Chapter 13 - Episode 13

Setelah melakukan daftar ulang Albara, Laila, Doni dan Manto belum berniat pulang, Laila yang merasa lapar mengambil inisiatif mengajak temannya cari sarapan di kantin kampus.

"Laila lapar.... cari sarapan yuk" ajak Laila.

Melihat Albara terlihat bimbang Laila mengerti apa yang di pikirkan Albara.

"Jangan khawatir, saya yang traktir" ucap Laila menatap Albara.

Mereka berempat segera menuju kantin kampus, Kantin terlihat ramai kayaknya bukan mereka saja yang lapar, semua meja terisi, untung ada satu meja pas pintu masuk, Albara dan keempat temannya duduk, lantas mesan sarapan.

"Bara Fakultas apa? Tanya Manto.

"Bara lulus di Fakultas Ekonomi, Doni Fakultas Hukum, saya Fakultas Pertanian" malah Laila yang jawab.

"kamu sendiri Fakultas apa Man?" Tanya Laila balik bertanya.

"saya lulus di Teknik Informatika" jawab Manto

"Lai kapan kami di undang" tanya Manto menggoda Laila.

Laila tertegun sejenak

"Dua tahun lagi lah nunggu kak Ardi menyelesaikan sarjananya" jawab Laila mukanya memerah.

"Kalian janji ya, nanti bawak pacar masing masing" lanjut Laila.

"Siap nyonya". Teriak Doni dan Manto berbarengan.

Albara mulai merasa tak nyaman jika membicarakan pernikahan Laila, setelah menghabiskan makanan Albara segera pamit pada teman temannya, Albara merasa ada sesuatu yang hilang dari nya saat merka membicarakan pernikahan Laila.

"Saya mau lihat Kampus Ekonomi dulu" ucap Albara menghindari percakapan.

Tapi saat berdiri Albara bertabrakan dengan Sena yang masuk kekantin. Sena juga alumni satu sma dengan mereka, selama di sma Sena geng selalu menghina Albara. Melihat yang menabraknya adalah Albara Sena marah bukan main.

"Dasar gembel miskin, jalan tidak pakek mata. Tak sangka ya jika gembel bisa kuliah di universitas, pasti dia ngemis cari uang pendaftaran." teriak Sena.

Laila naik darah mau menampar Sena.

"Kamuuu....!" teriak Laila sambil mengangkat tangannya.

Albara segera memegang tangan Laila.

"Sudah lah .. Lai. Jangan bikin keributan" cegah Albara.

Albara bergegas menuju Kampus Ekonomi, yang terletak di samping perpustakaan. Sekitar dua ratus meter dari kantin. Kelihatan banyak juga mahasiswa dan mahasiswi yang berjalan menuju kampus ekonomi. Tiba tiba sebuah mobil jazz sporti warna merah edisi terbaru berhenti tepat di depannya. Mata Albara hampir copot saat melihat seorang gadis keluar dari mobil. Yunita itu Yunita, benar benar Yunita pikir Albara.

Yunita menghampiri Albara tanpa ba bi bu. Tangan Yunita langsung menampar pipi Albara.

"Kamu bajingan, kata Khoiril kamulah yang membayar seseorang memotret kita di taman wisata dulu" ucap Yunita.

Albara ingin mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat terucap, Khoiril keluar dari mobil menuju mereka.

"Jangan pernah mengganggu Yunita lagi" Ancam Khoiril lalu mengandeng Yunita ke mobil.

Khoiril bukan yang dulu lagi orang tuanya makin sukses dan sekarang punya mobil mewah. Dia juga seorang ahli taek won doo. Di Fakultas Ekonomi geng mereka sangat ditakuti. Setelah gagal merebut hati Laila Khoiril mencoba mendekati Yunita. Di Zaman trendi materi jadi ukuran tidak heran dia bisa menundukan hati Yunita yang lagi galau. Tidak mudah menundukkan Yunita yang masih punya kenangan khusus dengan Albara. Dengan kelebihan materi yang di miliki orang tuanya Khoiril dapat mendekati Yunita. Untuk melenyapkan kesan manis Yunita terhadap Albara, di buatlah cerita bohong tentang tragedi mereka di SMA.

Yunita yang sudah percaya dengan cerita bohong Khoiril, mulai membenci Albara hingga saat melihat Albara emosinya memuncak. Tampa bicara Yunita langsung menampar Albara.

Melihat kejadian ini semua mata menatap Albara dengan pandangan menghina. Tak tertanggungkan malunya Albara saat ditampar Yunita di hadapan banyak mahasiswa dan mahasiswi. Sekalipun tak ada lagi niat di hatinya untuk memiliki yunita. Tapi bagaimanapun sebuah kenangan di masa SMA tak dapat dia lupakan. Sekarang dia memang miskin tapi dia tidak pernah berharap di perlakukan Yunita seperti ini. Melihat para mahasiswa memandangnya dengan hina, akhirnya Albara mengurungkan niatnya menuju Kampus Ekonomi dan berbalik menuju parkiran dengan rasa malu lalu bergegas pulang.

***

Enam bulan berlalu dengan berbagai penghinaan di peroleh albara. Penderitaan nya memuncak saat akan bayar SPP semester dua, Albara gelisah karena tak sepeserpun dia punya uang, sedangkan batas waktu pembayaran hanya dalam tempo satu minggu. semakin dia pikirkan semakin tegang dia. Dunia semakin sempit bahkan seperti Neraka baginya jika hanya menghadapi perlakuan manusia dia biasa bertahan, tapi kebituhan akan uang yang sangat mendesak membuat dadanya sesak, kepalanya seperti mau meledak,

Albara menuju kantin wak Haji hanya sekedar mencari ketenangan. di pilihnya meja paling pojok yang cukup sepi.

"Wak, pesan air putih sama bakwan dua tambah saos" Albara memesan menu.

Albara berpikir ini sepertinya hari terakhir dia di kampus Universitas Kota Tapus. Dia hanya ingin menikmati suasana Kampus sekalipun sehari, saat Albara asik dengan lamunannya dia di kagetkan oleh Doni yang memegang bahunya.

"Sejak kapan kamu ke kantin gak ngajak ngajak" Doni berdiri di belakang Albara.

Doni mengambil tempat duduk di samping Albara lalu memesan dua gelas kopi.

"Ngopi Bara" Doni meletakkan satu gelas kopi di depan Albara.

"Terima kasih Don, ini mungkin hari terakhir Bara di kampus, rasanya tak mungkin Albara bisa bayar SPP semester dua" keluh Albara.

"Jangan di pikirkan Bara, tunggu saja ilham dari tuhan, jika ada nasib pasti tuhan beri jalan" ucapan Doni yang menghiburnya.

Sekalipun ucapan doni cukup menghibur tapi tidak mungkin Albara bisa tenang jika tidak ada jaminan materi untuk menopang kelangsungan hidupnya di masa depan. Apalagi berpikir jika kuliahnya akan gagal, sementara semua teman temannya akan menjadi Sarjana.

"iya sih Don, tapi di atas perhitungan 99 % Albara sudah gagal" keluh Albara.

"Syukuri aja kenyataan Bara, masih banyak yang bisa kita lakukan, sekalipun kita gagal jadi sarjana, yakin saja selagi hidup masih ada rezeki" Doni memberi support.

Tiba tiba hp Albara berdering panggilan dari nomor tak di kenal.

"Halo bisa bicara dengan Bara" suara seorang laki laki terdengar agak akrab.

"Ya saya sendiri" ucap Albara.

"Masih ingat saya?, saya abang Rolan, saya mau minta bantuan Albara bisa kan" lanjut Rolan.

"Insyaallah bisa bang" ucap Albara.

"Begini bara, Saya punya nazar kalau pertapaan saya enam bulan lalu berhasil, maka saya akan potong kerbau di Kota Tapus"

"untuk memenuhi janji saya saya mohon bantuan Bara yang urus, saya akan transfer uang tiga puluh juta untuk beli kerbau, dan persiapan lainya. Jika kurang nanti saya tambah" kata Rolan di telepon.

"Siap bang" ucap Albara.

"Buat acara di rumah kakek Sultan Murod tiga hari kedepan, insyaallah satu hari sebelum acara saya akan sampai di Kota Tapus" sambung Rolan di telepon.

"Baik bang" kata Albara menutup telepon.

"Don saya permisi ada urusan penting" ucap Albara pada Doni.

"wak hitung wak" kata Albara.

"kopi dua, bakwan dua semua dua belas ribu" kata wak haji.

"Don ini cuma dua ribu sisanya Doni yang tambah" Albara meninggalkan Doni yang masih menikmati kopinya.

****

Tiga hari kemudian pesta potong kerbau nazarnya Rolan di laksanakan di rumah Sultan Murod. acara sangat meriah, apalagi mereka juga mengundang tokoh tokoh penting di Kota Tapus. Kota Tapus jadi gempar, Rolan benar benar berhasil dalam pertapaannya, isu keberhasilan Rolan bahkan juga berhembus ke luar Kota Tapus.

Acara potong kerbau untuk nazar Rolan tetlaksana dengan meriah dari siang hingga sore tamu masih berdatangan. malam itu Rolan nginap di rumah Sultan Murod banyak ramu yang masih mengunjungi rumah Sultan Murod hanya sekedar ingin ngobrol mendengarkan pengalaman Rolan saat meditasi di Batu Diri.

Paginya Saat Rolan akan pulang Albara mengembalikan sisa uang yang di kirim Rolan dari 30 juta hanya habis 21 juta. Tapi Rolan menolak dan menyerahkan kembali pada Albara.

"Kakek Sultan Murod bilang kamu sedang kuliah dan dalam kesulitan membayar uang kuliah. Gunakan saja uang ini untuk keperluan kuliah bara" ucap Rolan menolak.

"Terima kasih bang Rolan" ucap Albara penuh suka cita.

Satu lagi permasalahannya memperoleh solusi tepat waktu, dengan uang tersebut Albara merasa lega, uang SPP yang jadi pikirannya akan terbayar.

Semenjak kabar keberhasilan Rolan meditasi menyebar, maka bayak orang yang mau mencoba untuk bermeditasi mencari sesuatu atau cuma sekedar mencari pengalaman spiritual. Albara sekarang jadi juru kunci pertapaan Batu Diri, lumayan untuk tambahan Penghasilan, sekarang Albara tidak lagi berkeluh kesah tentang kebutuhan hidupnya sehari hari.

****

Setahun sudah kuliah di unipersitas Kota tapus sekarang usia albara sudah hapir masuk 20 tahun, berkat profesinya sebagai pemandu wisata dan juru kunci pertapaan batu diri Albara sudah tidak terlalu kesulitan dengan biaya hidup, Bahkan Dari penghasilan sebagai juru kunci pertapaan batu diri Albara tidak lagi kesulitan membayar SPP di smester 3.

Albara sudah kuliah di semester 3 hari ini kuliah agak padat dari pagi hingga siang. Keluar dari kampus dia berpapasan dengan Doni dan Manto teman SMA nya, sepertinya mereka baru saja keluar dari kantin.

"Bara Kamu sudah punya pacar belum" tanya Doni.

"Kita punya waktu 1 tahun lagi, untuk menghadiri pernikahan Laila, ingat kita harus bawa pacar" tambah Manto.

"Saya belum punya... kalian bagaimana?" Albara balik bertanya.

"Kita juga belum, baru mau nyari, mana tau ada mahasiswi baru yang kecantol, kabarnya mahsiswi baru Fakultas Ekonomi ada tuh yang cantik" kata Manto.

"Kalau Fakultas Ekonomi itu jatah Bara" canda Doni sambil berlalu.

Albara merasa lapar Dia ingat tadi pagi bawa uang 20 ribu. Albara segera menuju kantin dan mesan nasi. Saat akan menghabiskan nasinya dia ingat uangnya telah di belikan bensin. Tergesa gesa dia habiskan nasinya kemudian menuju pemilik kantin.

"Mbak hitung makan saya, saya bayar besok saya lupa bawa uang" bisik Albara.

Tapi jawaban pemilik kantin mengagetkan Albara.

"Dasar gembel miskin, bayak alasan, gak bawak dompetlah, besok alasanmu apa lagi" teriak pemilik kantin memelotiti Albara.

Seperti biasa semua mata tertuju pada Albara dengan pandangan menghina. Albara sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini, dia hanya berdiri dengan pasrah. Emosi dan mentalnya sudah tertempa oleh perlakuan tidak baik terhadapnya. emosi yang terkontrol, tabah dan sabar seperti tersusun rapi membentuk wataknya.

"Mbak ... Biar saya yang bayar," kata seorang gadis di meja pojok.