Seorang laki-laki matang berusia kurang lebih 50an tahun, duduk bersila di bawah rindangnya pohon beringin kota margin. Laki laki itu memandang atas-bawah komat kamit mempelitir rumbai akar pohon yang menjuntai dari atas jatuh kebumi.
"163... 164... 165... 166... 167... seratus enam puluh delapan... seratus enam puluh sembilan.. seratus tujuh puluh.... "
"Awas.. kakek..."
Teriak seorang pemuda yang berlari kencang bak angin menjumpai laki-laki tua itu dari arah barat. Laki-laki itu tidak bergeming, ia terus melanjutkan kegiatannya tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang sudah porak poranda
"171... 172... 173.. seratus tujuh puluh empat.. seratus tujuh puluh lim~"
Brukk !
Sebuah dinding semen, seukuran kamar orang dewasa jatuh dari atas tepat di titik kepala laki-laki tua itu bersila. Daun pohon beringin berhamburan pohonnya pun penyok terhimpit dinding semen padat, darah mengalir dari bagian bawah semen , langkah pemuda itu terhenti. Wajahnya merah padam, air mukanya bak keruh setelah hujan. Ia menjatuhkan dirinya ketanah basah bekas rintik hujan tangung tadi malam.
Pemuda itu memejamkan matanya, di kepalnya tangan kanannya lalu di hentakkan ketanah berapa kali.
"sial, sial, siaaaal"
Pemuda itu berteriak sekuat kuatnya, ia melepas penat didadanya, lobang di hatinya kini semakin membesar makin dalam.
"sial, aaaaaaaa"
Air matanya mengalir deras, cairan putih bening keluar dari lubang hidungnya tanpa sengaja.
"Lagash ...."
Seorang wanita berusia 24 tahun berpakain tertutup serba hitam, syal warna senada melilit di lehernya. Tubuh wanita itu tidak terlalu tinggipun tidak juga pendek, tinginya di perkirakan 160 cm, tetapi di zaman ini tidak ada lagi yang perduli akan tinggi tubuh seseorang.
"apa yang kau lakukan, hei lihat aku "
Wanita itu mengungcangkan tubuh lagash yang terpuruk akan keadaan yang tidak baik-baik saja di sekitarnya.
"semua yang tewas hari ini telah berada di ujung takdir mereka, itu bukan salahmu atau salahku ataupun salah pasukan kaveleri, kita semua sudah berusaha maksimal, tidak-bahkan lebih dari kapasitas kita "
Wanita itu menghampus air mata lagash perlahan, di lihatnya pelan-pelan wajah laki-laki yang sedang tertunduk putus asa itu, di ambilkannya syal hitam dari lehernya lalu di pindahkan menuju leher jenjang pemuda di hadapannya.
"lagash, aku tau, bahkan semua orang tau. Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang bahkan untuk diri kita sendiri saja kita tidak mampu, kau harus menyadari itu, oke.. "
Wanita itu bangkit dari tempatnya, ia bermaksud pergi dari tempat yang nampak semeraut dari berbagai sisi, tangan lagash menahan tubuh yang kurus ideal itu ia menarik secarik sisi baju sang wanita yang hendak beranjak.
"tampar aku, geria"
Plaak ~
Wanita itu menampar lagash tanpa ragu, tangannya yang kasar benar-benar berasa sakit di pipi kanan lagash.
"....." wajah dingin wanita itu menatap lagash cukup tajam tanpa berkata apapun.
"ahaahaa, sial rasanya benar-benar sakit "
Kedua kaki lagash tegas berdiri, pipi yang merah sebelah ia elap beserta sisa air matanya yang terurai beberapa menit lalu. Ia menarik nafas panjang kemudian mengembusnya dengan perlahan.
Di gengamnya tangan sang wanita, kaki kanannya maju lebih dahulu memulai langkah pertama setelah putus asanya hilang
"ayoo geria, kita masih belum kalah !"
Suara tegas lagash mengalir dingin dari uluh hatinya, menyentuh kalbu yang terasa nyaman di dengar.
********
Hari ini adalah hari ke100 aku berugas sebagai anggota kavaleri K-NIL angkatan 179 orde baru. Namaku lagash tanpa nama belakang, memang tidak penting nama belakang atau drajat seseorang di dunia ini, massa ini sudah benar-benar hancur tepat 3 hari lalu, orang-orang merayakan tahun baru 3030, mereka seakan akan tidak merasakan susah sedikit pun padahal kami sedang di kepung maut setiap hentakan nafas.
Tidak ada tanah subur, air bersih yang tercemar, pakaian kain tambalan berlapis. Disini di kota margin ibu kota dokunia adalah satu-satunya tempat yang masih didiami manusia yang berakal sehat. Jauh di belahan bumi lain, mereka yang bertahan hidup telah hilang akal sehatnya demi sesuatu yang bisa di cernah usus, bahkan beberapa dari mereka menyerahkan hidupnya sendiri demi melepaskan belengu kepatuhan pada makanan. Konon katanya, dokunia adalah negeri yang paling subur di bumi ini, banyak orang penting yang tinggal disini. Tapi dulu ya dulu hanya cerita dongeng yang di ceritakan nenek nenek kepada cucunya sebelum tidur.
Dokunia yang ku kenal adalah tanah gersang, air kuning dan tangisan orang tua setiap saat kehilangan putra dan putri mereka. Jangan tanya apa yang kami konsumsi sehari-hari, kau pasti tidak akan menelan sedikit makanan disini jika kau tau bahan-bahannya. Saat aku pertama kali memakan makanan itu rasanya seperti menelap sekumpulan pasir putih yang di bekukan kemudian di asinkan. Terlihat sangat buas dan liar, aku sampai menangis hanya sekedar menelan satu potong sebagai penganjal perut.
Aku tidak tau lahir dimana, tumbuh besar di kota apa, siapa orang tuaku bahkan untuk diriku sendiri aku benar-benar tidak tau, yang ku ingat seutas kain hitam melilit di tubuhku yang penuh darah. Orang orang berkerumun memandangku kala itu, mereka mengatakan aku jatuh dari atas langit, hhahaa sangat aneh bukan ?
Dan yang lebih anehnya lagi, sampai saat ini aku masih hidup tanpa luka lebih dari sehari walaupun ada bekasnya tapi seingatku bekas luka itu sudah ada sejak dulu kala.
Wuussssssss....
"lades, anak ini masih hidup.. cepat.. lades..."
"hei.. bangun nak.. bangun.. kau bisa mendengarku ?"
"tidak, dia sudah tewas, kuburkan dia bersama pemuda yang satunya lagi "
Tidak... tidak... aku masih hidup.. jangan tinggalkan aku... disini dingin sekali....
Syuuuutttt.....
Wuuusss.....
"Huuh.. huuh..huuh..."
Angin semilir masuk menuju jendela kayu reot , tubuh lagash beruringan tak karuan, tangannya terangkat keatas, air matanya berlinang sambil tertutup, mulutnya komat kamit nafasnya tersengal sengal.
Syutttt....
"Huh..huh..huuh.."
Satu hentakan mata lagash terbelalak terbuka lebar, peluh menghujan di kening bentuk M nya, nafasnya tersengal-sengal tak beraturan ia segera bangun dari bangku kayu tanpa alas di bawahnya.
Sebuah mimpi buruk yang selalu membersamainya setiap kali ia menutup mata masih saja setia mengikuti langkah sang pemuda 25 tahun itu. Ia berdiri berjalan menuju termos kecil, menuangkan air bening ¼ memenuhi cangir sengnya.
Ia meminum air itu sambil berjalan melihat kearah jendela, sepi.. tidak ada siapapun, suara alam yang mengerakkan debu halus di sertai kerikil kecil terdengar jelas di telinganya. Matahari masih terik, cahayanya masih sangat panas jika menyentuh kulit. Setelah puas melihat lihat ia meletakkan gelasnya ketempat semula.
Lagash mengambil mantel kulit dan penutup hidungnya, ia berjalan menuju pintu sembari mengenakan mantelnya. Pedang mengkilap di balik pintu di ambilnya lalu di masukkan kedalam sarung hitam bercorak alamanda kecil yang artistik.
Wussss....
Angin kecil menerbangkan debu halus beserta beberapa sampah plastik ringan hampir lebur masih manjadi pemandangan sehari-hari.