salah satu siswi di sekolah ayah." terangnya. "Kita harus cepat membawa dia ke rumah sakit!" Seno yang panik mencoba menghentikan mobil-mobil yang kebetulan lewat untuk meminta bantuan membawa Naira ke rumah sakit. Jika dia harus menunggu ambulance datang, itu akan terlalu lama menurutnya dan takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada salah satu anak didiknya ini. Akhirnya setelah beberapa saat kemudian, ada sebuah mobil pick up yang berhenti dan bersedia untuk membantunya.
"Ga, kamu jaga Naira di sini biar ayah yang bawa motornya." Titahnya pada Rega.
***
Setibanya di rumah sakit terdekat, Naira langsung dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sepuluh menit kemudian, terlihat seorang perawat wanita keluar dari ruang itu.
"Apakah bapak keluarga dari pasien?" Tanya perawat itu, menghampiri Seno.
"Tidak. Dia tidak memiliki keluarga, tapi saya bisa jadi walinya." Titahnya pada perawat itu.
"Baiklah, bapak bisa mengikuti saya. Saya akan mengantarkan bapak ke ruang dokter karena beliau yang akan menjelaskan kondisi pasien saat ini." Ucap perawat itu yang kemudian pergi ke salah satu ruangan di sebelah ruang UGD.
"Apa bapak wali dari pasien?" Tanya seorang dokter saat Seno sudah memasuki ruangan dan Seno menjawabnya dengan anggukan tanda mengiyakan.
"Silahkan duduk Pak." Titahnya pada Seno. "Begini, sepertinya cedera otak yang dialami pasien cukup parah hingga mengakibatkan pasien sekarang tidak sadar yang berkepanjangan. Bisa disebut saat ini pasien sedang mengalami koma. Jadi, kami harus segera bertindak untuk mempertahankan nyawa dan fungsi otak pasien. Untuk itu kami butuh persetujuan wali dari pasien untuk memulai beberapa tindakan untuk memastikan kondisi pasien lebih lanjut." Jelas dokter kepada Seno. "Bapak bisa menandatangani surat persetujuan ini." Yang kemudian memberikan beberapa lembar surat persetujuan keluarga untuk melakukan beberapa tindakan medis.
"Lakukan yang terbaik untuk Naira dokter." Ucap Seno kemudian sembari menanda tangani surat persetujuan tindakan untuk Naira. Baginya saat ini, keselamatanan Naira adalah yang terpenting dan untuk masalah biaya dia akan memikirkan nanti.
"Baiklah, kami akan melakukan MRI dan CT scan terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan darah dan pemeriksaan lainnya untuk memastikan kondisi pasien saat ini." Titah dokter lagi sembari merapikan berkas penyataan tersebut.
Di ruang ICU Seno kini tengah mondar-mandir gelisah menunggu hasil pemeriksaan Naira, dilihatnya tubuh Naira yang terbujur lemah dengan beberapa alat yang menempel di tubuhnya bahkan kini dia harus bertahan hidup dengan bantuan selang oksigen dan cairan infus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Kasihan sekali kamu Nai, baru saja kamu ditinggal kedua orang tuamu dan keluarga walimu, kini kamu harus berakhir dengan tubuh terbujur lemah di sini." Seno menyeka sudut matanya kerena cairan bening tanpa sengaja sudah lolos dari tempatnya membasahi pelupuk matanya. Tanganya merogoh ponsel di saku celananya, jari-jarinya kini mengetikan suatu pesan yang ditujukan untuk seseorang.
***
Beberapa saat kemudian ponsel di saku celananya bergetar dan membuyarkan lamunan Seno.
"Ha-hallo." Seno menjawab panggilan telepon dari nomor yang tidak ia dikenal.
"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanya sang penelpon di seberang sana dengan nada yang sedikit panik. Kemudian Seno menjelaskan kronologinya saat menemukan Naira dalam kondisi terluka parah, sampai kondisi Naira yang kini sedang mengalami koma.
"Bisakah kau menjaganya untuk kami? Untuk saat ini, tidak baik bagi Erick jika mengetahui kondisi kekasihnya. Tenang saja, untuk semua biaya perawatan rumah sakit dan kebutuhan kalian, aku yang akan tanggung dan aku juga akan membiayai biaya pendidikan putramu." Titah sang penelpon
"T-tapi ini sangat berlebihan. Aku ikhlas akan menjaga dan merawatnya, tapi untuk biaya perawatannya jujur aku tidak mampu." Terang Seno.
"Tenang saja, aku juga ikhlas memberikan biaya pendidikan untuk putramu. Aku hanya ingin kau dan putramu menjaganya dengan baik sampai putraku Erick datang menjemputnya, karena bagi putraku Naira adalah nyawanya. Jika dia tahu keadaan Naira saat ini, aku pastikan dia akan menggila dan berbuat onar di sana." Jawab Hendri sendu. Ya, Seno sebelumnya mengirimkan email kepada Hendri tentang keadaan Naira. Hendri yang memang belum sempat mendapat penjelasan dari istrinya tadi, terkejut saat menerima pesan dari mantan guru dari putranya sekaligus sahabatnya dulu. Dia jadi paham alasan Erick menangis meraung-raung di dalam pelukan istrinya tadi. Dia berfikir saat ini belum saatnya Erick tahu tentang kondisi Naira karena jika Erick tahu, maka bisa dipastikan dia akan mengamuk dan menyebabkan masalah di mana-mana.
"Baiklah,aku pasti akan menjaganya dengan nyawaku dan terimakasih kamu telah mengabulkan impian putraku." Seno merasa sangat bahagia saat tahu impian putranya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang akademi, akan segera terwujud.
"Baiklah, kalian berhati-hatilah karena aku memiliki firasat yang buruk tentang hal ini." Titahnya. Dia teringat tentang cerita mendiang orang tua Naira sebelum mereka tiada, mereka mengatakan bahwa nyawa putri mereka sedang terancam hingga akhirnya mereka menyerehakan sepenuhnya keselamatan Naira ke tangan Hendri. "Jangan pernah meninggalkan Naira sendiri, apalagi menyerahkan Naira kepada orang yang tidak dikenal meski mereka menggunakan alasan keluarga sekalipun! Erick sendirilah nanti yang akan menjemputnya." Titah Hendri lagi. Meski sejujurnya Seno tidaklah paham dengan situasi yang Hendri maksud, namun ia hanya mengiyakan saja.
*****
Satu minggu berlalu, namun Naira belum juga menunjukan tanda-tanda akan siuman dari tidur panjangnya. Malam ini Seno dan Rega memutuskan untuk menjaga Naira bersama. Namun karena para penghuni perut Rega yang memberontak menuntut asupan energi untuk tubuhnya, akhirnya Rega berpamitan kepada Seno untuk keluar sebentar hendak membeli makan malam. Sepeninggal Rega, Seno duduk di kursi penunggu di depan ruang ICU namun beberapa menit berlalu entah kenapa matanya menjadi begitu terasa sangat berat.
Huwaaii, dengan tangan kanannya Seno menutup pergerakan mulutnya yang menguap. "Sepertinya aku harus mencari kopi dulu." Serunya, kemudian dia beranjak dari duduknya meninggalkan ruang ICU dan menuju kantin rumah sakit.
Lima menit kemudian Seno datang dengan membawa dua gelas kopi hangat di tangannya, dari kejauhan dia dapat melihat seseorang yang mengenakan jaket hitam baru saja keluar dari ruang perawatan Naira. "Eeh Rega, kenapa cepat sekali datt..." Tiiiiiiiiiiiiiiiiittttt, kalimat Seno tercekat saat suara alat monitor hemodinamik dan saturasi yang terletak di sisi tempat tidur naira berbunyi nyaring.