Darwin tampak frustasi ketika istrinya tidak mau mengembalikan uang perusahaan Mahardika Group yang di ambilnya. Sementara Reinard mulai membuka file-file di dalam komputer mengaudit semua data keuangan perusahaan.
"Aku harus bagaimana ini?" gumam Darwin memutar otak mencari alasan untuk mengelabuhi Reinard.
Darwin lebih memilih pulang untuk menemui Zalina, istrinya. Untuk mempertanyakan soal uang yang di ambil dari rekening perusahaan Mahardika Group milik almarhum kakaknya itu.
TING-TONG!
Bel rumah mengalihkan perhatian Zalina, dengan malas Zalina membuka pintu lantaran tidak ada satu pun pembantu di rumahnya yang membukakan pintu tersebut. "Saya kira siapa? Ternyata kamu Suamiku!" Zalina berdiri di ambang pintu menyambut Darwin.
"Aku perlu bicara denganmu Ma!" terlihat wajah Darwin sangat serius.
"Soal apa lagi? Pasti soal uang kan?" ketus Zalina, ia tahu pasti Darwin akan membahas soal uang yang dia ambil dari rekening perusahaan.
"Tepat sekali, aku memang mau meminta kamu mengembalikan uang itu!"
"Sudah aku katakan, aku tidak akan mengembalikan uangnya Pa!"
"Ma, mengertilah. Kita dalam ancaman sekarang, kalau kau tidak mengembalikan uang itu Reinard pasti akan mengusut dana tersebut!" Darwin terus berupaya membujuk Zalina, agar mau mengembalikan uangnya itu.
"Itu urusan kamu Pa, bukan urusanku!" Zalina tetap bersikukuh.
"Dasar keras kepala!" kesal Darwin.
"Percuma kamu meminta uang itu kembali Pah, uangnya sudah aku habiskan semuanya!" ujar Zalina memberitahu Darwin.
"Apa?" Darwin terkejut atas penyampaian istrinya. "Uang sebanyak itu kau habiskan Ma?" tanyanya kemudian.
"Hem ... kau itu jangan perhitungan sama Istri Pa, lagi pula uang itu aku investasikan untuk arisan Genk sosialitaku!" dengan santainya Zalina mengakui bahwa uangnya telah dia pakai untuk arisan.
"Astaga Mama, dari mana aku mengganti uang sebanyak itu?"
"Itu terserah kamu Pah ... dari mana ya itu urusanmu bukan urusanku!" Zalina perlahan melangkah meninggalkan suaminya.
Darwin memijat kepalanya yang mulai terasa pusing. Dia bingung harus mengganti uang perusahaan yang di ambil oleh istrinya. "Pap, Reinard ada di kantor enggak?" Riana datang menghampiri sang papa, yang sedang pusing akibat ulah mamanya.
"Reinard ada dikantor, memangnya kau mau apa?"
"Em ... kalau begitu aku segera ke kantor untuk menemaninya, dia kan calon suamiku!" ucap Riana.
Terbesit di benak Darwin ide untuk menggagalkan Reinard dalam mengaudit laporan keuangan perusahaan. "Ya sebaiknya kau temui Reinard. Jangan lupa ajak dia pulang, lagian ini sudah hampir sore!"
"Baiklah, aku akan segera ke sana untuk mengajaknya pulang!" ujar Riana dengan semangat menuju ke perusahaan Mahardika Group.
"Dengan kedatangan Riana ke kantor, setidaknya mengulur waktu Reinard untuk mengetahui bahwa aku telah mengambil uang perusahaan!" gumam Darwin memagut dagu dengan kedua tangannya.
Sementara Yunita, baru saja terlihat merapikan makanan di meja makan. Tiba-tiba saja Darwin memanggilnya.
"Em ... Yunita!" panggilnya terhadap asisten rumahnya itu.
"Iya Tuan, ada apa?" Yunita menghampiri Darwin.
"Marcella sedang apa sekarang? Apa dia sudah makan?" tanya Darwin mengkhawatirkan keponakannya. Walau bagaimanapun Darwin tetap khawatir pada keponakannya itu, karena jauh di lubuk hatinya dia sangat kasihan pada nasib Marcella yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya.
"Belum Tuan, katanya kalau ma__,"
"Maksud Yunita, Marcella sudah makan siang tadi. Hanya makan malam saja yang belum! Bukan begitu Yunita?!" sela Zalina tidak membiarkan Yunita memberitahu kenyataan bahwa dia melarang Yunita untuk memberi makan Marcella.
Zalina memelototi Yunita, agar mau mengiyakan ucapannya. "I-iya Tuan, benar kata Nyonya!" jawab Yunita gugup.
"Owh ... begitu ya? Ya sudah kau boleh lanjutkan pekerjaanmu kembali!" Darwin meminta Yunita kembali melanjutkan pekerjaannya.
Yunita segera bergegas kembali ke dapur melanjutkan memasak makanan. Namun, pada saat lewat di depan kamar Marcella. Yunita tidak sengaja melihat Marcella layaknya seorang yang bisa melihat. "No-nona," panggil Yunita, dan membuat Marcella terlonjak kaget.
Marcella langsung berpura-pura tidak bisa melihat kembali, dengan pura-pura tidak tahu seseorang yang datang menemuinya.
"Siapa itu?" tanya Marcella gugup.
"Saya Nona, Yunita!" jawabnya.
"Owh ... saya pikir siapa?" Marcella menggerakkan tangannya. "Tante jangan sembarangan masuk kamar saya!" suara menegas itu sedikit mendominasi.
Yunita langsung meminta maaf karena dia sudah lancang masuk ke kamar Nonanya.
"Maafkan saya kalau begitu Nona! Sungguh saya minta maaf, karena lancang main masuk ke kamar Nona!" Yunita menundukkan kepalanya merasa takut Marcella marah padanya.
Setelah Marcella melihat raut sedih wajah Yunita karena di marahinya. Akhirnya Marcella memaafkan Yunita yang telah setia padanya selama ini. "Saya sudah memaafkan Tante, saya juga minta maaf karena memarahi Tante," ucap Marcella menatap ke arah lain, supaya Yunita tetap percaya bahwa dia memang buta.
"Maaf Nona, saya sebelah sini! Bukan di sebelah sana!" ujar Yunita segera menghampiri Marcella, lantaran Marcella terlihat memapar ke segala arah dengan tongkatnya.
'Ternyata aku hanya salah lihat, aku kira Nona Marcella sudah bisa melihat lagi!' batinnya sendu.
"Tante Yunita," lirih Marcella memeluk Yunita.
Marcella merasa sedih dengan kehidupannya yang begitu pahit saat ini.
"Sudah Non, jangan menangis ... ada saya yang akan selalu menemani Nona di sini!" Yunita ikut terisak sambil memeluk Marcella.
Di ruang tengah Zalina sedang duduk santai, tiba-tiba saja mencium aroma godong dari dapur. Ternyata Yunita melupakan masakannya. "Bau apa ini?" ucapnya bertanya, perlahan bangkit menghampiri dapur.
"Yunita!" Zalina mengencangkan suaranya memanggil asisten rumahnya itu. "Ke mana ini si Yunita? Ya ampun ... gosong?!" pekik Zalina segera mematikan kompor, lalu mencari keberadaan Yunita.
"Ya ampun ... Yunita ternyata kamu di sini! Kamu sadar tidak, makanan di dapur gosong! Ternyata kamu di sini?" Zalina berdiri di ambang pintu memelototi asisten rumahnya itu.
Marcella tersentak oleh ucapan Zalina yang begitu keras, membentak pada Yunita.
"Iya Nyonya, maafkan saya!" Yunita menundukkan kepalanya, memohon agar Zalina memaafkannya.
"Maaf, maaf! Kamu pikir dengan maaf bisa mengembalikan makanan yang gosong itu Ha!" Zalina terus memarahi Yunita di hadapan Marcella. Lalu beralih menatap pada Marcella.
'Si Buta ini, selalu saja merepotkan!' batin Zalina kesal menatap pada Marcella, keponakannya. "Marcella, maaf ya. Tante terpaksa ngomong seperti ini sama kamu, dengarkan baik-baik Marcella, kamu itu harus belajar mandiri tidak sedikit-sedikit Yunita dong ... banyak kok Orang buta di luar sana, mereka enggak manja seperti kamu!" tukas Zalina memperingatkan.
'HUH! Dasar kurang ajar ... Perempuan tidak tahu diri, seharusnya dia tahu posisi dia di sini seperti apa! Ucap Marcella dalam hati.
"Kamu marah ya sama Tante, maaf ya Marcella memang fakta kok, kamu itu beban keluarga banget di sini!" Zalina terus memarahi Marcella.
Marcella masih berusaha menahan diri, untuk tetap bersabar tidak meluapkan amarahnya.
"Cukup Tante!"
Bersambung ...