Chereads / Malghavan - The Magic Shop / Chapter 20 - Pandemi

Chapter 20 - Pandemi

Para Xanders sedang berkumpul di Althea. Bukan hanya untuk menyelesaikan satu kasus tapi ada masalah yang jauh lebih besar dari itu. Basta memimpin untuk memberi informasi yang mungkin akan merubah bukan hanya Bumi tapi Malghavan juga selamanya.

"Kenapa hari ini kita harus berkumpul lagi disini? Baru kemarin kita menyelesaikan satu kasus." Vaz terheran.

"Aku baru mendapat kabar dari para dewa. Ternyata ada masalah yang jauh lebih besar sekarang di Bumi. Sebuah pandemi sedang melanda hampir seluruh wilayah dan begitu banyak kesedihan sekarang terjadi disana. Penyakit yang berasal dari sebuah virus bernama Andem-30 sudah banyak menimbulkan korban. Penyakit ini menyebabkan penderitanya menderita demam yang luar biasa disertai serangan jantung tiba-tiba yang bisa langsung menyebabkan nyawa melayang bila tidak segera ditangani dokter. Banyak manusia bumi saat ini sedang menderita, keluarga yang ditinggalkan, karyawan yang kehilangan pekerjaan, murid yang kehilangan waktu sekolah, tenaga medis yang stres dan tertekan, dan banyak lainnya. Kedepannya akan begitu banyak hal yang harus kita lakukan." Cerita Basta.

"Lalu apa yang kita lakukan disini? Apa yang perlu kita lakukan sekarang?" Tanya Alvo bersemangat.

"Sejujurnya aku bahkan bingung harus mulai dari mana. Aku ingin mengatakan dulu pada kalian bahwa sejak saat ini tidak ada lagi Xander yang menolak misi. Siapapun harus dan wajib turun untuk membantu karena kita tidak memiliki siapapun lagi selain satu sama lain. Sejak saat ini kita mungkin akan menyelesaikan misi bahkan dua hingga tiga sehari." Ucap Basta lagi.

"Baiklah. Kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba kan?" Dion mencoba berbicara.

"Baiklah. Untuk saat ini ada tiga kasus yang harus kita selesaikan dan semua terjadi karena pandemi. Seseorang ibu muda bernama Sari berusia 25 tahun di India yang kehilangan bayi yang baru dilahirkan karena pandemi ini dan dia merasa bersalah karena merasa dia lah yang menyebabkan bayi itu terbunuh. Kedua seorang karyawati Bernama Bela berusia 32 tahun yang juga merupakan janda beranak dua yang baru saja diberhentikan dari pekerjaannya di Indonesia. Ketiga seorang mahasiswa di Uzbekistan bernama Anvar berusia 21 tahun yang batal lulus kuliah tahun ini karena kampus mereka harus tutup sementara waktu." Cerita Basta coba menjelaskan.

"Jadi siapa yang harus mengerjakan apa?" Ega bertanya.

"Hm, bagaimana kalau Vaz dan Orfe pergi ke India, lalu…" Basta coba berpikir.

"Aku rasa Alvo dan aku bisa pergi bersama ke Indonesia." Dion memberi ide.

"Aku dan Basta bisa pergi ke Uzbekistan." Ega memberi pendapat lainnya.

"Tumben kalian tidak pergi berdua? Biasanya kalian tidak terpisahkan?" Juno iseng saja bertanya pada Dion dan Ega walau dia mungkin sudah tahu alasan sebenarnya.

"Ya tidak apa. Aku rasa aku bisa menjadi kombinasi yang sempurna dengan Alvo. Dia bisa bicara dengan baik dan aku bisa mencerahkan suasana dengan Urgos. Begitu juga dengan Ega dan Basta." Kata Dion.

"Ya baiklah kalau begitu. Aku pribadi tidak masalah bekerja dengan siapapun. Apapun yang terbaik untuk Bumi dan Malghavan." Ucap Alvo.

"Ya sudah kalau begitu aku rasa semua sudah diputuskan. Kita berangkat sekarang ya." Ajak Basta sekaligus membubarkan pertemuan mereka saat itu.

Vaz menatap Orfe yang sudah tersenyum di ujung ruangan. "Kau tahu kan aku melakukan ini karena Basta sudah mewanti-wanti kita untuk tidak menolak misi?"

Orfe hanya tersenyum dan mengangguk saja tapi tetap saja dia begitu gembira melihat Vaz mau pergi bersamanya. Beberapa langkah melewati Orion, mereka tiba juga di suatu perkampungan padat penduduk di India. Banyak orang berlalu lalang dan para pedagang yang juga menawarkan barang jualan. Nampak wanita muda yang bernama Sari itu sedang duduk di depan rumahnya didampingi seorang wanita yang lebih tua entah ibu atau mertuanya. Ada seorang pemain suling lokal yang sedang bermain dengan seekor ular kobra jujur saja membuat Orfe ngeri tapi mereka merasa itu adalah sebuah kesempatan untuk membaur.

Tatapan aneh tentu saja menemani pergerakan Vaz dan Orfe yang datang entah dari mana membawa terompet dan keyboard. Tapi seiring dengan permainan suling yang terus mengalun, mereka mampu masuk saja mengikuti melodi yang ada. Musik mengalun lebih semarak dan penduduk lokal yang hampir semuanya mengenakan masker mulai menari dengan santai. Hingga riuh itu mengganggu pendengaran Sari yang awalnya bersedih juga. Dia berdiri dan ikut menari bersama para penduduk lokal yang sebagian juga pasti tetangganya. Sedikit demi sedikit Sari nampak tersenyum bahagia dan perlahan menghapus air matanya.

Hingga musik selesai, Vaz dan Orfe beralasan ingin meminta minum di rumah Sari dan wanita tua yang ternyata adalah ibunya itu mengambilkannya untuk mereka. Sari memang sudah tersenyum walau nampak kerinduan yang dalam dari matanya.

"Anda ibu yang luar biasa." Puji Vaz saat itu juga.

"Iya itu benar. Aku tidak yakin apa yang melandamu belakangan ini tapi aku percaya dia yang meninggalkan bisa membuatmu bahagia suatu saat nanti." Ucap Orfe dengan senyum kotak khasnya.

Sari menatap keduanya walau heran tapi dia merasa lega juga.

"Apakah menurut kalian dia tak akan marah karena aku membuatnya kehilangan nyawa?" Tanya Sari.

"Tidak, tidak ada yang marah padamu. Justru Tuhan yang berterima kasih karena kau mengembalikan kesayangannya dengan cepat." Ucap Vaz lagi.

"Aku bersyukur kalau memang benar seperti itu. Siapapun kalian, aku sangat berterima kasih." Ucap Sari pada akhirnya.

"Kami yang harus berterima kasih karena sudah diberi minum." Vaz dan Orfe terenyum berpamitan.

Orfe menggandeng tangan Vaz dengan sayang. "Tidak kusangka selesai secepat ini?"

"Iya benar. Aku bisa kembali rebahan di Malghavan." Ucap Vaz santai tapi juga risih karena digandeng.

"Bagaimana kalau kau ikut aku dulu ke rumah ibuku? Aku ingin memastikan apakah dia baik-baik saja." Ajak Orfe tiba-tiba memberanikan diri.

"Tidak. Aku pulang saja." Vaz tentu menolak.

"Owh ayolah. Aku mohon. Dia ibumu juga kan? Kau tidak perlu menampakkan diri. Hanya mengintip saja." Ucap Orfe akhirnya.

"Kau tidak berniat menemui ibumu?" Tanya Vaz lagi.

"Hm iya tapi juga tidak. Aku hanya ingin mengawasinya dari kejauhan." Orfe menjelaskan.

"Kau beruntung memiliki ibu yang masih hidup, tapi justru kau memilih untuk tidak menemuinya. Kau akan menyesal nantinya Orfe." Vaz mengingatkan.

"Ya suatu saat aku pasti akan menemuinya tapi belum untuk saat ini. Tapi setelah kupikir-pikir kau juga tidak pernah menceritakan tentang ibumu. Seperti apa dia?" Tanya Orfe tak tahu diri.

Pertanyaan sederhana yang berhasil membuat seorang Vaz terdiam dan menerawang kembali pada ingatannya saat kecil dulu. Matanya mulai berembun dan bibirnya pun mulai bergetar. Vaz sangat merindukan mendiang ibunya. Emosi yang tak pernah dia tunjukkan pada lainnya.