"Radi … apa kamu tidak berniat ingin menikahiku?" tanya Ninda, tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan yang tidak biasa.
"Kenapa aku harus menikahimu?" Radi balik bertanya karena bingung.
"Agar aku dan Lea bisa satu rumah. Kami akan bersama setiap hari, karena suamiku dan suami Lea adalah adik dan kakak," jawab Ninda, memiliki khayalan tingkat tinggi.
"Andai saja lamaran ini bisa digantikan," ujar Radi.
"Kamu yang akan melamarku?" tanya Ninda bersemangat.
"Aku yang melamar Lea dan kamu akan kuserahkan pada Vino."
"BAGUS! Karena Kak Vino jauuuuuuh lebih tampan darimu," balas Ninda semakin sumringah.
"Sedang membicarakan apa?" tanya Vino yang tiba-tiba menghampiri, ikut bergabung dengan Lea, Ninda dan Radi. "Kalian ternyata saling kenal, ya?"
"Kamu kenapa tidak bilang kalau adikmu satu sekolah denganku?" tanya Lea.
"Aku sudah bilang, loh. Tapi kamu tidak menanggapinya dan membicarakan perihal almamaterku yang sama dengan almamater Ben," jawab Vino, mengingatkan kejadian tadi siang kepada Lea.
Lea menyeringai. Ternyata Vino tidak salah, sudah mengatakannya namun Lea yang tidak menanggapinya.
"Benar juga …," gumam Lea.
"Baguslah kalau kalian memang saling kenal seperti ini. Aku bisa lebih mudah untuk menitipkan Lea nantinya," ujar Vino.
***
Acara lamaran pun selesai dan diakhiri dengan makan malam bersama. Makanan yang dihidangkan secara prasmanan itu terlihat tersisa tidak banyak lagi. Masakah Lesta dan ibu-ibu tetangga yang lainnya memang sangat enak.
Kini Lea dan Vino sedang duduk bersama di teras rumah. Keduanya saling diam, tidak tahu ingin membicarakan apa. Mungkin Lea dan Vino masih sangat canggung.
"Hmmmm, sepertinya kita nantinya tidak akan terlalu canggung seperti ini lagi, ya. Kalau sudah menikah …."
"I—iya … aku juga bersyukur, karena ternyata kamu tinggal satu rumah dengan Radi dan dokter Rahel. Karena setelah menikah nanti, aku pasti akan merasa sangat asing dengan anggota keluargamu. Untung saja ada Radi dan dokter Rahel yang sudah aku kenal dengan sangat baik," ujar Lea.
"Radi teman satu kelasmu, kini adalah calon adik ipar," ujar Vino terkekeh.
Lea juga ikut terkekeh, tidak dapat membayangkan kalau ia akan satu rumah dengan sahabatnya sendiri, dengan status yang cukup menggelikan, yakni ipar.
Waktu berlalu begitu cepat. Kini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Rudolf menghampiri Vino dan memintanya untuk berpamitan dengan Lesta dan tamu yang lainnya, karena mereka harus pulang karena sebentar lagi hari akan larut.
"Aku ke dalam dulu, ya," ucap Vino, kemudian beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Lea.
Sementara Lea yang masih di posisi yang sama, kini dihampiri oleh Radi yang duduk di tempat duduk Vino sebelumnya.
"Lea—"
"Ada apa, calon adik ipar?" tanya Lea menyela Radi.
"Kau … masih saja," gerutu Radi.
"Hahaha … sudah selesai, ya? Hmmm, ada apa, Radi?"
"Tentang keinginanmu tempo hari … belum semuanya terlaksana, bukan?"
Lea mengangguk, ia ingat kalau dirinya meminta kepada Radi untuk membantunya mencapai apa yang diinginkannya sebelum menikah.
"Apa itu masih berlaku untukku, membantumu?" tanya Radi, ia ragu kalau Lea masih membutuhkannya.
"Tentu saja masih, calon adik ipar. Lusa kita bisa melakukan keinginanku yang kedua, ya …," jawab Lea, yang tak lepas memanggil Radi dengan sebutan adik ipar.
***
Lea tak henti memandangi cincin bermata berlian yang melingkar dijari manis tangan kirinya. Cincin tunangannya bersama Vino kini bukan hanya sekadar rencana dan khayalan. Ia benar-benar sudah resmi menjadi calon pengantin Vino, pria tampan yang sangat munafik jika ada yang mengatakan kalau Vino tidak sempurna.
Lea beranjak dari tempat tidurnya dan segera mengambil bingkai foto sang ayah. Ia menunjukkan jari manisnya kepada sang ayah, memamerkan cincin tunangannya bersama Vino.
"Ayah, kali ini nasib Lea benar-benar sangat baik. Lea dilamar oleh seorang pangeran tampan yang berasal dari keluarga kaya raya. Bukan hanya itu, pangeran Vino benar-benar pria yang sangat sopan, baik, lembut dan begitu pengertian. Lea harap Vino akan menjadi seperti Ayah saat menjadi Ayah yang ada di dunia. Ayah tahu, Ayah ada di dunia ataupun tidak, itu sama sekali tidak merubah posisi Ayah yang selalu berada di hati Lea. You are my first love, Ayah …."
***
Lea menggaruk dahinya, ia tidak tahu bagaimana mewujudkan keinginan keduanya. keinginannya cukup aneh, yakni mendapatkan ciuman dari cinta pertamanya. Sementara selama 17 tahun Lea belum pernah merasakan jatuh cinta sama sekali, selain rasa kagumnya terhadap Ben dan Vino.
"Kamu mengajakku ke kuburan Ayah lagi?" tanya Radi heran. Permintaan pertama dan keduanya mengapa harus berada di area pemakaman lagi.
"Iya … itu karena aku tidak tahu, siapa cinta pertamaku. Aku hanya mencintai ayahku seumur hidup. Jadi aku ingin memberikan ciuman pada nisannya, sebagai caraku mewujudkan keinginan yang kedua," jawab Lea memberikan alasannya.
"Hmmm, baiklah. Karena aku ini adalah calon adik iparmu, aku akan menurutinya saja," balas Radi, keduanya sama-sama terkekeh.
Seperti biasa, Lea membersihkan lebih dulu tanah kuburan ayahnya agar terlihat bersih. Dibantu oleh Radi, pekerjaan itu dapat diselesaikan lebih cepat. Kemudian keduanya menunduk dan memberikan senyum serentak, seolah menyapa mendiang ayah Lea. Mereka berdoa dalam hati masing-masing, dimana keduanya saling tidak tahu doa apa yang dipanjatkan.
Usai berdoa, Lea masih saja tersenyum memandangi nisan ayahnya.
"Segera cium nisan ayahmu, Lea," pinta Radi.
"Radi, aku masih memiliki satu keinginan, dimana harus dilaksanakan di kuburan Ayah juga," balas Lea, menatap Radi dengan sendu.
"Kalau begitu … sekaligus saja selesaikan hari ini."
"Tapi … aku harus membawa Vino," ucap Lea.
"Mengapa harus Vino?" tanya Radi.
"Karena aku ingin pria yang menikahiku, datang langsung kepada ayah dan meminta izin serta restu dari ayah," jawab Lea.
"Kalau begitu … kita lakukan saja yang kedua dulu. Nanti aku akan membantumu mengajak Vino datang menemui ayahmu," papar Radi.
"Hmmm … sepertinya aku saja yang mengatakan padanya. Ini adalah keinginanku, aku sudah terlalu banyak merepotkanmu, Radi," tutur Lea.
"Baiklah. Kalau begitu, segera cium nisan ayahmu. Kita pulang setelah itu," pinta Radi.
Lea mengangguk dan segera membungkukkan tubuhnya, mendekat pada nisan sang ayah. Lea memberikan kecupan pada nisan tersebut, sebagai tanda kalau ayahnya adalah cinta pertama Lea.
***
Sudah hampir satu jam Lea berbalas pesan dengan Vino, namun ia masih saja ragu untuk mengatakan keinginannya.
Vino
[Radi bilang, ada yang ingin kamu katakan padaku]
[Ada apa, Lea?]
"Sial! Radi bermulut ember!" gerutu Lea kesal karena Radi memberitahu Vino lebih dulu.
Aleana
[Hmmm]
[Aku memiliki keinginan sebelum menikah]
[Dan yang terakhir adalah membawa calon suamiku ke kuburan ayah, lalu meminta resetu secara langsung untuk menikahiku]