Di belahan dunia lain tepatnya Uzbekistan, Basta dan Ega baru saja melewati Orion. Nampaknya mereka ada di sebuah universitas yang sangat teramat sepi. Memang dari info yang dia dapat tidak ada aktifitas belajar mengajar disini. Ega menangkap sosok Anvar yang sedang duduk disekitar air mancur kecil yang berada di tengah sebuah taman. Beberapa mahasiswa memang nampak berjalan disekitaran universitas. Basta duduk di sebelah kanan dan Ega duduk di sebelah kiri Anvar. Pria itu nampaknya sangat terkejut karena kehadiran keduanya. Lagi mereka harus sedikit berakting.
"Ah siang yang cukup sejuk ya." Ucap Basta.
"Ah iya benar." Ega menegak minumannya.
"Kamu mau minum juga?" Tawar Basta pada Anvar yang nampak bingung dan menggeleng.
"Terima saja kalau begitu. Kau tidak perlu meminumnya disini." Tawar Basta kemudian.
"Kau angkatan berapa?" Tanya Ega basa-basi.
"Aku mahasiswa teknik tingkat akhir. Sebenarnya selangkah lagi aku sudah akan lulus dari kampus ini." Anvar membuka cerita.
"Lalu apa yang terjadi? Kenapa kau disini?" Tanya Ega lagi.
"A-aku sebenarnya sudah hampir lulus, tapi ternyata pandemi ini menyerang lebih cepat dari yang kukira. Aku sekarang bingung bagaimana kelanjutan tugas akhirku ini." Ucap Anvar.
"Bingung karena? Ah maaf sepertnya aku banyak bertanya." Ucap Basta lagi.
"Ah tidak apa-apa. Sepertinya aku memang butuh teman untuk bercerita. Kampus ini menunda semua kepentingan mahasiswa hingga waktu yang tidak ditentukan. Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan karena begotu banyak staf bahkan dosen yang menjadi korban virus itu. Tapi di lain sisi, aku harus lulus tahun ini karena orangtuaku sudah tak sanggup lagi membayar biayanya. Sedangkan beasiswaku juga mendadak dicabut karena alasan yang sama. Aku tidak bisa membuat orangtuaku makin sulit." Ucap Anvar lagi tanpa sadar membuka Urgos dan meminumnya. Minuman rasa anggur itu seketika membuatnya lega.
"Aku sangat mengerti. Sejujurnya pandemi ini memang menyulitkan banyak pihak. Tapi aku setuju bahwa pandemi ini mendorong kita untuk berpikir lebih kreatif lebih kritis. Aku harap kau bisa segera menemukan jalan keluarnya bersama para dosen disini." Ucap Basta lagi.
"Kami tidak diperbolehkan bertemu satu sama lain. Bahkan saat ini dosen pembimbingku sedang dirawat di rumah sakit. Apa yang bisa aku lakukan?" Anvar merasa bertemu dengan jalan buntu.
"Berikan waktu dulu agar dosenmu sehat. Lalu kalian bisa diskusikan bersama. Entah aku rasa teknologi saat ini semakin canggih dan kau bisa melakukan beberapa pertemuan secara virtual." Ucap Basta lagi.
"Iya itu saran yang baik. Kau mahasiswa teknik kan? Aku rasa kau bisa berinovasi dengan ilmu yang kau miliki itu." Ucap Ega lagi.
"Ya aku akan memikirkannya." Ucap Anvar masih nampak lesu membuat Basta dan Ega saling melirik.
"Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?" Tanya Basta.
"Aku ingin melamar pekerjaan sebagai seorang engineer di sebuah perusahaan otomotif, tapi salah satu syaratnya adalah harus sudah mengikuti ujian skripsi, sedangkan kalian lihat sendiri aku belum bisa ikut ujian sedangkan tesnya akan dimulai minggu depan. Aku takut mereka akan langsung menolakku sejak tahap administrasi. Aku benar-benar ingin segera bekerja untuk membantu kedua orangtuaku yang hanya pedagang Samsa di pinggir jalan." Ucap Anvar akhirya.
"Awh begitu. Aku mengerti. Maka saranku hanya satu. Tetaplah melamar dan pasrahkan sisanya pada yang kuasa." Ucap Basta akhirnya mengerti bahwa skripsi bukan masalah utama Anvar.
"Ya aku juga setuju itu. Takdir itu memang sudah diciptakan untuk semua manusia tapi yakinlah kita yang harus mengusahakan semuanya agar kita bisa memiliki akhir seperti yang kita inginkan." Ucap Ega lagi.
"Kalaupun kau akan ditolak di satu perusahaan, kau masih memiliki puluhan perusahaan lainnya untuk dijadikan tujuan. Hanya jangan menyerah." Ucap Basta akhirnya.
"Iya baiklah. Aku tetap akan mencoba melamar. Terima kasih banyak untuk minumannya." Ucap Anvar akhirnya merasa jauh lebih lega sudah mengutarakan isi hati.
"Ah mengenai orangtuamu, dimana mereka menjual Samsa? Kami sangat ingin mencicipinya." Ucap Basta yang memang sangat suka makan itu.
"Ah kalian mau mencobanya? Itu tidak terlalu jauh sebenarnya. Hanya satu kali menaiki tram dari depan kampus ini kita bisa tiba di perempatan dekat dengan lokasi orangtuaku berjualan. Kalian benar ingin pergi?" Tanya Anvar.
"Naik tram dan mencicipi Samsa? Tentu kami ingin pergi." Ucap Ega dengan senyum lembutnya.
Mereka berjalan bersama menyusuri Samarkand yang indah walau lagi-lagi sayang nampak jauh lebih lengang. Sepertinya banyak warga lokal yang memilih untuk tetap berada di dalam rumah agar tetap aman dan sehat. Pandemi semacam ini bukan pertama kalinya terjadi di dunia, sebelumnya di Tahun 2020 dunia sudah merasakan pandemi lainnya karena Covid. Karena pengalaman itu, kali ini dunia nampaknya lebih siap menghadapi hal yang hampir sama walau tetap saja kengeriannya akan tetap ada.
Basta dan Ega senang juga sudah sekian lama mereka tidak datang ke Uzbekistan. Tata kota yang memang kental dengan bangunan ala Timur Tengah nampak megah sekaligus cantik.
"Jadi kalian ini siapa sebenarnya?" Tanya Anvar.
"Ah iya kami, kami sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Basta dan ini rekan saya Ega. Kami hanya pendatang yang kebetulan bekerja di sebuah magic shopdi lain kota." Ucap Basta.
"Lalu kenapa tiba-tiba muncul di kampus itu tadi?" Tanya Anvar.
"Ah tentu saja berjalan-jalan. Kami sedikit tersesat sebenarnya tadi. Hehehe." Ega tertawa canggung.
"Ah begitu. Kita turun ya setelah ini." Ucap Anvar.
Mereka turun dan masih harus berjalan sekitar 300 meter menuju sebuah jalanan yang awalnya nampak ramai dilihat dari banyaknya lapak yang tutup. Hanya beberapa saja yang buka termasuk penjual Samsa yang merupakan ayah dan ibu Anvar.
"Umi Abi, aku membawa teman. Mereka ingin makan Samsa kalian." Ucap Anvar nampak bahagia.
Mereka tersenyum dan segera menggoreng Samsa untuk keduanya yaitu roti yang berisi daging sapi atau domba yang diberi bumbu. Saat mereka masih sibuk menunggu, Anvar menunjukkan layar ponselnya pada mereka.
"Mereka mengundangku untuk wawancara." Anvar berteriak kegirangan menunjukkan ponsel mereka pada orangtuanya juga.
"Tiba-tiba? Kapan kau?" Basta heran.
"Tadi saat kita di tram, aku mengirim email pada mereka dan diluar dugaanku mereka meresponnya dengan cepat. Ah, walau aku tahu perjalanan masih panjang, tapi aku berterima kasih untuk kalian karena sudah membantuku mengumpulkan keberanian." Ucap Anvar lagi.
"Semua itu ada dalam dirimu Anvar." Bertepatan dengan Abi Anvar yang datang membawa dua porsi Samsa.
"Wah ini enaaaak." Ucap Ega.
"Woaah." Komen Basta yang hanya bisa menunjukkan wajah puas dan acungan jempolnya.
Mereka mengeluarkan beberapa lembar uang som untuk membayar tapi ditolak oleh Anvar.
"Ini ucapan terima kasih untuk hari ini." Tutup Anvar.