Sesuai kesepakatan bersama, Alvo dan Dion sudah berada di Indonesia saat ini. Tepatnya di sebuah jalanan dekat dengan halte bus dimana nampak Bela sedang duduk disana menatap ponselnya dan membawa beberapa buah dokumen yang dimasukkan di dalam amplop coklat besar. Jelas Bela melihat foto kedua anaknya di wallpaper ponselnya dan Alvo mendekat.
"Kedua putrimu cantik." Sapanya sambil duduk juga berjarak di sisi Bela.
"Ah ini." Bela tak langsung merespon.
"Maaf aku bukannya lancang tapi gambar itu hanya terlihat sangat jelas." Ucap Alvo lagi.
"Ah iya tidak apa-apa. Aku memang begitu menyayangi kedua putriku ini." Komen Bela akhirnya.
"Berapa usia mereka?" Tanya Alvo lagi.
"Ah ini? Mereka lima dan tiga tahun." Jelas Bela lagi.
"Ah luar biasa. Kau sedang mencari pekerjaan?" Tanya Alvo beralih pada amplop yang dipegang oleh Bela.
"Ah iya ini. Aku sedang mencari pekerjaan baru. Aku diberhentikan dari pekerjaanku yang lama karena pengurangan karyawan." Jawab Bela nampak sendu.
"Ah sayang sekali. Apa memang pekerjaanmu sebelumnya kalau boleh tahu?" Tanya Alvo lagi.
"Ah ini. Aku hanya seorang buruh saja. Aku bekerja di pabrik pembuatan sandal sebelumnya. Sekarang sulit sekali mencari pekerjaan lainnya. Tapi aku tidak bisa berhenti berusaha. Hanya aku yang bisa diandalkan oleh kedua putriku ini. Suamiku sudah lama meninggal." Cerita Bela lagi.
"Aku suka semangatmu. Hm, sambil menunggu pekerjaan lainnya sekarang apa yang kau lakukan?" Tanya Alvo memancing.
"Aku? Tidak ada. Satu-satunya yang aku bisa hanya membuat sandal." Ucap Bela lagi.
"Ah begitu. Kenapa kau tidak mulai dari sana? Entahlah aku juga tidak terlalu paham cara membuat sandal tapi mungkin kau bisa membuat sandal sendiri dirumahmu kan. Sandal anak mungkin yang lucu dan cantik? Siapa tahu menggunakan bahan-bahan bekas mungkin bisa menekan biaya produksi. Menggunakan alat-alat sederhana yang banyak dijual bekas di pasaran." Alvo memberi pendapat dan entah mengapa Bela merasa mendapat sebuah pencerahan.
"Kenapa aku tidak memikirkan itu sebelumnya? Aku rasa itu ide yang bagus." Ucap Bela menyadari potensinya.
"Semua itu ada di dalam pikiran kita dan kadang kita hanya perlu sedikit tekanan untuk mengeluarkan semua ide dan kemampuan kita sebenarnya." Ucap Alvo lagi.
"Ah ya itu benar. Aku terlalu fokus pada kegagalan hingga lupa pada kemungkinan sukses lain yang terbuka lebar." Ucap Bela pada akhirnya mulai bisa sedikit tersenyum dan disanalah Dion muncul membagikan Urgos.
"Gratiis dicoba dulu gratis dalam masa promoo." Dion berteriak mencari beberapa orang yang tertarik dengan apa yang dia bawa.
Alvo berdiri saja dan mengambil dua botol Urgos dan menyerahkannya satu kepada Bela.
"Kau pasti juga haus kan? Coba minum ini dulu. Gratis. Aku dapat dari sana." Ucap Alvo menunjuk Dion.
Bela segera menegaknya setengah dan menyimpan sisanya di dalam tas yang dia bawa. "Aku akan menyimpan sisanya untuk anak-anak. Mereka pasti akan menyukainya."
Alvo mengambil lagi dua botol minuman itu ke Dion dan kembali menyerahkannya pada Bela.
"Lebih baik habiskan saja yang tadi nah yang ini berikan untuk kedua anakmu. Mereka memang akan menyukainya." Senyum Alvo dan Bea mengembang bersamaan.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu." Ucap Bela lagi.
"Aku tidak melakukan apa-apa selain hanya menemanimu berbincang." Ucap Alvo menutup pembicaraan.
Tidak hanya Bela yang bahagia tapi juga beberapa orang yang sempat meminum Urgos sebelumnya. Indonesia pun terkena dampak pandemi itu. Semua orang nampak mengenakan masker dan jumlah pejalan kaki juga kendaraan nampak berkurang. Alvo dan Dion senang karena bisa sedikit membantu disana.
"Aktingmu keren." Puji Alvo melihat Dion berubah menjadi marketing minuman.
"Hahaha. Kau menyebalkan." Dion tertawa saja.
"Hei. Aku mengatakannya dengan niat yang baik. Lihat saja sekelilingmu. Mereka senang minum Urgos yang kau buat." Ucap Alvo menepuk pundak rekannya itu.
"Iya hanya ini yang bisa kulakukan untuk sedikit saja atau mungkin sesaat saja megurangi kesedihan mereka." Ucap Dion lagi.
"Kau yang terbaik." Puji Alvo pada rekannya itu.
"Jadi kau ingin langsung kembali?" Tanya Dion.
"Hm entahlah. Aku sebenarnya masih ingin jalan-jalan di sekitar sini. Lihat itu." Alvo menunjuk sebuah selebaran mengenai pameran seni di sekitaran sana.
"Kau ingin berkunjung ke sana? Sejak kapan kau jadi tertarik pada seni?" Tanya Dion.
"Ada hal-hal yang belum kau ketahui tentang aku." Senyum Alvo menunjukkan lesung pipinya.
Berjalan sekitar 10 menit mereka tiba di sebuah wilayah yang entah nampak seperti kota lawas. Rupanya pameran seni itu hanya skala kecil dan nampaknya juga hanya karya-karya pribadi yang terbuat dari barang-barang bekas. Nampak seorang kakek tua duduk di ujung. Bertumpu pada tongkat yang ada didepannya.
Bagi sebagian orang tentunya tak terlalu spesial tapi bagi Alvo yang memang suka seni, ini semua nampak luar biasa. Ada beberapa lukisan juga disana yang entah salah satunya menangkap mata Alvo yang segera menyikut Dion yang masih sibuk melihat.
"Sepertinya aku pernah melihat lukisan itu." Ucap Alvo segera mendekat.
"Dion Dion,,," Panggil Alvo.
"Ya kenapa?" Dion beralih menatap juga lukisan itu.
"Sepertinya kita tahu kan siapa pemilik lukisan ini?" Alvo bertanya memperhatikan inisial nama yang ada disana.
"Ini milik,,," Kalimat Dion terputus.
"Lukisan itu memang bukan milikku. Lukisan itu dibuang entah oleh siapa. Aku tidak sengaja menemukannya di pinggiran sungai disana. Untung saja tidak basah. Karena tidak ada yang merasa memilikinya maka aku simpan untuk diriku sendiri. Apa kalian tahu siapa yang memilikinya?" Ucap sang kakek yang bernama Purnomo itu.
"Sejujurnya kami tidak begitu yakin tapi kami cukup familier dengan inisialnya. Hanya saja kami tidak mengerti kenapa lukisan ini bisa ada disini." Ucap Alvo tulus.
"Tolong sampaikan pesanku saja padanya. Terima kasih untuk lukisan itu. Jujur saja lukisan itu banyak membantuku." Ucap sang kakek agi.
"Membantu? Membantu bagaimana?" Tanya Dion penasaran.
"Mataku ini sudah rabun tapi entah kenapa aku bisa melihat jelas gambar di lukisan itu. Selain itu lukisan itu juga muncul tepat setelah aku kehilangan kucingku yang sakit untuk selamanya. Entah kenapa tapi aku merasa lukisan itu membuatku bahagia." Ucap Kakek Purnomo.
"Ah begitukah? Kami rasa kami bisa menyampaikan pesanmu. Terima kasih banyak kek. Semua karya kakek ini sangat indah." Ucap Alvo lagi.
Sang kakek hanya mengangguk saja masih duduk di kursinya. Dion dan Alvo pun saling melempar pandangan berjalan kembali ke Orion.
"Kau memikirkan apa yang kupikirkan kan?" Tanya Alvo dan Dion hanya mengangguk saja.
"Dia harus segera mengetahui ini. Kalau perlu kita seret dia kesini sebagai bukti." Ucap Alvo yakin dan entah mengapa mereka nampak bersemangat.