Sekujur tubuh Vino terasa seperti jailangkung, tidak ada penawar selain rebahan sambil bermain game andalanya. Setelah seharian di guyur air hujan yang membuat badanya sedikit demam, lalu di ambil kipas angin agar demamnya semakin tinggi, karena itu bisa jadi tips agar bisa bolos sekolah.
"Den, air hangat sudah mbok siapkan" Si mbok berteriak dari luar pintu dan menaruh ember di depan kamar.
"Iya mbok terimakasih" Jawab Vino lalu keluar mengambil ember. Air itu tidak untuk mandi, Vino memilih untuk membiarkan air itu dingin agar tidak mengahalangi badanya demam.
Vino mengambil beberapa es dan habis dalam sekali makan, kipasnya juga kenceng dengan Volume tertinggi, lalu mandi di malam hari tanpa air hangat. Setelah semua triknya sudah done, dia mencoba merasakan suhu tubuhnya. Tidak ada perubahan, bahkan tidak naik sedikitpun. Saking tidak percayanya Vino mengecek dengan thermometer, dengan menyelipkan alat itu di keteknya. Tekananya sangat rendah, dan itu sama sekali bukan demam. Lalu Vino membanting tubuhnya di ranjang dan menguap menahan kantuk.
Terpaksa Vino harus membuka PR nya dan membuka lamunan untuk tragedi besok. Berperan sebagai pemberi hukuman yang menuntaskan hukumanya sendiri, esok pagi-pagi ia harus bertemu lagi dengan gadis yang membuatnya kagum dengan otak dewanya. Makhluk aneh yang baru-baru ini muncul di kehidupanya, merubah dunia Vino menjadi ribet dan minim kebahagiaan.
Hingga tiba di pagi hari dengan segala keributan bersama May.
****
May berlari mengejar waktu yang hampir tereksekusi, wajahnya panik sambil menutupi telinganya. Berharap bunyi bel tidak nyaring berbunyi dulu sebelum ia sampai di kelas. Ia melewati lorong-lorong yang tidak semestinya jalan menuju kelasnya, agar jarak tempuh lebih dekat.
Karena siapa lagi dia harus berkali-kali mengejar waktu karena berangkat kesiangan, hampir satu jam May menunggu Vino yang rempong dengan segala stylenya, belum lagi sepedanya yang super lemot. Di tambah rantainya yang selalu copot membuat May dan Vino berhenti berkali-kali untuk sekedar membenahi.
Aaaaa tidak!
Bel itu berdering saat May masih menaiki tangga menuju lantai dua, keringatnya sudah membasahi lehernya, rambutnya acak-acakan, bedak luntur, tali rambutnya pun patah. May benar-benar mirip gembel.
"May May!" Anne mencoel tangan May dari jendela, May masih mengelap keringat yang menempel di sekujur tubuhnya. Kelas sudah kedatangan guru terkiler di masanya, jantung May sudah tidak beraturan mengatur detaknya. Lalu pasrah dengan kode Anne yang memberi intruksi untuk bisa masuk ke kelas tanpa sepengetahuan Pak Edi, guru Akutansi dengan kumis tebal berbadan kekar. May merinding setelah mengintip muka itu dari jendela.
[Udah masuk aja pelan-pelan, jangan sampai bersuara. Pak Edi masih sibuk dengan papan tulis]
Anne melempar kertas yang di remas berbentuk bola ke arah May, May tidak yakin dengan misinya. Bagaimana mungkin, pintu itu lurus dengan papan tulis dan meja guru.
'Gimana jika kumis itu naik turun lagi dengan ber alunan suara seram?'
Fikiran May sudah menggambarkan masa depanya, lalu memastikan keadaan kelas dan mencoba memindah kakinya untuk sedikit lebih maju. Lima langkah sudah dekat dengan pintu, tanganya terus menggenggam ketakutan.
Masih aman, nafasnya juga masih sedikit teratur. Tiga langkah, May sudah bisa meraih gagang pintu, ia sengaja tidak bernafas dan memejamkan matanya sebelah. Anne yang melambaikan tangan dari kejauhan memberi support membuat May semakin yakin, ia sudah hampir bisa memasuki kelas.
"Pak mau izin ke kamar mandi" Salah satu murid berjalan mendekati Pak Edi untuk meminta izin, seketika May bergetar dan tidak bisa mengangkat kakinya. Dia merem dengan segala kepasrahan, bagaimana jika pak Edi menoleh ke belakang dan sempat melirik ke arah May?
"Iya" Jawaban singkat tanpa berputar kepala itu membuat May bisa kembali bernafas, dia menganggukan kepala ke arah Anne untuk meminta tetap mendukungnya. May lebih semangat dan cepat-cepat ingin segera sampai kecil dengan ujung kakinya, tapi papan tulis bewarna putih itu setengah bagian masih bersih belum tercoret tulisan apapun, mirip sekali dengan kaca, kinclong bisa menerawang benda di sekitarnya.
May berlari sambil tertawa lirih, sedang Pak Edi masih menulis beberapa keterangan di papan tulis. Tapi matanya sedikit jeli dengan bayangan yang melintas di papan tulis itu, seperti sosok kuntilanak yang terurai rambutnya. Pak Edi melotot dan membalikkan dengan cepat. Lalu berteriak menghentikan aksi May.
Stooop!
Tatapan seluruh isi kelas terpaku ke arah May yang menjadi korban pak Edi lagi. Benar kumis itu mekar beberapa senti setelah pak Edi mengeluarkan suara yang menggema itu. May spontan berhenti dan menoleh pelan ke arah pak Edi, lalu maju ke depan tanpa perintah. Karena sudah menjadi kebiasaan May.
"Ma'af Pak" Suara May begitu lirih, nyaris tak terdengar.
Anne berkali-kali menapuk keningnya sendiri, menyalahkan May yang begitu ceroboh. Suara berisik omongan tetangga membuat Anne risih dan menempelkan jari telunjuknya ke telapak tanganya sambil melototi teman-temanya.
Pak Edi melangkah mendekati May, alisnya tidak se seram biasanya. Masih lurus ke samping dengan muka datar, lalu memandangi May dari dekat. Ada raut prihatin atau apa yang jelas pak Edi tidak lagi muncul tanduknya. May senyum tipis menyapa pak Edi, barang kali ada sapaan balik. Pak Edi terlihat seperti memikirkan sesuatu, dia menyisir jenggotnya dengan jari-jari tanganya. Lalu menatap May dengan sorotan dendam.
Pak Edi merogoh saku kananya, lalu di temukan kotak kecil terbungkus merah dengan tali pita di tengah-tengah. Dan menyodorkan ke arah May, ia bingung dan tidak mengangkat tanganya untuk mengambil kotak itu.
"Iya ini untuk kamu" Kata pak Edi meyakinkan May sambil mengocok-ngocok kotak itu agar membuat May penasaran, suara itu terdengar seperti benda berat semacam besi atau aluminium. May sedikit penasaran, lalu di ambil kotak itu dari tangan pak Edi.
"Kok tidak di hukum Pak, malah di kasih hadiah?" Kata May belum percaya.
"Sudah duduk!" Hanya itu jawaban dari Pak Edi, lalu May berjalan menuju tempat duduknya.
Anne menyambut girang sambil merebut kotak itu, tapi May lebih cerdik untuk menolaknya.
"Buka dong!" Kata Anne tidak sabar, May mengangguk dan menaruh kotak itu di dalam laci. Kemudian di buka pelan-pelan sambil mengawasi sekitar. Ada lipatan kertas kecil dengan berbalut pita lagi, May dan Anne semakin penasaran dan cepat-cepat membukanya.
[Hormat ke arah bendera besok jam 11 pagi di jam pelajaran saya, mencuci seluruh alas meja di kelas-kelas, dan jangan Lupa membawakan sarapan buat saya selama tiga Hari]
Mereka saling memandang, Anne menekik lehernya agar tidak tertawa. Lalu Anne menatap May dengan saraf-sarafnya yang kaku.
Pak Edi tersenyum bangga sambil menghitung kumisnya.