Pagi itu tidak terlalu mengeluarkan embun, karena cuaca pagi itu menandakan cerah tanpa rintik seharian. Tapi keringat May di pagi hari sudah mengguyur sekujur tubuhnya, sedari shubuh May sudah memulainya dengan memasak, menyiapkan makanan untuk pak Edi untuk hukuman di hari pertamanya.
May menyiapkan menu nasi goreng kampung, dengan menaruh irisan mentimun di atasnya. Toping itu memang terlihat tidak menarik, karena bahan hanya seadanya dan tidak bisa di paksa untuk ada. Bukan dengan Tupperware May membungkus makanan itu, tapi hanya dengan selembar kertas minyak agar nasi itu tetap utuh dan bisa sampai ke tangan pak Edi.
"Kak Vino, sudah bosan rasanya harus bertemu kamu lagi. Tapi aku akan rindu jika satu hari pun tanpa melirik bibir tipismu itu" Kata May dalam hati, dia segera menepis lamunanya dan membereskan sisa kotoran bekas masakanya di dapur.
Itik-itiknya sengaja sudah di beri makan malam hari, agar May bisa membagi waktunya yang sangat singkat di esokan hari sebelum berangkat ke sekolah. Jika di sebut sebagai emak-emak memang May sudah pantas, dia sudah lihai dengan semua pekerjaan rumah tangga.
"May kamu tidak sarapan?" Tanya kak Ahmad yang sedang sibuk dengan burung periharaanya, kak Ahmad selalu khawatir dengan kesehatan May. Bagaimana tidak, dia selalu sibuk dengan pekerjaanya sampai tidak mementingkan isi perutnya.
"Tidak kak, hari ini aku puasa. Tapi kalau kakak mau nyuapin, ya aku tidak jadi puasa" Ketus May sambil meletakkan bungkus makanan itu ke dalam tas bagian depan, agar bau nasi goreng itu tidak bercampur dengan buku-bukunya.
Kak Ahmad menghampiri May dengan membawa se piring nasi, May lebih suka di suapin menggunakan tangan. Ada rasa nikmat tersendiri makan tanpa sendok, apalagi dengan lauk ikan asin dengan sambal geprek buatanya.
"Ini kakak suapin, tapi habis ini puasa ya. Anggap saja ini sahur tapi kalau nanti lapar ya berbuka aja" Kata kak Ahmad dengan suapan pertamanya, lalu di susul dengan tawanya yang membuat pagi itu terlalu ramai dengan keceriaan. May membuka mulutnya lebar-lebar, tak lupa sambil menggigit jari kak Ahmad yang masuk ke dalam mulutnya.
"Aaah sakit May!" Teriak kak Ahmad sambil mengibaskan tanganya, lalu membalas dengan menjewer telinga adiknya itu. Tidak semudah ini kak Ahmad bisa membuat May tersenyum lebar, karena tidak memiliki hal yang berharga selain kasih sayang. Kak Ahmad tidak punya harta berlimpah yang bisa di wariskan kepada May, seketika hatinya terenyuh dengan sikap May yang tak pernah mengungkit kebahagiaan yang jarang ia temui sejak kecil.
"Gitu aja nangis kak? Kakak nangis cuma gara-gara aku gigit jarinya?" May panik dan heran ketika melihat kak Ahmad mengeluarkan air mata, dia berfikir ini karena gigitan di tanganya itu. Padahal ada sesuatu yang lain, yang membuat kak Ahmad tidak bisa menahan air mata itu dari kelopaknya.
"Ya jelas lah, apalagi" Kak Ahmad menambah porsi suapanya itu bertambah dua kali lipat, dan tertawa sambil mengusap matanya.
May semakin tidak mengerti maksud kakaknya, dia tidak peduli dan meraih piring itu lalu pergi meninggalkan kak Ahmad. Kak Ahmad masih larut dengan tangis yang ia sembunyikan dari May.
"Kak, May berangkat dulu. May gak mau salim, tangan kakak bau sambal" Teriak May sambil berlari menuju halaman rumahnya. Beruntung bagi kak Ahmad, tangisnya aman tanpa sepengetahuan adiknya.
"Iya hati-hati wa'alaikumussalam" Jawab Kak Ahmad lengkap dengan salamnya, tanpa ada ucapan salam dari May.
"Eh assalamualaikum kak!" May membuka jendela dan melambaikan tangan ke arah kak Ahmad.
****
"Kan aku harus jadi patung lagi di sini" May memarahi rumput di bawahnya, menginjak-injak sampai di cabut bebarapa pohon. Tetap saja rumput itu diam tanpa membalas apapun, dia tidak berhenti mengintip jendela kamar Vino dari lubang kotak surat di pagar besi milik Vino. Emosinya sedikit lagi meledak karena hampir setiap hari May harus mengalami hal menyialkan seperti ini, dia pun tidak punya HP untuk menghubungi Vino agar cepat-cepat keluar.
Hari ini May terlihat sangat rempong dengan barang bawaanya, keranjang depan berisi ember titipan ibunya, ditambah di atasnya ada bahan-bahan gorengan. Lalu bagian belakang May menaruh kardus yang ia ikat dengan tali rafia.
Suara gesekan pintu gerbang itu membuyarkan angan-angan May, dia di kagetkan kedatangan Vino dengan tumpukan alas meja di tanganya. May masih belum mengira kalau itu adalah alas milik sekolah, yang harusnya itu menjadi tugasnya.
"Itu kain-kain buat apa?" Tanya May benar-benar belum peka, lalu membantu Vino untuk membawa setengah tumpukan dari atas, tapi tangan Vino menolak dengan menyingkirkan uluran tangan May. May hanya terdiam memendam tanya, muka Vino cemberut dan sinis di hadapan May membuatnya sungkan untuk bertanya lagi.
"Buat ngelap gorenganmu tuh di kantin" Jawaban sinis Vino menmbuat May semakin tidak mengerti, May berusaha menebak tapi tetap saja salah di mata Vino.
Bayangan Anne meleset di fikiran May tiba-tiba, dia berfikir keras, apa mungkin itu alas meja milik sekolahan? Kenapa bisa sampai di tangan kak Vino? Ah tidak mungkin. Fikiran May tetap Saja menyangkal.
"Saya tanya serius kak" Ucap May dengan suara bergetar. Pikiran May entah kemana, dia terus saja tidak membenarkan anganya itu, hingga Vino sendiri yang mengakui tebakanya sendiri.
"Di mana tanggung jawab kamu ha? Kenapa hukumanmu menjadi orang lain yang menanggungnya?" Suara serak gagah Vino mulai terdengar lagi, matanya melotot ke arah May semakin dekat.
Seketika May mengangkat kepalanya dan mengeryitkan dahinya, ia mencoba memahami sekali lagi apa yang di katakan Vino baru saja. Dadanya bergemuruh, ber campur aduk antara tidak terima dan marah.
May memastikan tenggorokanya baik-baik saja dan menolak tuduhan itu dengan berteriak kencang di hadapan Vino. May sudah memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi.
"Jangan berfikir buruk dulu dong kak, kak Vino belum tau yang sebenarnya" Jelas May tidak terima, sakit hati itu menyerangnya begitu dalam, hingga air matanya tidak lagi mau bersembunyi. Isaknya terdengar di telinga Vino, tapi sama sekali tidak membuat hati Vino berubah.
"Jujur atau aku akan menambah hukumanmu!" Suaranya begitu dingin, dan tantangan itu membuat nyali May semakin menciut. Tapi tidak ada cara lain selain May harus tetap membela dirinya sendiri.
"Aku sudah jujur kak, tidak ada yang aku tutupi satu pun!" May sudah tidak bisa mempertahankan kesabaranya, dadanya semakin sesak karena tangisnya yang sulit ia kendalikan.
Vino menutupi telinganya terang-terangan di depan mata May, seakan dia tidak memberi kesempatan May untuk menjelaskan isi hatinya.Tiba-tiba suara klakson mobil berwarna hitam berplat merah itu keluar dari gerbang, lalu berhenti tepat di samping Vino.
"Temui aku di perpustakaan pada jam istirahat" Bisik Vino lirih tapi terdengar sangar, May manggapitkan tangan karena menahan rasa takutnya.
"cepat nak sudah siang" Teriak wanita berkacamata hitam dengan baju mewahnya dari dalam mobil.
"Iya ma!" Teriak Vino dan beranjak pergi, May mematung di pinggir jalan. Meratapi kepedihanya seperti baju lusuh yang tidak terpakai.
"Hukuman apa lagi Ya Allah, jangan tinggalkan aku dalam menjalani semua ini" Rintih May dalam hati.