Chereads / Before I Married / Chapter 13 - Bertemu

Chapter 13 - Bertemu

"Hey hey! Kalian pernah makan es krim bersama tanpaku?" tanya Ninda.

Lea dan Radi saling menoleh, kemudian mereka terkekeh bersama.

"Kok ketawa?!"

"Kami bahkan sudah melakukan banyak hal tanpa kamu, Ninda …," ujar Radi.

"K—kalian …."

"Jangan berpikir lebih," ucap Lea seolah menyangkal.

"Kalian pasti selalu main setiap pulang sekolah! Kalian pergi tanpa aku?!" gerutu Ninda.

Lea dan Radi saling menoleh dan kemudian terkekeh.

"Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu!" gerutu Ninda masih saja marah.

"Ya memang tidak ada yang lucu, Ninda … hanya saja … aku dan Lea hanya pergi untuk menenangkan diri. Lea butuh kamu saat itu dan aku hanya berusaha untuk menggantikanmu sementara waktu," jelas Radi, tidak ingin menambah emosi Ninda.

Ninda masih merengut, sembari menjiat es krimnya yang sudah hampir mencair. Ia kemudian berbalik badan, hendak melanjutkan perjalanannya. Namun tak sengaja Ninda menabrak seseorang yang juga sedang berjalan.

"Sial! Hati-hati, dong!" gerutu seorang wanita yang kesal karena bajunya terkena noda es krim milik Ninda.

"Lea?"

"Kak Ben?"

Seorang pria yang sedang berjalan bersama dengan wanita yang tidak sengaja ditabrak oleh Ninda itu adalah Ben. Lea diam dan melirik ke arah tangan Ben yang sedang menggenggam tangan wanita cantik itu.

"Ben, ini gimana?!" gerutu wanita itu meminta Ben untuk membantu membersihkannya.

"Kamu cari toilet dan bersihkan, sementara pakai kemeja aku saja," balas Ben, kemudian ia melepas kemejanya dan ia berikan kepada wanita itu.

"Kamu sendiri?"

"Nanti aku menyusul. Aku mau bicara sebentar dengan mereka."

"Jangan lama-lama. Aku tunggu di sana," ucap Cheryl sama sekali tidak terlihat ramah.

Wanita itu berlalu dan meninggalkan Ben yang kini bersama dengan Lea dan kedua temannya.

"Kak Ben … maaf … aku benar-benar tidak sengaja," ujar Ninda mengatupkan kedua tangannya. Ia merasa sangat bersalah.

"Tidak masalah. Cheryl hanya kaget saja. Ia tidak sekeras yang kalian lihat barusan," balas Ben, mengusap rambut Ninda agar tidak lagi merasa cemas. "Oh iya, kalian sedang apa di sini?"

"Ninda menraktir kami makan es krim, Kak. Sebagai ganti karena tiga hari tidak sekolah," balas Lea.

"Tapi Ninda baru saja sembuh, bukan? Kenapa makannya es krim?" tanya Ben lagi.

"Aku juga mengatakannya begitu dari awal. Tapi sepertinya Ninda rindu makan es krim karena selama sakit yang dikonsumsinya hanya bubur, sup dan buah saja," ujar Radi, ia yang menjawabnya.

"Ya sudah, nikmati hari kalian, ya … sepertinya aku harus menyusul Cheryl. Aku ingin memastikan kalau kemejaku cukup dengannya."

"Hmmm, Kak Ben sebentar," ucap Lea menahan Ben yang hendak pergi. Lea meminta Radi untuk memegangi es krim miliknya, sementara ia membuka tasnya, mengambil sesuatu dan mengeluarkannya dari dalam sana.

"Berikan ini pada Kak Cheryl. Sepertinya ukuran kami sama," ujar Lea, memberikan jaket sweater miliknya kepada Ben, untuk dipinjamkan kepada Cheryl.

"Terima kasih, ya. Nanti aku kembalikan di rumah," balas Ben menerima sweater tersebut.

Ben segera berlalu dan menuju ke arah yang tadi dilewati oleh Cheryl, dimana kini Cheryl berada di toilet umum. Sementara Lea, Radi dan Ninda masih berdiri di tempat yang sama.

"Es krimnya, Lea," ucap Radi memberikan lagi es krim milik Lea.

***

Lea melamun di depan laptopnya. Ia bukan mengerjakan tugas, melainkan memikirkan kejadian tadi siang saat bertemu dengan Ben. Selama ini Lea berpikir kalau Ben hanya berbual saja soal kekasihnya –Cheryl-. Tapi tak disangka kalau Cheryl itu memang nyata, bahkan ia sudah melihatnya sendiri. Cheryl adalah seorang wanita yang sempurna untuk Ben. Sangat cocok dan Lea tidak mampu membandingkan dirinya dengan kekasih Ben itu.

"Semoga pilihan Kak Ben memang yang terbaik. Aku tidak boleh berkecil hati seperti ini, sementara aku sendiri juga akan menikah sebentar lagi. Sangat tidak pantas jika aku tidak merelakan Kak Ben bersama dengan Kak Cheryl," gumam Lea, berusaha meyakinkan dirinya untuk bisa merelakan Ben yang sudah memiliki kekasih. "Aku sudah menikah ataupun Kak Ben yang sudah memiliki kekasih, tetap saja tidak akan merubah hubungan kami yang hanya sekadar adik dan kakak, tetangga."

Tok tok tok

Pintu kamar Lea diketuk dan kemudian dibuka oleh Lesta. Sang ibu memperlihatkan kepalanya dan memberikan senyum kepada anaknya.

"Boleh ibu masuk?" tanya Lesta.

"Masuk saja, Bu," balas Lea memberi senyuman juga.

Lesta masuk ke dalam kamar Lea dengan kembali menutup pintu kamarnya. Ia kemudian berjalan menghampiri tempat duduk Lea kini dan berdiri di hadapan sang anak.

"Duduk, Bu," pinta Lea kepada Lesta untuk duduk di tepi ranjangnya, begitupun ia yang juga berpindah tempat duduk ke tepian ranjang. "Ada apa, Bu?"

"Hmmm, baru saja Paman Rudolf menghubungi ibu. Beliau akan datang lagi besok siang bersama Vino. Semoga saja tidak ada halangan seperti sebelumnya, ya. Entah mau kapan lagi kalian bertemu sementara pernikahan kalian tinggal dua minggu lagi," tutur Lesta, sembari menepikan rambut Lea ke belakang telinga.

"Hmmm … aku berharap demikian. Dua minggu juga sebenarnya kurang untukku berkenalan dan melakukan pendekatan dengan Vino sebelum menikah. Tapi apalah daya, Vino sepertinya memang sangat sibuk, ya Bu?" balas Lea, sebenarnya sangat ingin bertemu dengan Vino secara langsung, bukan hanya sebatas foto.

"Paman Rudolf juga bilang, kalau beliau sudah menunjukkan fotomu kepada Vino. Responnya sangat baik, bahkan ia yang meminta kepada ayahnya untuk seger bertemu denganmu. Sepertinya ia tertarik denganmu. Anak ibu yang satu ini memang sangat cantik dan menarik," ujar Lesta, membanggakan Lea yang nyatanya adalah anak tunggal.

"Anak ibu yang satu ini … anak ibu kan memang hanya aku seorang …," gerutu Lea, karena ibunya seolah menganggap kalau Lea adalah salah satu anaknya yang terbaik, sementara Lea adalah anak satu-satunya, bukan salah satunya.

"Iya, sayang … iya … anak ibu satu-satunya yang terbaik, yang diciptakan oleh Tuhan untuk dititipkan pada ibu," balas Lesta dengan penjelasan.

Keduanya saling melempar senyum dan terkekeh. Akhir-akhir ini mereka terlihat rukun, tidak ada lagi amarah dari Lesta ataupun ketakutan Lea. Lesta terlihat begitu menyayangi Lea yang nyatanya hanya Lea lah harta satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Begitupun dengan Lea yang sudah tidak lagi berprasangka buruk atas amarah sang ibu.

"Bu, ada yang ingin aku katakan," ucap Lea.

"Iya? Apa tuh?"

"I love you …."

***

Lea dan Ninda keluar dari kelas dan berjalan bersama menyusuri koridor untuk keluar dari area sekolah. Terlihat dari jauh sepeda motor Ben yang sudah terparkir di depan pintu gerbang, untuk menjemput Lea.

"Ninda, aku duluan, ya …," ucap Lea segera berlalu dengan lambaian tangannya untuk Ninda.

"Bye …! Hati-hati calon istri!" balas Ninda, begitu bersemangat.

Lea melangkahkan kakinya dengan berlari kecil, untuk menghampiri Ben yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Kak Ben!" sapa Lea.

"Kamu … Lea?"