"Lea—"
"Bu, Lea sudah menuruti semua permintaan ibu untuk membantu melunasi utang mendiang ayah. Sekarang beri Lea waktu untuk menikmati masa lajang Lea yang tidak lebih dari 30 hari."
***
"Ada masalah lagi?" tanya Radi, melihat raut Lea yang seperti benang kusut.
Lea menggeleng, berarti ia baik-baik saja, namun tidak dengan raut dan hembusan napasnya yang seperti memikul banyak beban.
"Matamu tidak dapat berbohong."
"Ha? Padahal aku sudah mengompresnya dengan es agar tidak bengkak," ucap Lea, memegangi area matanya dan memastikan kalau sudah tidak bengkak lagi karena menangis.
"Kamu menangis?" tanya Radi lagi.
"Kamu saja sudah menebak seperti itu, untuk apa lagi bertanya," gerutu Lea.
"Aku berkata kalau matamu tidak dapat berbohong bukan karna matamu yang bengkak akibat menangis, tapi tatapan serta rautmu memperlihatkan kalau dirimu sedang memikul banyak beban. Apa ada masalah lagi? Kau bisa menceritakannya padaku. Ninda masih tidak masuk sekolah sepertinya," ujar Radi.
"Huft … iya … Ninda masih belum sembuh. Lalu tentang mata dan raut ini … hmmm, apa kamu bisa membantuku?"
***
Radi membantu Lea mencabuti rumput yang sudah mulai meninggi dan menyerupai ilalang. Bahkan ada rumput putri malu yang juga menjalar ke bagian tanah tersebut.
"Awas Lea!" seru Radi menari tangan Lea, menahannya saat hendak mencabut tanaman tersebut. "Nanti tanganmu terluka. Ini berduri," ujarnya kemudian.
Lea melipat kedua bibirnya dan mengurungkan niat tersebut. Kemudian Lea mengibaskan kedua tangannya dengan menepuk agar tanah dan debunya terkibas. Kemudian ia mengambil sebuah botol dari dalam tas nya.
"Baca doa dulu," ucap Radi, menahan Lea yang hendak membuka tutup botol tersebut.
"Iya," balas Lea, memilih untk meletakkan botol tersebut di atas tanah.
"Mau berdoa dalam hati atau aku yang pimpin?" tanya Radi.
"Aku mau memperkenalkan kamu kepada ayah dulu," jawab Lea.
Radi membesarkan matanya. Ia tertegun memilih untuk diam melihat Lea. Radi menelan salivanya berulang kali, ada perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, entah apa dan bagaimana. Diperkenalkan tanpa mendapat jawaban, mungkin akan dilakukan oleh Radi kelak, yakni memperkenalkan seseorang kepada mendiang ayahnya yang juga telah tiada sejak ia kecil.
"Ayah, Lea datang. Kali ini Lea datang bersama teman Lea. Bukan Ninda ataupun Kak Ben. Ini Radi, teman baru Lea di sekolah. Ayah, apa Ayah tahu kalau Lea akan menikah dalam waktu dekat ini? Apa Ayah tahu kalau Lea sangat ingin menikah muda? Meski alasan menikah Lea untuk membuat kuburan Ayah lapang, namun Lea melakukannya sama sekali tidak terpaksa," tutur Lea, tak menutup kemungkinan air matanya berjatuhan. Lea mengusapnya, tidak ingin Radi melihat kalau dirinya menangis. Ada dua kemungkinan yang membuat Lea menangis saat ini, yakni menahan rindu kepada ayahnya atau menutupi dusta dan mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.
'Lea … dengan caramu yang seperti ini, aku menjadi sedikit kagum padamu,' batin Radi, ia tersenyum memandang Lea.
"Ayah, sekarang Lea mau berdoa untuk Ayah. Lea janji, satu hari sebelum hari pernikahan Lea akan datang lagi menemui Ayah, untuk meminta izin dan restu dari Ayah."
Usai menyampaikan apa yang ingin disampaikannya, Lea segera menunduk dan berdoa. Begitupun Radi yang ikut berdoa. Setelah itu, Lea menyiramkan air di atas makam milik sang ayah, ia juga memberikannya kepada Radi agar ikut menyiraminya.
"Aku tidak membeli bunga," ucap Lea, seperti menyesal.
"Doa adalah yang terbaik. Kapan-kapan kita datang lagi dan membawa bunga yang harum untuk ayahmu, ya," balas Radi, tidak ingin Lea menyesal.
"Terima kasih Radi," ucap Lea, memberikan senyum terbaiknya untuk Radi. "Ayo kita pulang!" ajaknya kemudian.
Lea beranjak dan segera melangkahkan kakinya keluar dari area pemakaman ayahnya. Sementara Radi masih berada di sebelah makam mendiang ayah Lea.
"Paman, izinkan saya untuk menjaga Lea. Saya hanya tidak ingin Lea menderita lagi."
***
Lea berdiri di hadapan dinding yang menggantung bingkai foto ayahnya. Foto yang selalu menjadi kenangan, yang membuat Lea selalu merindu setiap kali melihatnya.
"Sedang rindu ayah?" tanya Lesta, yang datang menghampiri anaknya dengan memberikan segelas susu hangat.
"Aku selalu merindukan ayah, Bu," balas Lea, masih menatap foto tersebut.
"Ayah pasti bangga padamu. Kamu sudah semakin dewasa saat ini."
"Dewasa dengan menikah maksud ibu?" tanya Lea, kini ia menoleh pada sang ibu, menatapnya sendu. "Aku melakukannya tulus, bukan karena paksaan. Meski terlihat seperti itu, namun aku benar-benar ingin berbakti dan membuat kuburan ayah lapang dengan menuntaskan semua tanggungannya di dunia," lanjut Lea menjelaskan.
Lesta tersenyum, memberi usapan lembut di kepala anaknya.
"Kamu memang anak Ibu yang paling bisa diandalkan," ucapnya.
"Anak ibu hanya aku seorang, bukan? Kalau bukan aku yang dapat melakukannya, lalu siapa lagi?" tanya Lea, mencercanya. Namun seringainya kemudian membuat suasana menjadi tak lagi dingin. Keduanya saling berbalas senyum dan terkekeh.
"Ibu akan meminta izin dan restu kepada mendiang," ucap Lesta.
"Bagaimana caranya?"
Lesta merubah posisinya menghadap pada bingkai foto tersebut. Ia melihatnya dengan senyuman.
Huft ….
Lesta menghembuskan napasnya, seperti tengah bersiap-siap.
"Sayang, aku meminta izin dan restu darimu untuk menikahkan Lea dengan anak dari Rudolf, sahabat lamamu. Meski alasan menikahnya untuk menyelesaikan semua tanggunganmu di dunia, namun anak kita sangat tulus untuk melakukannya. Baktinya terhadap kita, memang tiada banding dengan yang lain. Terima kasih telah menjadi suamiku selama 15 tahun, terima kasih telah menjadi ayah Lea hingga detik ini. Aku dan Lea sangat menyayangimu, Darius Ivano Andra," tutur wanita 40 tahun yang memiliki nama lengkap Lesta Margaretha.
***
Hari ini adalah hari dimana Lea akan bertemu dengan calon suaminya. Ada perasaan cemas, bukan karena ia yang akan kecewa saat melihatnya, namun bagaimana jika itu terjadi sebaliknya? Bukankah akan menjadi beban berkelanjutan bagi Lea?
Di sekolah, Lea masih ditemani oleh Radi. Ninda sudah sembuh, namun masih dalam masa pemulihan dan butuh waktu satu hari untuk melakukan bed rest. Usai jam sekolah berakhir, Lea segera bergegas untuk keluar dari area sekolah. Ia melihat Ben dengan motornya sudah menepi di depan sekolah. Lea tersenyum dan segera menghampirinya.
"Maaf Kak, membuatmu menunggu terlalu lama," ucap Lea.
"Aku baru tiba lima menit lalu," balas Ben, memberikan helm kepada Lea.
"Kemarin-kemarin … aku menolak ajakan pulang bersama dari Kakak. Maaf sekali, Kak," lanjutnya, permintaan maafnya yakni bukan hanya untuk penantian 5 menit Ben di hari ini, namun juga untuk beberapa hari sebelumnya, dimana Lea selalu menolak pulang bersama dengan Ben, karena ia memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman barunya –Radi-.
"Tidak masalah. Selama kamu belum menikah, setidaknya kita masih bisa bersama seperti ini," ujar Ben dan Lea membalasnya dengan senyum sumringah.