Chereads / Before I Married / Chapter 14 - Gugup

Chapter 14 - Gugup

"Ninda, aku duluan, ya …," ucap Lea segera berlalu dengan lambaian tangannya untuk Ninda.

"Bye …! Hati-hati calon istri!" balas Ninda, begitu bersemangat.

Lea melangkahkan kakinya dengan berlari kecil, untuk menghampiri Ben yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Kak Ben!" sapa Lea.

"Kamu … Lea?" tanya seseorang dari arah yang berlawanan. Seorang pria yang mengenakan almamater yang sama dengan Ben. Terlihat familiar, namun Lea tidak tahu dimana ia pernah bertemu dengan pria tersebut.

"Iya," balas Lea mengernyit. Ia masih heran dan penasaran dengan pria yang kini mengajaknya bicara dan mengganggu waktunya bersama Ben.

"Oh, syukurlah aku tidak salah orang. Perkenalkan, aku Vino. Ibumu memberikan alamat sekolah ini agar aku bisa menjemputmu pulang—"

Braaagh!

Helm yang dipegang oleh Lea terlepas dari tangannya.

"Lea?" panggil Ben menyadarkan Lea yang seperti tersentak ketika mengetahui kalau pria yang kini ada di hadapannya itu adalah calon suaminya.

Vino menunduk mengambilkan helm tersebut untuk Lea.

"Kamu kenapa, Lea?" tanya Vino cemas dengan Lea yang terlihat syok.

"Tidak apa-apa," jawabnya masih dengan tatapan bengong. "A—ayo kita pulang, Kak Ben!" ajak Lea kemudian.

Vino dan Ben saling menoleh, menatap dengan kebingungan.

"Kamu … tidak pulang bersamaku?" tanya Vino, heran karena yang diajak oleh Lea bukanlah dirinya, melainkan Ben.

"O—ouh … m—maksudku … ayo pulang, Vin," ajak Lea merevisi ucapannya. Ia melirik pada Ben dan memasang raut penuh penyesalan karena tidak dapat pulang bersama dengan Ben. Ben yang memahami situasinya justru terlihat senang karena Lea bisa bertemu dengan calon suaminya, meski saat ini Lea masih sangat gugup.

"Hati-hati, ya. Nanti kita bertemu di rumah," balas Ben.

Lea berlalu bersama Vino. Mereka menuju ke sebuah mobil yang terparkir di seberang sekolah itu. Sementara Ben masih tersenyum melihat Lea yang berlalu bersama Vino.

"Semoga kamu bahagia, Lea …."

***

"Pakai seat belt nya," pinta Vino, sebelum mengemudikan mobilnya untuk mengantar Lea pulang.

Lea mengangguk dan segera memakai seat belt nya. Kemudian ia hanya bisa diam dan berkali-kali menelan salivanya untuk menahan rasa gugup yang kini melanda. Bagaimana ia tidak gugup, pertemuan pertamanya dengan calon suami terjadi begitu dadakan serta belum ada persiapan apapun dari Lea.

'Rambutku berantakan ya? Wajahku sudah kusam? Apa aku bau keringat? Aaaah, kenapa kesan pertamanya seperti ini,' gerutunya dalam hati, ia sangat malu karena melihat kesempurnaan Vino yang bukan hanya sekadar gambar saja, namun secara nyata juga sangat tampan dan sempurna.

"Kenapa, Lea?" tanya Vino yang merasa canggung karena sejak tadi Lea hanya diam saja.

"Hmmm, tidak ada apa-apa. Hanya saja … aku … masih canggung," jawab Lea malu-malu.

"Kenapa harus canggung. Sebentar lagi kita adalah suami istri, bukan? Anggap saja seperti kamu sedang bersama dan berbicara dengan Ben," balas Vino, ia benar-benar baik dan memahami Lea. "Oh iya … aku baru tahu kalau ternyata kamu sekolah di sekolah yang sama dengan adikku," ujarnya kemudian.

"Eu … begitu, ya … hmmm, oh iya … dilihat dari almamaternya … sepertinya kamu dan Kak Ben berasal dari kampus yang sama, ya?" tanya Lea, ia tidak melanjutkan pembicaraan yang dibahas oleh Vino dan mengganti topik pembicaraan mereka.

"Ouh … iya. Aku mengambil fakultas teknik, sementara aku tidak tahu Ben berada di fakultas apa," balas Vino, ia juga tida memedulikan pembahasan sebelumnya.

"Kak Ben mahasiswa kedokteran semester dua," ujar Lea, seolah tengah memperkenalkan Ben kepada Vino.

"Ben baru semester dua kamu panggil Kakak, sementara aku yang sudah berada di semester enam dengan santainya kamu panggil 'Vino'. Kamu ini memang benar-benar membuatku gemas," ujar Vino terkekeh.

Lea membesarkan matanya dengan bibir yang ia lipat keduanya. Kemudian Lea menyeringai, merasa bersalah karena tidak memanggil Vino dengan sebutan 'Kak'.

"Tapi aku lebih nyaman memanggilmu nama, tanpa embel-embel 'Kakak'. Boleh, kan?"

Vino melirik pada Lea dan kemudian mengusap kepala Lea dengan tangan kirinya.

"Apapun itu, terserah padamu saja, Lea …," ucap Vino, ia sangat gemas pada calon istrinya itu.

Perjalanan panjang yang telah dilalui oleh Lea dan Vino, membawa mereka ke kediaman Lea dan ibunya. Vino menepikan mobilnya dan meminta Lea untuk segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah untuk bergegas.

"Kamu tidak singgah?" tanya Lea heran.

"Malam ini aku dan keluargaku akan datang untuk lamaran resminya. Jadi kamu dan ibumu harus segera bersiap. Tadi kulihat juga ada beberapa tetangga yang membantu dan sepertinya … Ben juga ikut membantu," ujar Vino, kemudian menunjuk ke arah sepeda motor yang terparkir di halaman rumah Lea. "Dia sudah lebih dulu tiba dari kita."

Lea menoleh ke arah rumahnya yang terlihat ada banyak sandal di teras rumahnya. Sepertinya benar, kalau ada tetangga yang membantu ibunya di rumah.

"Kalau begitu … aku juga akan membantu ibu dan yang lainnya. Terima kasih karena sudah menjemput dan mengantarku pulang, Vino," ujar Lea, kini sudah memandang calon suaminya lagi.

"Sama-sama. Hmmm, boleh pegang?" tanya Vino, meminta izin sebelum lancang menyentuh Lea.

"S—silakan," balas Lea.

Tangan Vino mengarah pada pipi Lea. Ia mengusapnya dengan lembut serta melontarkan senyuman kagumnya kepada Lea.

"Sampai ketemu nanti malam, ya," ucap Vino, memberikan salam perpisahan kepada Lea.

"Iya …," balas Lea, juga mengusap punggung tangan Vino yang masih berada di pipi Lea.

Tatapan itu terjadi beberapa detik dan Lea akhirnya tersadar kalau dirinya harus segera masuk ke dalam rumah dan membantu ibunya.

"Sampai jumpa!" ucap Lea melambaikan tangannya, mengiringi mobil Vino yang berlalu.

Lea kemudian berbalik badan dan masuk ke dalam rumahnya yang ternyata benar, ada banyak orang di dalam sana sedang mempersiapkan makanan untuk lamaran Lea malam ini. Ben juga terlihat ikut membantu ibu-ibu yang sedang memasak, meski hanya bagian membawakan dan mengambilkan sesuatu yang berat untuk dijangkau oleh para ibu-ibu.

"Lea, sudah pulang?" sapa Lesta yang kemudian menghampiri Lea.

"Lea ganti baju dulu, ya Bu. Nanti Lea menyusul bantu ibu dan yang lainnya.

"Kamu istirahat saja, ya … masakannya juga sudah hampir selesai, kok. Hanya tinggal dipanaskan saja nanti sore. Ibu dan yang lainnya juga hanya tinggal menggeser kursi saja agar ruang tamu terlihat luas. Kamu tetap berada di kamar saja, ya," balas Lesta, yang tidak ingin anaknya ikut membantu, yang nantinya akan kelelahan.

"Benar ibumu bilang , Lea. Calon pengantin itu ada baiknya di kamar saja, tidak perlu membantu apa-apa. Serahkan saja semuanya pada kami, ya," sahut mama Ben yang juga berada di sana untuk membantu.

Lea tersenyum, jelas merasa senang karena ia bisa bermalas-malasan di kamar, tanpa harus membantu sama sekali.

"Ok!"