"Imel, jam berapa ini?" tanya Bu Erina dengan nada kesal.
"Jam 7.50, Bu," jawab Imel dengan wajah tertunduk. Imel takut jika Bu Erina tidak mengizinkannya masuk.
"Masuk sekolah jam berapa?" tanya Bu Erina lagi dengan nada yang sama.
"Jam 7.15." Tubuh Imel mulai bergemetar, ia sangat takut jika Bu Erina benar-benar marah.
"Kamu tau kamu telat berapa menit?" kali ini Bu Erina bertanya dengan nada membentak.
"Du… Dua puluh…." Imel mulai gugup.
"Dua puluh apa? Dua puluh jam? Udah berapa kali kamu telat Imel? Ibu udah capek ngehukum kamu, apa kamu gak bosen Ibu hukum terus?" Terlihat wajah Bu Erina yang sangat marah.
"Apa Ibu gak bosen ngehukum Imel terus?" tanya Imel sangat pelan.
"Ngomong apa kamu?" tanya Bu Erina yang tak mendengar ucapan Imel yang sangat pelan. Imel hanya terdiam, menunggu Bu Erina melanjutkan perkataannya.
"Baiklah, ini yang terakhir. Ibu akan hukum kamu setelah ulangan selesai. Sekarang kamu masuk. Tapi ingat, setelah ulangan kamu harus ikut Ibu ke kantor guru!" tegas Bu Erina, lalu ia pergi ke kursi guru yang berada di dalam kelas.
"Iya Bu. Makasih." Imel pun memasuki kelas. Ia sangat bersyukur karena dapat mengikuti ulangan fisika ini. Ia sadar betul bahwa setelah ulangan selesai, ia harus menerima hukuman apapun yang diberikan Bu Erina. Imel memang sudah beberapa kali kesiangan dan beberapa kali pula ia mendapatkan hukuman. Ia terus melakukan kesalahan yang sama, tak pernah kapok atas kesalahan yang telah dibuatnya.
1 jam berlalu, akhirnya murid kelas X-IPA1 telah menyelesaikan ulangan harian mereka. Bu Erina meminta semua anak untuk mengumpulkan kertas ulangan yang telah ia berikan sebelumnya. Sebagian besar murid telah selesai mengerjakannya, sebagian kecilnya masih berkutik dengan pulpen dan kertas jawaban mereka, tak terkecuali Imel, ia masih sibuk mengisi kertas ulangan fisikanya.
"Baiklah anak-anak. Kumpulkan kertas soal dan jawabannya dalam waktu 10 detik, dari sekarang!" teriak Bu Erina kepada anak didiknya yang belum mengumpulkan ulangan mereka. Mendengar teriakan Bu Erina membuat Imel kebingungan. Ia baru saja menyelesaikan 15 soal, masih ada 5 soal lagi yang belum ia selesaikan.
"1…," teriak Bu Erina mulai menghitung. Beberapa anak mulai mengumpulkan kertas soal beserta kertas jawabannya.
"2…." Bu Erina sudah menghitung lagi. Hal itu membuat Imel benar-benar kebingungan. Ia tidak bisa berpikir lagi, apalagi semalam ia tidak belajar.
"Vi, bantuin gue dong," pinta Imel kepada sahabatnya, Revi.
"Aduh maaf Mel, kertas jawaban gue udah gue kumpulin," balas Revi.
"Inget-inget dong Vi!" mohon Imel dengan wajah memelas..
"3…." Bu Erina terus berhitung.
"Ayo dong Revi!" Imel mulai panik. Raut wajahnya berubah menjadi sangat panik dan resah.
"Gue lupa Imel," balas Revi. Ia mulai merasa risih dengan paksaan Imel.
"4…."
"5…."
Imel mulai berlari ke sana kemari mencari jawaban. Namun usahanya nihil, tak ada yang ingin memberikan Imel contekan.
"6…."
"Aduh ya ampun." Imel benar-benar frustasi. Ia menulis jawabannya dengan asal-asalan.
"7…."
Revi hanya cekikikan melihat tingkah Imel yang seperti itu.
"8…."
Tangan Imel sangat bergetar, ia berusaha menulis serapi mungkin tapi tangannya terus menerus bergetar membuat tulisannya berantakan.
"9…."
Dan semua teman-teman Imel sudah mengumpulkan kertas soal dan jawabannya.
"10…. Selesai tidak selesai, kumpulkan!" tutur Bu Erina. Imel masih menulis jawabannya. Bu Erina menyadari hal itu, ia pun menghampiri Imel dan menarik kertas jawabannya. Lalu Bu Erina pergi begitu saja.
"AAAAAHHHH… Rese banget sih tuh guru, gak ngasih gue kesempatan padahal kan tinggal 2 soal lagi," keluh Imel sambil melepari buku dan beberapa pulpen ke papan tulis.
"Ya ampun Imel, pulpen gue kok lo lempar?" protes Revi. Lalu ia mengambil benda miliknya juga milik Imel yang berserakan di bawah papan tulis.
"Bodo amat, gue kesel ama tuh guru! Iiisshhhh." Saking gregetnya Imel sampai mengepalkan kedua telapak tangan dan memejamkan matanya erat-erat.
"Imel, lo dipanggil Bu Erina tuh!" ucap Reiner. Reiner adalah temen sekelas Imel, ia juga menjabat sebagai ketua kelas di kelas X-IPA1.
"Hah?" Mendengar namanya dipanggil Bu Erina membuat raut wajah Imel yang tadinya kesal menjadi tegang. Revi yang melihat jelas perubahan raut wajah Imel menjadi heran.
"Kenapa muka lo tegang gitu, Mel?" tanya Revi.
"Gue takut. Temenin gue yuk?" Imel menarik tangan Revi.
"Mau kemana?" Revi mencoba melepaskan tangan Imel.
"Temenin gue ketemu Bu Erina."
"Bentar deh Mel, lepasin dulu." Imel pun melepaskan pegangan tangannya.
"Kabur…." Revi berlari memasuki kelas.
"DASAR CEWEK STRESS!" teriak Imel dengan nada kesal.
"Katanya temen tapi gak mau bantuin gue. Apa itu yang namanya temen?" Imel pun menyilangkan tangan di dada. Tanpa pikir panjang, Imel segera pergi menghampiri Bu Erina yang sedang di kantor guru. Bu Erina terlihat sedang menunggu Imel di depan kantor, perlahan Imel menghampiri Bu Erina.
"Datang juga kamu Imel. Baiklah, hukuman kamu adalah berdiri di depan tiang bendera sampai pelajaran terakhir," perintah Bu Erina. Imel melotot, ia kaget dengan hukuman yang diberikan Bu Erina.
"Tapi bu, gak ada hukuman yang lain?" tanya Imel.
"Hukuman ini mungkin sudah cukup berat Imel. Ibu dan guru-guru lain sudah sepakat agar kamu tidak mengulangi hal yang sama. Semua hukuman sudah Ibu berikan, saatnya Ibu memberikan kamu hukuman yang mungkin cukup berat untuk kamu. Jika nanti terjadi apa-apa dengan kamu, Ibu dan pihak sekolah yang akan bertanggung jawab. Harusnya kamu bersyukur Ibu hanya memberikan hukuman seperti ini. Jika kamu melakukan hal yang sama, Ibu pastikan kamu akan mendapat surat peringatan dan pihak sekolah akan memanggil orang tuamu. Mengerti?" ucap Bu Erina dengan kasar. Imel menghelakan nafasnya.
"Mengerti, Bu!" balas Imel pasrah.
"Ya udah sekarang kamu berdiri di sana," ujar Bu Erina sembari menunjuk tiang bendera. Imel pun hanya menuruti kemauan guru fisika itu.
"Bener-bener rese tuh guru. Pasti dia bohong deh. Mana mungkin pihak sekolah dan guru-guru sepakat buat ngejemur gue kayak gini? Ah andai bokap yang punya sekolah ini, udah pasti gue hempas tuh guru," gerutu Imel. Imel berdiri menghadap tiang bendera. Cuaca saat itu lumayan panas. 15 menit berlalu, Imel masih berdiri di depan tiang bendera itu. Keringatnya sudah bercucuran. Terik matahari semakin terasa membakar kulit gadis cantik itu.
"Aduh gak ada yang mau nolongin gue apa?" Lagi-lagi Imel hanya menggerutu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia tak ingin hukumannya ditambah lagi.
Imel memang sering terlambat bangun pagi. Padahal Bi Surwati atau yang biasa dipanggil Bi Ati, pembantunya, selalu berusaha untuk membangunkan Imel setiap pagi. Namun Imel selalu bermalas-malasan dan selalu meminta waktu untuk melanjutkan tidurnya. Hal itu lah yang membuat Imel selalu terlambat datang ke sekolah. Sudah banyak hukuman yang diberikan Bu Erina kepada Imel, namun tak ada satupun hukuman yang mampu membuat Imel jera. Ia terus melakukan hal itu beberapa kali. Orang tua Imel yang selalu bekerja ke luar kota tidak tahu menahu tentang kenakalan anak semata wayangnya itu. Mereka selalu berpikiran jika anak mereka akan baik-baik saja jika bersama Bi Ati. Tetapi kenyataannya, Imel sendiri lah yang selalu tak mematuhi perintah Bi Ati. Sebagai pembantu, Bi Ati tidak bisa berbuat banyak terhadap keinginan Imel.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.